Selasa, 07 Februari 2012

Schettino, Pak Beye dan Lancang Kuning...

Tiba-tiba saya teringat Francesco Schettino, Nahkoda kapal Costa Concordia. Pada 13 Januari 2012, sekitar pukul 21:00 waktu setempat (UTC+1), Costa Concordia kandas di perairan terumbu dekat Isola del Giglio dan terbalik. 17 orang tewas dari total 4.229 orang. Costa Concordia adalah kapal pesiarkelas Concordia yang dimiliki dan dioperasikan oleh Costa Cruises. Kapal ini dibangun di galangan kapal Sestri Ponente milik Fincantieri di Italia. Nama Concordia ditujukan untuk mengkspresikan harapan untuk "harmoni, kesatuan, dan perdamaian yang terus berlanjut di antara negara-negara Eropa. Costa Concordia mulai berlayar pada Juli 2006 dan merupakan kapal terbesar yang dibangun di Italia, dengan tonase kotor seberat 114,500 GT. Francesco Schetino menjadi terkenal, selain karena menjadi Nahkoda kapal naas itu, karena di tengah-tengah berita yang menggemparkan seantero jagad itu Ia dikabarkan malah lari menyelamatkan diri. Lebih memalukan lagi, sebelumnya ia kedapatan sedang makan malam dengan teman wanitanya ketika kapal yang dinahkodainya itu sudah dalam bahaya akan menabrak karang. Banyak pihak mengutuk sikap Schetino, apalagi jika mengacu pada tugas dan tanggungjawab Nahkoda Kapal. Saya membaca, tugas nahkoda kapal adalah bertanggung jawab dalam membawa kapal berlayar dari pelabuhan satu ke pelabuhan lain atau dari tempat satu ke tempat lain dengan selamat, aman sampai tujuan terhadap penumpang dan segala muatannya. Secara ringkas tugas itu dapat dirinci, antara lain : [1] Memperlengkapi kapalnya dengan sempurna, [2] Mengawaki kapalnya secara layak sesuai prosedur/aturan, [3] Membuat kapalnya layak laut (seaworthy), [4] Bertanggung jawab atas keselamatan pelayaran, [5]Bertanggung jawab atas keselamatan para pelayar yang ada diatas kapalnya, [6] Mematuhi perintah Pengusaha kapal selama tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika ini jadi acuan, Schetino jelas salah. Walau untuk itu biarlah pengadilan yang memutuskan.

Masih tentang nahkoda, kali ini dalam analogi yang satir. Metro Hari ini Edisi 4 Februari mengambil tajuk “Republik Tanpa Nahkoda”. Analogi nahkoda dalam kepemimpinan negara nampaknya tidak berlebihan. Jika republik ini ibarat kapal, maka pemimpin dan penanggungjawab utamanya, presiden republik, adalah nahkoda. Jika nahkoda ceroboh seperti Schetino saja bisa menyebabkan kapal karam, apalagi jika nahkodanya ‘absen’!. Republik Tanpa Nahkoda, itulah yang sedang dirasakan oleh warga republik. Ketidakhadiran dan ketiadaan nahkoda ini sangat terasa. Republik seolah berjalan menggelinding begitu saja. Arah dan tujuan pernah ditetapkan, tapi perjalanan ke sana ditempuh dengan zig zag, ancaman tersesat dan karam terbayang jelas. Apatisme itu menyeruak dari pelosok-pelosok negeri. Ketika ‘main hakim’ sendiri menjadi ekspresi mosi tidak percaya pada penyelenggara hukum. Atas nama agama orang bisa menghakimi keyakinan orang lain. Untuk sepasang sandal jepit dan lima buah piring pengadilan begitu cepat dan tegas bertindak, sementara pelaku kejahatan besar bebas berkeliaran. Akrobat politik, konsprasi, korupsi dan penipuan dengan telanjang dipertontonkan tanpa malu-malu! Sang nahkoda malah sibuk urus partai, seperti Schetino yang asyik makan malam dengan teman wanitanya, sementara kapal ini sedang diambang karam. Nahkoda asyik sibuk dengan kepentingan dan kenikmatannya sendiri, nasib ratusan juta orang tak dihiraukan.

Dari radio kudengar lantunan tembang melayu “Lancang Kuning” :

Lancang Kuning berlayar malam…
Haluan menuju ke laut dalam …
Kalau nakhoda kuranglah paham…
Alamatlah kapal akan tenggelam 

Ini pasti peringatan bagi semua nahkoda, kalau tak ingin kapalnya karam dan tenggelam...


Tepi kali Siburik,
Rabu 8 Februari 2012

Manado : Catatan Perjalanan...

