Selasa, 11 Maret 2014

MANTO, ANAK ASUH REMBULAN....


19 July 2012 at 11:01
(ini saya posting ulang, untuk Manto yang entah saat ini ada di jalanan mana....)


Tiap bulan puasa datang aku ingat Manto. Tak pernah jelas, apakah Manto yang ini lengkapnya Ismanto, Darmanto, Hermanto, Sumanto atau yang lain. Yang pasti begitulah dia menyebut namanya. Ia satu dari belasan bocah yang mencoba mengais rejeki dengan menjadi tukang semir sepatu. Usianya terlalu dini untuk mengalami kerasnya hidup. Tapi Manto, seperti kebanyakan temannya, tak punya pilihan. Himpitan beban hidup dan suasana rumah yang tak ramah menghempasnya ke jalan, menjadi anak asuh rembulan. Ia muslim. Identitas ini pun lebih menimbulkan pertanyaan daripada jawaban. Apa arti menjadi Muslim di kehidupan jalanan? Sama seperti apa artinya menjadi Katolik? Menjadi Buddha? Menjadi Hindu? Atau tidak menjadi apa pun... Hanya rupanya identitas itu penting, sebagai pembeda. Menjadi muslim artinya berbeda dari Kristen. Berbeda dari Buddha. Beda dari Katolik. Apa bedanya??? Juga tidak mudah mendapat jawaban tuntas.

Bocah-bocah itu hidup bersama, nyaris tidak terganggu sekat-sekat agama. Boleh jadi tak pernah berpikir sampai ke situ...atau agama bahkan Tuhan menjadi sangat abstrak, entitas yang begitu agung sehingga tak terjangkau, entahlah mana yang benar. Sebagai Frater, yang sedang belajar Filsafat dan Teologi ketika itu, saya seringkali malu pada mereka. Ketika bicara tentang cinta, keadilan, penderitaan dan banyak tema besar yang digumuli manusia sepanjang jaman, saya menemukan pada anak-anak itu pengejawantahan paling murni dari gagasan-gagasan besar ini. Bersama mereka makan makanan sisa penumpang kereta api dengan gembira. Menyaksikan mereka mengumpulkan recehan untuk membantu teman yang sakit. Nasi sebungkus dimakan tujuh orang. Tidak marah ketika satu bajunya dipakai teman yang baju satu-satunya belum kering. Dan banyak hal lain.

Dan ingatan bulan puasa itu.. “Bang, aku juga mau berbuka puasa seperti orang lain bang”, mintamu suatu kali. Uang sakuku tidak cukup membeli makanan, apalagi makanan enak...rumah singgah kita benar-benar hanya tempat persinggahan, tak ada makanan. Tapi sore itu kita buka puasa bersama : nasi + indomie dan telur..... itu menjadi makanan buka puasa paling enak yang pernah kunikmati karena melihat cahaya syukur di matamu....

Selamat menunaikan Ibadah Puasa buat para sahabat semua...

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...