11 Januari 2012. Jarum jam menunjukkan pukul 04.35 WIB ketika kami (saya, Parman, Linda, dan Inge) tiba di terminal keberangkatan 1 B Bandara Soekarno-Hatta. Setelah membereskan tas dan kopor masing-masing lalu bergerak menuju pintu masuk 1 B untuk berkumpul dengan teman-teman lain. Di situ sudah berdiri Jacky, tak lama kemudian dr. Lukas dan dr. Irene bergabung dan memberitahu yang lain sudah masuk ke ruang cek in. Vensi juga menelpon Inge memberitahu sudah tiba di Bandara. Maka lengkaplah kloter 1 : dr. Lukas, dr. Irene, dr. Swa, dr. Linda, Parman, Inge, Sian, Tina, Tuni, Bertha, Vensi, Jakcky, Michael, dan saya. Yaya yang seharusnya ikut dalam kloter 1 batal berangkat karena mendadak sakit. Cek in memakan waktu cukup lama karena barang-barang bawaan juga banyak, obat-obatan dan perlengkapan pribadi. Karena batas untuk bagasi 14 orang sudah terpenuhi, beberapa kopor dan travel bag terpaksa ditenteng. Tiba di ruang tunggu masih sempat menikmati penganan kecil untuk mengganjal perut yang belum sempat diisi karena dinihari sudah berangkat dari rumah tanpa sarapan. Seperti biasa foto-foto, meski bangun dinihari bahkan tidak tidur penampilan para model ini tetap terjaga. Hanya beberapa menit menunggu kami dipersilahkan masuk pesawat. Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 268 dengan tujuan Surabaya – Manado – Ternate segera berangkat. Karena masing-masing berutang tidur malam yang harus segera dilunasi maka penerbangan Jakarta – Surabaya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk tidur. Suara-suara percakapan nyaris tak terdengar, semua tenggelam dalam mimpi masing-masing. Satu pesawat beda mimpi....

Setelah tujuhpuluhlima menit di udara, roda-roda pesawat mendarat di Bandara Juanda Surabaya. Pramugari mengumumkan pesawat akan berhenti selama 20 menit. Waktu 20 menit dimanfaatkan rombongan untuk sarapan di Blue Sky Executive Lounge, Bandara Juanda. Bubur Ayam, Mie Goreng ditambah kopi dan teh cukup membuat segar. Penerbangan Surabaya – Manado ditempuh kurang lebih dua jam. Karena tidak semua kursi pesawat terisi maka rombongan mengambil tempat duduk berdekatan di bagian belakang. Dua jam perjalanan diisi dengan berbagai obrolan dengan tema bermacam-macam sambil makan kuaci, sampai pramugari mengumumkan pesawat tak lama lagi akan mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado. Deretan pohon kelapa terlihat jelas meski langit Manado diselimuti awan tipis hari itu. Selamat bakudapa Manado....
Sambil menunggu barang-barang bagasi, rombongan asyik ngobrol satu sama lain. Saya nebgok kiri kanan cari obyek foto yang baik dan ahaaa ada kursi roda teronggok manis di sudut, tentu saja untuk penumpang yang membutuhkan. Dan sessi foto di ruang kedatangan bagasi diisi denga foto di kursi roda : saya memberi contoh dengan syal + kaca mata hitam dan dr. Swa berperan sebagai perawat, jepret!, model berikut : dr. Irene, lalu Bertha hahahaha.

Di pintu masuk terminal kedatangan, kami sudah disambut salah seorang staf Rm. Terry, yang tidak saja melambaikan kertas putih bertuliskan “KBKK” tapi juga melambaikan Buku Kenangan Konas 1 KBKK, pasti tidak salah lagi kamilah yang dimaksud. Rombongan lalu dibagi dalam tiga kendaraan menuju Wisma Lorenzo, Lotta tempat akan menginap selama di Manado. Sebelum tiba di Lotta rombongan belok kanan menuju rumah keluarga Welly-Nini untuk makan siang. Keluarga ini menyediakan makan siang istimewa dengan menu khas Minahasa dan ditutup dengan pesta buah : durian, rambutan dan duku. Saya bernyanyi dalam hati “Tuhanlah Gembalaku, makan minum tiada henti, umat yang memberi”. Setelah kenyang dan merasakan kehangatan penyambutan pasutri Welly-Nini perjalanan dilanjutkan. Kami berhenti sebentar di Kompleks Citra Land untuk melihat Patung Yesus Memberkati yang berdiri gagah di ujung dengan tangan terentang memberkati Kota Manado dan semua yang datang. Dari sini kami berbelok ke kiri menuju Lotta, jika ke kanan kita akan sampai ke pusat kota Manado. Lotta adalah nama tempat yang secara administratif masuk Desa Pineleng 1. Tak banyak yang tahu Pahlawan Perang Padri Tuanku Imam Bonjol oleh Pemerintah Penjajahan Belanda diasingkan di sini dan wafat serta dimakamkan di Lotta. Gerbang masuk Lotta ditandai dengan Patung Imam Bonjol di sudut jalan dan pintu gerbang bertulis “Tempat Pemakamam Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol”. Kompleks pemakamannya beberapa ratus meter dari Wisma Lorenzo, yang menjadi Pusat kateketik Keuskupan Manado, sekaligus tempat kediaman Rm. Terry yang saat ini menjadi Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Manado.

Rm. Terry menyambut kami dengan gembira. Tanpa membuang-buang waktu, pembagian tugas segera dilakukan. Inge dan rm. Terry melihat ulang jadwal yang sudah disusun, pembagian kamar dan pengumuman : perayaan ekaristi untuk kloter 1 pukul 17.30 WITA, makan malam pkl. 19.00, berangkat ke Seminari Tinggi Pineleng pukul 19.30. Yang lain boleh beristirahat sambil menyelesaikan urusan pribadi, Seksi Logistik mengatur pembagian barang-barang buat dibawa ke Seminari dan untuk pengobatan. Demikian pengumuman.....
Perayaan Ekaristi ekaristi dirayakan pukul 17.30. Bacaan Injil tentang Yesus menyembuhkan Ibu Mertua Petrus. Saya memberi renungan, “perjumpaan pribadi dengan Yesus selalu menyembuhkan baik fisik maupun rohani. Perjumpaan juga mengubah ketidakberdayaan menjadi penuh data untuk melayani. Ibu Mertua Simon mengalami itu, semoga kita juga mengalami perjumpaan yang menyembuhkan dan memberdayakan itu”.
Setelah makan malam,kami bersiap-siap ke Seminari Tinggi Pineleng. Sudah ikut bergabung juga P. Bernad Beru dan Yuli dari Kupang yang baru tiba di Lotta. Seminari Tinggi Hati Kudus Pineleng adalah tempat pembinaan para calon imam diosesan untuk Keuskupan Manado dan Keuskupan Amboina. Kami disambut Rektor Seminari, Rm. Ventje Runtulalo, Pr. Para frater (calon imam) yang tinggal di sini sedang menjalani studi Filsafat dan Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Pineleng, yang letaknya hanya bersebelahan dengan Seminari Tinggi.
Pertemuan dengan para frater diisi dengan sharing dan animasi. Dr. Irene dibantu teknisi Parman menampilkan presentasi slide berdurasi sekitar 30 menit berisi sejarah perjalanan dan kegiatan KBKK selama sebelas tahun. Setelah presentasi Linda dan Parman membagikan pengalaman mereka bergabung dengan KBKK, sharing yang tentu memberi perpektif berbeda kepada para calon imam : awam katolik berbagi kisah tentang semangat dan praktek misi. Karena dr. Irene memperkenalkan KBKK adalah Kelompok awam, imam dan religius misioner maka saya diberi kesempatn sharing pengalaman keikutsertaan  dalam KBKK dari optik seorang Imam Diosesan, dengan embel-embel imam muda lagi ! Sessi tanya jawab diisi dengan pertanyaan para frater seputar sejarah terbentuknya KBKK, apa syarat untuk bergabung, siapa yang mendukung/melindungi kegiatan-kegiatan KBKK mengingat pasti butuh biaya besar dan sering menempuh resiko?. Dr. Irene dan Rm. Terry membagi cerita pada para calon imam ini. Setelah memberi sedikit kenang-kenangan berupa buku tentang KBKK dan kaos lima warna KBKK kepada Romo Rektor dan empat frater kami pun kembali ke Lotta. Rm. Terry dan Inge pamit ke Bandara menjemput Linda yang akan tiba dari Denpasar. Tiba di Lotta setelah evaluasi dan pengarahan singkat sebagian besar langsung berlayar menuju ‘Pulau Kapuk’. Kecuali Vensi dan Linda yang terkantuk-kantuk tak bisa masuk kamar karena kunci kamar di tangan Inge. Cerita-cerita lucu dr. Lukas dan saya tidak cukup kuat mengalahkan kantuk Vensi, untunglah tak lama kemudian Rm. Terry, Inge dan Linda tiba dari bandara.
Meskipun sebelum tidur saya dan P. Bernad sudah sepakat akan bangun pukul 05.30 karena akan mengikuti perayaan ekaristi pkl 06.00, tapi ternyata kami telat! Pasalnya waktu di telepon seluler saya masih “waktu indonesia barat”. Begitulah, ketika keluar dari kamar akan ke kapel, di ujung lorong Bertha sudah teriak, “Romo ditanya tuh kenapa gak muncul di Kapel”. Ondee mandeee, mestinya di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung. Di mana tempat menginap, alarm pun disesuaikan.
Setelah sarapan pagi, Rm. Terry mengumumkan jadwal hari ini : pertama-tama akan ke Seminari Agustinianum, lalu makan siang di salah satu restoran di tepi Danau Tondano, kunjungan ke Panti Asuhan, kembali dari sana bisa menikmati kopi + duren. Catatan jam 18 sudah mesti tiba kembali di Lotta karena mobil akan dipakai. Perjalanan ke Tomohon, tempat Seminari Agustinianum, ditempuh sekitar satu jam. Ke luar dari Lotta berbelok ke kiri, melewati Mesjid Imam Bonjol di sebelah kanan jalan – konon keturunan Imam Bonjol menjadi cikal bakal dari umat muslim di wilayah itu – lalu Biara Hati Kudus tempat para biarawan MSC di sebelah kiri dan di batas Desa Pineleng 1 dan Pineleng 2 berdiri megah Sekolah Tinggi Filsafat Katolik dan Seminari Tinggi Hati Kudus Pineleng. Jalan berkelok-kelok khas wilayah pegunungan kami lalui. Rombongan berhenti sejenak di Tinoor, kawasan yang di sepanjang jalannya berderet restoran makanan khas Minahasa, kali ini bukan untuk makan melainkan memandang kota Menado dari puncak. Saya jadi mengerti mengapa salah satu lagu di Buku Madah Bakti (kalau tak salah No. 471), lagu bergaya Menado, berjudul “Alangkah Megah KaryaMU”. Alangkah Megah Karya Tuhan dari atas puncak bukit ini. Kami hanya berhenti sekitar lima menit di sini lalu melanjutkan perjalanan. Memasuki Kota Tomohon hembusan udara dingin pegunungan sangat terasa. Di kanan jalan, di kejauhan, berdiri tegak Gunung Lokon yang sayang agi itu puncaknya ditutup kabut tipis. Tomohon dijuluki Kota Bunga. Di sepanjang jalan mudah sekali ditemui kios-kios yang menjajakan bunga-bunga segar. Setiap tahun ada festival bunga diselenggarakan di sini. Bahkan tahun ini bunga dari Tomohon mendapat penghargaan dalam festifal di Pasadena, Amerika Serikat. Masih di sekitar jalan utama kota Tomohon kendaraan berbelok ke kiri memasuki kompleks SMP Katolik Gonzaga, Tomohon. Rupanya kompleks persekolahan ini cukup luas, di belakang SMP ada SMA Caritas. Di sebelah itulah terdapat “Seminari Agustinianum”. Seminari ini mendidik calon-calon tamatan SMA, lebih dikenal juga dengan KPA (Kelas Persiapan Atas), satu tahapan sebelum para calon memutuskan akan menjadi calon imam diosesan atau melamar ke ordo/kongregasi. Pastor Rektor Seminari tidak ada di tempat karena pada saat bersamaan mesti hadir di Universitas De La Sale mengikuti pelantikan pejabat struktural universitas. Diakon, atas nama rektor, menyampaikan selamat datang kepada kami. Selain para seminaris, ikut hadir juga para Suster Novis YMY dan Postulan Frater CMM. Dr. Irene memperkenalkan KBKK dan kiprahnya selama ini. Para seminaris dan suster yang hadir menanggapi dengan beberapa pertanyaan. Pertanyaan seputar bagaimana ‘organisasi’ KBKK ini dijalankan? Siapa pemimpin? Bagaimana persiapan yang dilakukan untuk pelayanan-pelayanan? Apakah pernah mengalami penolakan?. P. Bernad dan Linda ikut berbagi pengalaman dan penghayatan. P. Bernad, sebagai seorang religius SVD, merefleksikan keterlibatan dan interaksinya dengan kaum awam dalam KBKK membantunya untuk lebih tajam menghayati dan mempraktekkan kaul-kaul religius. “sebab sering terjadi kita (=para religius) yang mengucapkan kaul, justru kaum awam yang mempraktekkannya”. Inge bercerita bagaimana KBKK mengumpulkan dana untuk pelayanan, selalu ada orang yang bermurah hati untuk mendukung dengan dana dan bantuan lainnya. Setelah tanya jawab dan sharing iman bersama, pertemuan ditutup dengan penyerahan kenang-kenangan berupa CD lagu-lagu dan Kaus KBKK kepada perwakilan komunitas-komunitas yang hadir. Setelah foto bersama dan menikmati kue-kue yang disediakan rombongan bergegas menuju Danau Tondano untuk makan siang.

Rombongan sempat berhenti di rumah makan di tepi sawah yang menghampar hijau. Eh rupanya bukan itu restoran yang dimaksud. Setelah minta maaf kepada pemiliknya karena ‘salah masuk’ restoran kami pun bergerak lagi menuju Restoran “Tomou Tou”. Restorannya di atas danau, dengan kolam ikan air tawar di kiri kanan. Sambil menunggu makanan datang, masing-masing mengambil sudut terbaik untuk diabadikan. Ada yang berbakat jadi model, terlihat dari kemampuan mengubah gaya dengan cepat. Ada yang standard : telunjuk di pipi, atau membentuk tanda “V” dengan jari telunjuk dan jari tengah hahahahaha. Apa pun gayanya, semua gembira. Saya dan dr. Lukas menghibur rombongan dengan beberapa lagu diiringi Keyboard Yamaha yang dimainkan pemain merangkap penyanyi restoran. Di siang bolong di tepi danau kami berduet “Help Me Make It Through the Night”. Para pendengar puas, buktinya dr. Lukas dapat sekuntum bunga plastik dari dr. Irene.
Kami meninggalkan restoran pukul 14.30 menuju Panti Asuhan, diiringi hujan gerimis. Tiba di Panti mendapati dua gadis cilik sedang duduk di atas meja sambil melipat pakaian. Rupanya sedang mendapat tugas untuk hari itu. Penghuni panti yang lain sedang tidur siang. Tak lama kemudian salah seorang ibu asuh masuk ke dalam bangsal panjang tempat anak-anak tidur untuk membangunkan mereka. Saatnya untuk bangun tidur. Satu per satu bocah-bocah cilik itu bangun dan melipat selimut serta merapikan ranjangnya sendiri. Ah ada yang tak sanggup melihat pemandangan ini...

Hampir satu jam kami berada bersama anak-anak PA. Penghuninya sekitar 80-an anak, dari usia 1 thn – sampai kelas 3 SMA. Asal daerahya juga bermacam-macam : Sulawesi, Ambon, Papua bakan ada seorang dari Sumatra. Linda mengisi pertemuan ini dengan cerita dan lagu. Cerita Unta yang pagi-pagi sudah tunduk di depan kaki tuan, maka anak-anak harus lebih hebat dari unta, pagi-pagi juga mesti sudah berdoa. Sebelum berpisah anak-anak PA mempersembahkan lagu dalam paduan suara ‘Joy to the World’ : sukacita bagi dunia, sukacita juga bagimu semua. Dari PA kami langsung bergerak kembali ke Lotta. Rencana untuk menikmati durian dan kopi di warung pinggir jalan dibatalkan. Jam 18.30 kami tiba di Lotta. Kloter 2 KBKK juga sudah tiba. Lotta bertambah ramai dengan canda tawa. Sambil menikmati makan malam diumumkan bahwa kelompok 2 akan menuju Tahun Orientasi Rohani Emaus, tempat para frater calon imam diosesan Keuskupan Manado dan keuskupan Amboina menjalani pembinaan sebelum memulai kuliah filsafat di STFK. Dr. Irene dan Parman kut lagi dengan kelompok 2. Sementara itu kelompok 1 beristirahat di Lotta sambil menunggu mereka pulang untuk pembagian tugas, karena besok sudah akan menuju Kulu, Tarabitan dan Pulau Gangga untuk pelayanan kesehatan..

Buku Buku Sekrup Satu Kompleks dan Toilet Apung Mobile

Jumat, 13 Januari. Kegiatan pagi diawali dengan misa bersama di Kapel jam 06.00 WITA. Tentang ini setiap malam selalu diumumkan, “Anda sekalian boleh bangun kapan saja yang penting pukul 06.00 ada perayaan ekaristi”! Setelah itu berpindah ke ruang makan yang letaknya berdekatan. Rm. Terry memimpin lagu “Dengar Dia Panggil Nama Saya” sekalian juga sebagai panggilan bagi semua terutama yang belum hadir di ruang makan untuk segera datang. Maka untuk sementara lagu ini identik ‘dengar dia panggil untuk makan’ hehehe. Setelah sarapan pagi masing-masing petugas logistik dari tiap kelompok menyiapkan perlengkapan yang dibawa agar tidak ada yang ketinggalan. Rm. Jimmy Tumbelaka tiba di Lotta ketika kami sedang bersiap-siap untuk pergi. Rombongan dibagi dalam 3 Kelompok : Pulau Gangga, Kulu dan Tarabitan.
Rombongan yang akan ke Kulu dan Tarabitan terlebih dahulu mampir di Pastoran Kokole, sedangkan yang akan ke Pulau Gangga langsung menuju Likupang, untuk seterusnya naik kapal menuju P. Gangga.

Banyak kisah yang menarik selama pelayanan medis ini. Satu hal yang mencolok ternyata masyarakat di ketiga tempat ini rata-rata menderita hipertensi. Di Tarabitan, Grace dan Mike yang bertugas mengukur tekanan darah pasien sampai harus meminta dr. Irene memeriksa ulang pasiennya karena tekanan darahnya 220/90!. Vensi masih sempat mengirim up-date data dan keluhan pasien di Kulu melalui BBM. Kabarnya sama, ‘terbanyak mengidap hipertensi’. Dialek bahasa Indonesia yang sangat beragam bisa membingungkan juga. Ketika ada pasien mengeluh ‘buku-buku’ sakit tak urung membuat penerima pendaftaran yang bertugas mencatat keluhan pasien menjadi bingung, dokternya lebih bingung lagi. Setelah ditanya lebih lanjut baru jelas ternyata buku buku yang dimaksud adalah persendian!. Maka istilah medis yang tidak pernah diperoleh di bangku kuliah Fakultas Kedokteran pun muncul: ‘sekrup-sekrup’ sakit. Lebih parah lagi ‘sakit sekompleks’, rupanya yang dimaksud seluruh bagian terasa sakit. Begitulah lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Dr. Lukas menjadi akrab dengan keluhansakit sekrup dan buku buku ini.

Selain pelayanan medis anggota rombongan yang lain mengisi kegiatan bina iman bagi anak-anak sekami. Ternyata bukan hanya anak-anak sekami yang ikut terlibat, anak-anak dari gereja-gereja Kristen lain juga ikut bergabung. Anggota KBKK yang tidak biasa mendampingi sekami pun menjadi pendamping dadakan. Mimi membuat lirik baru lagu “Happy Yeye” menjadi “Ipi Yaya”, beda-beda tipis tapi cukup membuat gembira karena mendapa lagu baru. Konon lagu Ipi Yaya ini akan menjadi lebih seru bila dinyanyikan mengikuti nada lagu “Cucak Rowo”, lebih ser serrr kata Wiwik dan Grace. Saya dan Rm. Jimmy juga melayani beberapa umat yang minta didoakan, maka lengkaplah sudah.
Setelah selesai pelayanan medis dan bina iman anak, masing-masing diantar ke rumah penginapan. Rupanya umat setempat telah mengatur setiap anggota rombongan menginap di rumah umat. Mereka menyediakan kamar terbaik bagi tamu. Keramahan yang sangat khas dan tulus. Orang memberi yang terbaik dari kekurangan. Untuk mandi pun mereka menyediakan tempat mandi terbaik yang mereka miliki, bahkan “meminjam” kamar mandi tetangga yang nota bene bukan Katolik! Sungguh komunitas tanpa sekat yang asli dan tulus. Ada dari antara anggota KBKK yang sangat bergembira boleh untuk pertamakali mengalami mandi dengan menimba di sumur. Awalnya bingung tapi akhirnya mandi juga.

Malam hari diisi dengan makan malam bersama. Masyarakat di tempat-tempat yag didatangi ini mempunyai kebiasaan yang unik. Tempat makan malam ditentukan di satu tempat, tetapi makanan (nasi dan lauk pauk) dibawa masing-masing dari rumah. Jadi kita akan mendapatkan menu yang berbeda karena dimasak oleh orang berbeda di rumah berbeda pula. Komunitas ideal Jemaat Perdana sedikit-sedikit bisa dialami di sini. Setelah makan malam acara dilanjutkan dengan pendalaman iman. Semua ikut aktif dalam sharing tujuh langkah ala AsiPa. Metode ini membuat mereka berani bicara membagikan pengalaman hidup mereka dalam terang Kitab Suci. Saya teringat kata-kata Yesus, “Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil (Mat 11:25). Setelah sharing dan doa malam masing-masing kembali ke rumah untuk istirahat. Saya masih menyempatkan diri bincang-bincang dengan suami-istri pemilik rumah tempat saya menginap. Jarum jam sudah mendekati angka 12 ketika kami beranjak ke tempat tidur.
Sabtu pagi setelah mandi tiap-tiap kelompok merayakan ekaristi di tempat masing-masing. Setelah ekaristi rombongan dari Kulu bergabung ke Tarabitan lalu bersama menuju Serei untuk naik kapal menuju Pulau Lihaga. Serei adalah perkampngan tertua di Minahasa Utara. Di dekat dermaga ada tugu dengan patung tanpa kepala. Seorang penduduk bercerita itu adalah tugu yang dibangun pemerintah Belanda dengan patung Ratu Wihelmina. Patung itu dihancurkan tentara Jepang ketika mereka masuk ke Minahasa. Ah sepenggal sejarah kecil di utara Minahasa! Gelombang laut lumayan tenang meskipun agak bergelora. Dr. Swa mengatakan kepada saya, “romo, apakah saya sebaiknya langsung ke Likupang saja dan menunggu di sana sampai rombongan pulang”. Saya meyakinkan dr. Swa bahwa perjalanan dengan kapal akan baik-baik saja. Rm. Dino, Pastor Paroki Kokole, juga ikut meyakinkan dr. Swa. Yang pasti kami semua selamat sampai di Pulau Lihaga tanpa mabuk laut. Tiba di Lihaga, dari kejauhan kami sudah melihat rombongan dari Pulau Gangga di bawah pimpinan Rm. Terry dan dr. Lukas sudah lebih dulu hadir. Hari itu sepanjang setengah hari kami menjadi ‘pemilik’ Pulau Lihaga. Acara mandi mandi dan bermain pasir ditutup dengan makan siang bersama. Umat dari P. Gangga sudah menyediakan makan siang, ditambah dengan kue-kue buatan lokal. Rombongan lalu kembali melalui Likupang dan pulang ke Lotta. Capek, lelah dan ngantuk tersembunyi dibalik keceriaan termasuk rasa lucu dan kaget melihat toilet sementara di kapal : terpal plastik dibentangkan dan ‘klien’ membuang hajatnya di balik terpal. Setelah selesai terpal dilipat kembali. Praktis dan cepat, hehehe.

Rekoleksi,  Katedral,  Heng Min  Bukit Doa

Setelah berhenti sejenak di Likupang rombongan kembali ke Lotta dan tiba sekitar pukul 15.00. Saya, dr. Irene, Lili dan Yuli menyempatkan diri berkunjung ke makam Tuanku Imam Bonjol yang letaknya tidak jauh dari tempat kami menginap. Kompleks makamnya cukup luas dengan rumah berarsitektur Minangkabau, di seberang jalan berdiri mesjid kecil “Mesjid Imam Bonjol”. Saya berutang foto pada seorang sahabat muslim di Padang yang baru tahu juga bahwa Imam Bonjol dimakamkan di Lotta. Aha!
Tak lama kemudian semua rombongan sudah berkumpul di Lotta. Sebelum kembali ke kamar tidur masing-masing kembali diingatkan untuk berkumpul di Kapel jam 18.00 untuk rekoleksi. Meskipun masih lelah sore hari semua berkumpul kembali di Kapel. Saya mengajak untuk merenungkan ‘Panggilan Kemuridan’ dengan merenungkan pesan Injil Yohanes 1:35 -42. Panggilan kemuridan adalah proses MELIHAT – MENDENGAR – MENGIKUTI dan TINGGAL BERSAMA YESUS. Proses melihat-mendengar-mengikuti dan tinggal bersama Yesus itulah yang diwartakan dalam hidup. Dalam sessi kedua, setelah makan malam, P. Bernad mengajak untuk merefleksikan Allah adalah Kasih (Yoh 15: 9-17). Allah telah lebih dahulu mengasihi kita, kita diundang mengalami dan hidup dalam kasih sehingga sanggup mengasihi sesama. Setelah permenungan acara dilanjutkan dengan sharing dalam kelompok. Sharing yang saling meneguhkan dan menguatkan. Indahnya saling berbagi.

Hari Minggu pagi, bertepatan dengan Pesta St. Arnoldus Jansen semua anggota KBKK merayakan ekaristi di Katedral Manado. Rm. Terry menjadi selebran utama, P. Bernad dan saya menjadi konselebran. Dalam kesempatan kotbah Rm. Terry mewawancarai dr. Irene seputar KBKK. Selanjutnya Rm. Terry mengajak umat untuk berani menjawab panggilan Tuhan seperti kedua murid Yohanes yang segera mengikuti Yesus setelah Yohanes Pembaptis memperkenalkan “Lihatlah Anak Domba Allah”. Setelah perayaan ekaristi rombongan berkunjung ke rumah uskup dan bertemu dengan Mgr. Joseph Suwatan, Uskup Manado. Selanjutnya rombongan bersiap-siap untuk makan siang di Tinoor dan jalan salib di Bukit Doa.
Tinoor kawasan di perbukitan. Di sepanjang jalan terdapat restoran yang meyediakan menu khas Minahasa. Kami makan siang di Restoran “Heng Min”, diambil dari nama suami istri pemilik restoran ini. Bermaksud memuaskan rasa ingin tahu, saya ke dapur dan meminta ijin apakah boleh memotret menu yang sudah tersaji? Setelah dibolehkan saya mengambil beberapa gambar. Konsep restorannya “all you can eat” dengan hitungan Rp. 20.000/orang. Semua menu disajikan di mangkuk kecil, seperti mangkuk bakso. Saya mencoba semua yang disajikan. Yang lain terpaksa menahan diri, karena ‘wasit’ yang siap-siap memberi peringatan ada di setiap meja. Sebagai penutup tak lupa meminum saguer, tuak segar hasil sadapan dari pohon aren. Tentang minum saguer ini ada ungkapan :  1 botol buka suara, 2 botol tambah darah, 3 botol naik darah, 4 botol tumpah darah, 5 botol lupa saudara... Tinggal pilih yang mana hahahaha.

Setelah makan siang perjalanan dilanjutkan ke Bukit Doa. Kawasan yang sejuk dengan stasi jalan salib yang indah dan unik. Stasi-stasinya berada di jalan dengan patung-patung yang cukup besar. Patung-patung ini hasil karya seorang seniman muslim. Jika diperhatikan baik-baik semua patung bertekstur kasar, kecuali patung Yesus dan Bunda Maria bagian wajahnya sangat halus. Pembuat patungnya beralasan wajah Yesus dan Maria yang mulus menampakkan sisi keilahian, sedangkan bagian tubuh yang kasar menunjukkan sisi kemanusiaan mereka. Yang Ilahi dan yang manusiawi bertemu. Kekudusan dan kerapuhan bersua. Puncak Jalan Salib adalah Gua Makam Yesus. Tak jauh dari situ ada lahan ampitheater terbuka yang bisa dipakai buat pertunjukan. Di dekatnya dengan latar belakng Gunung Lokon berdiri gereja kecil bergaya minimalis yang atapnya mirip terowongan.
Dari Bukit Doa kami menuju Danau Linau. Danau ini terletak di Kelurahan Lahendong, Kecamatan Tomohon Selatan, Kota Tomohon. Lokasi danau ini dulunya adalah kawah gunung berapi. Menurut cerita turun temurun dari orang-orang tua di wilayah itu, danau ini dulunya kawah. Namun setelah proses alam ribuan tahun menjadi danau. Di Kafe Kafekoffie di pinggir danau rombongan ramai-ramai menikmati pisang goreng dan kopi. Setelah menikmati keindahan danau, pisang goreng dan kopi kami kembali ke Lotta. Tiba di Lotta tak menunggu lama, langsung membersihkan badan untuk makan malam dan jam 20.00 mengikuti doa taize bersama suster-suster DSY di Kapel Biara. Ikut juga dua orang pendeta sahabat Rm. Terry dalam doa meditatif selama satu jam ini.
Pesta Perak 3 Sekawan...
Senin pagi ini rombongan dibagi dalam dua kelompok. Kelompok 1 menghadiri perayaan ekaristi Pesta Perak Imamat Pst. John Karundeng di Paniki Bawah. Kelompok 2 ke Lembean menghadiri Pesta Perak Pst. Feighty Boseke. Perayaaan Pesta Perak, saya mengikuti kelompok 2, sungguh-sungguh meriah. Yubilaris diarak ke gereja dengan barisan drum band di depan dan di akhir barisan para pemain musik tiup. Misa dihadiri oleh umat paroki dan keluarga serta undangan. Imam-imam se kevikepan ikut dalam barisan konselebrasi. Sungguh kegembiraan imamat yang luar biasa saya rasakan. Setelah misa sempat menikmati aneka kue di pastoran lalu kembali untuk makan siang karena jam 17.00 masih akan mengikuti misa pesta perak Rm. Terry di Lotta.

Misa Pesta Perak Rm. Terry berlangsung hikmat dan meriah. Liturgi tertata apik. Rm. Terry menjadi selebran utama diapit Mgr. Joseph Suwatan dan Mgr. P.C. Mandagi (Uskup Amboina). Setelah perayaan ekaristi acara dilanjutkan dengan santap malam bersama dan pagelaran seni budaya Minahasa. Semua larut dalam kemeriahan pesta. Malam ini boleh tidur lebih larut karena besok baru akan misa sore hari di Biara Suster Karmel, Kakaskasen.
Pagi-pagi masing-masing sudah sibuk dengan persiapan karena hari ini akan ke Bunaken. Perjalanan dengan kapal ke Bunaken diisi dengan keceriaan canda tawa. Begitu tiba, pemilik restoran menawarkan kalau-kalau ada yang ingin diving atau snorkling. Maka beberapa segera mencoba pakaian diving dan peralatan lain yang tersedia lalu naik kapal kembali untuk mencari spot-spot terbaik untuk diving. Sebagian rombongan yang tidak ikut diving/snorkling mengisi waktu dengan sharing pengalaman perjalanan bakti kasih kali ini. Aneka pengalaman diungkapkan. Yang terpenting masing-masing merasa bahwa Penyelenggaraan Ilahi sungguh dirasakan dalam semua peristiwa, baik ketika pelayanan maupun ketika merasakan berbagai kemudahan karena selalu saja ada orang-orang yang berbaik hati menolong. Bahkan boleh jadi apa yang kita terima lebih besar daripada apa yang kita berikan. Setelah sharing masih sempat melihat keindahan bawah laut Bunaken dari atas kapal yang di dasarnya disediakan kaca sehingga kita bisa melihat taman bawah laut dengan leluasa.

Kembali dari Bunaken menikmati makan siang di Restoran Minahasa lalu menyempatkan diri singgah membeli ole ole. Acara membeli ole-ole tidak berlangsung lama karena harus segera pulang berhubung jam 16.30 harus berangkat ke Biara Karmel St. Theresia-Kakaskasen untuk merayakan misa.
Perjalanan Lotta – Kakaskasen ditempuh kurang lebih satu jam dengan bus. Rm. Terry melalui pengeras suara bertindak sebagai tour guide dan melayani berbagai pertanyaan pemirsa. Sebelum ke Biara Karmel, bus masuk ke kompleks Seminari Menengah tempat pendidikan calon imam yang menerima siswa-siswa Seminari tamatan SMP. Letaknya hanya bersebrangan jalan dengan Biara.
Sore ini kami merayakan misa bersama para Suster Kontemplatif. Karena ini Biara Kontemplatif, tempat duduk para suster dengan Panti Imam dan tempat duduk umat dipisahkan oleh terali besi. Perayaan ekaristi dipimpin Rm. Terry, didampingi Rm. John, Rm. Feighty, P. Bernad dan saya. Setelah perayaan ekaristi dilanjutkan resepsi bersama dengan para suster yang tempat duduknya juga tetap terpisah. Om Edy sempat menampilkan beberapa permainan sulap di depan para suster. Pukul 21.00 kami meninggalkan Kakaskasen menuju Lotta. Tiba di Lotta segera berbenah karena besok pagi jam 05.00 WITA sudah ada yang harus ke Bandara.

Kembali ke Jakarta

Rabu, 18 Januari kami kembali ke Jakarta. Banyak kisah telah dialami selama lebih dari seminggu di Bumi Minahasa. Sebagai kelompok yang terdiri dari bermacam-macam orang dengan berbagai latar belakang KBKK akan terus ‘menjadi’ murid yang siap melihat, mendengar, mengkuti dan tinggal bersama Yesus. Tuhan tidak memanggil orang-orang yang mampu, tetapi Dia memampukan orang-orang yang Dia panggil. Di pintu ke luar kedatangan terminal 1 B Bandara Soeta kami berpisah. Terimakasih untuk Tuhan yang setia menyertai dan semua saudara-saudari yang telah berbuat baik.

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...