Kamis, 01 Oktober 2015

Lucille


You picked a fine time to leave me Lucille…



Ini penggalan lagu “Lucille”. Saya suka lagu ini karena Kenny Rogers, suaranya empuk dan enak di telinga. Ketika mendengar Lucille, suara bariton yang serak itu seperti berkisah tentang hidupnya sendiri. Dia tidak sedang bernyanyi. Dia berkisah. Lagu ini kisah seorang istri yang meninggalkan suami dan empat anaknya. Ditulis oleh Hal Bynum dan Roger. Liriknya terinspirasi kisah nyata yang dialami Bynum sendiri dalam hidup perkawinannya . Bowling kemudian membantu Bynum menulis lagu ini dengan latar situasi bar, terinspirasi pasangan yang mereka temuai, yang bertengkar di stasiun bus Toledo. Ouw rupanya inspirasi bisa datang dari mana saja. Lewat lagu ini Kenny Rogers memenangi Grammy Award tahun 1977 untuk kategori “ Best Country Vocal Performance” dan menjadi pemenang CMA award for Single Of The Year.


Hidup adalah rangkaian kisah, pun ketika itu pahit. Lagu mengungkapkannya dengan cara tersendiri. 

LUCILLE

In a bar in Toledo across from the depot
On a bar stool she took off her ring
I thought I'd get closer so I walked on over
I sat down and asked her name
When the drinks finally hit her
She said I'm no quitter but I finally quit livin on dreams
I'm hungry for laughter and here ever after
I'm after whatever the other life brings
In the mirror I saw him and I closely watched him
I thought how he looked out of place
He came to the woman who sat there be-side me
He had a strange look on his face
The big hands were calloused he looked like a mountain
For a minute I thought I was dead
But he started shaking his big heart was breaking
He turned to the woman and said
You picked a fine time to leave me Lucille

With four hungry children and a crop in the field
I've had some bad times lived through some sad times
But this time your hurting won't heal
You picked a fine time to leave me Lucille.

After he left us I ordered more whiskey
I thought how she'd made him look small
From the lights of the bar room
To a rented hotel room

We walked without talking at all

She was a beauty but when she came to me
She must have thought I'd lost my mind
I couldn't hold her 'cos the words that told her
Kept coming back time after time
You picked a fine time to leave me Lucille

With four hungry children and a crop in the field
I've had some bad times lived through some sad times
But this time your hurting won't heal



You picked a fine time to leave me Lucille


Ada banyak yang seperti Lucille, pada titik kritis memutuskan untuk pergi. Ini bukan soal siapa yang benar atau siapa yang salah. Dua belah pihak pasti terluka. Saya ingat nasehat Paus Fransiskus bagi keluarga-keluarga, 

"Tidak ada keluarga yang sempurna. Kita tidak punya orang tua yang sempurna, kita tidak sempurna, tidak menikah dengan orang yang sempurna, kita juga tidak memiliki anak yang sempurna. Kita memiliki keluhan tentang satu sama lain. Kita kecewa satu sama lain. Oleh karena itu, tidak ada pernikahan yang sehat atau keluarga yang sehat tanpa pengampunan". 

Tuhan sayang Anda semua.


Rabu, 30 September 2015

Dari MENGEMBALIKAN RASA YANG DULU PERNAH ADA sampai MAU DIBAWA KE MANA HUBUNGAN KITA..


Beberapa waktu lalu saya berkumpul dengan tigapuluhan orang muda katolik utusan paroki-paroki se Kevikepan Bangka Belitung. Mereka berusia antara duapuluh sampai awal tigapuluhan tahun, ada dua yang sudah lebih tua dari itu. Tajuk acaranya pelatihan untuk para pendamping/calon pendamping Orang Muda Katolik. Materi pelatihannya biasa: mempersiapkan dan merancang rencana strategis lengkap dengan alat bantu analisisnya.

Sesi-sesi acara  diawali dengan dinamika kelompok “Mengurai Benang Kusut” : belasan peserta diminta memegang ujung tali yang sudah disimpul sedemikian rupa. Mereka diminta mengurainya, keluar dari belitan. Tak ada batas waktu. Mereka buth waktu cukup lama – hampir setengah jam – sebelum bisa mengurai tali kusut tersebut. Ketika diminta kesan-kesan atas permainan ini, ada peserta yang mengungkapkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengurai terjadi karena mereka hanya focus pada ujung tali yang ada di tangannya. Ada juga yang mengungkapkan seandainya mereka lebih sabar pada awal proses – untuk sejenak melihat di mana titik simpulnya – mungkin mereka bisa menyelesaikan permainan lebih cepat. Pesan dari permainan ini adalah setiap kita akan menghadapi masalah. Berat ringan, besar kecilnya bisa berbeda. Ada yang bisa diatasi sendiri. Ada yang harus diselesaikan bersama dengan bantuan orang lain. Selain itu, ketika menghadapi masalah kita diingatkan untuk tenang : sedikit mengambil jarak, focus mencari jalan keluar dan menemukan ‘simpul’, penyebab utama keruwetan. Dan demikianlah proses pelatihan ini berjalan dalam dinamika interaksi yang menarik. 

Oh ya tentang judul, hampir lupa. Para peserta pada bagian akhir – sebelum pulang ke tempat asal masing-masing – mengungkapkan tekad setelah bergumul dengan proses rencana strategis dan ansos. Ketika sesi inilah ungkapan-ungkapan ini muncul. OMK Bunda Maria Pelindung Para Pelaut – Muntok memaparkan tugas pertama mereka adalah “ mengembalikan rasa yang dulu pernah ada”. Bernadeth muncul dengan Tanya “Mau dibawa ke mana hubungan kita?”, Yang lain tahapannya “Kucoba Bertahan Walau Kadang Sakit”. Syukurlah tak ada yang menyerah “Jatuh dan tak Dapat Bangkit Lagi” atau merintih “Terpurukku di sini”…

Maju Terus, Tuhan Memberkati Anda

Kamis, 19 Februari 2015

HYVON NGETICH : Kejatuhan Bukanlah Akhir



Hyvon Ngetich, ia tidak sepopuler Cristian Ronaldo atau Lionel Messi. Dia mungkin hanya terkenal di Kenya, negara asalnya. Atau di kalangan para pencinta olahraga lari marathon dunia. Atau di antara para jurnalis olahraga yang sering meliput lomba lari marathon. Namun minggu lalu Ngetich menggemparkan dunia. Bukan karena mencatat rekor spektakuler dalam marathon yang diikutinya, tapi karena hal lain. Ngetich jadi populer karena aksi heroiknya. Ia ikut dalam Sunday’s Austin Marathon. Sampai beberapa ratus meter menjelang finish ia memimpin di depan. Petaka terjadi sekitar 400 meter sebelum garis finish. Ia tiba tiba tumbang - kemudian diketahui hal itu terjadi karena kekurangan zat gula. Petugas medis lomba segera berlari dan menawarkan kursi roda kepadanya. Ia menolak. Dengan merangkak – bertumpu pada telapak tangan dan lutut – ia menyelesaikan lomba. Ia mencapai garis finish di urutan kedua dengan catatan waktu 3:04:02.68.
Kepada Televisi local Austin KEYE TV Ngetich menyampaikan alasan kenapa ia tidak berhenti. Alasannya, ‘berlari, selalu, terus berlari dan berlari”
Jon Conley – Direktur Lomba Austin Marathon - yang menyerahkan hadiah uang sebagai juara kedua menyampaikan, “Anda berlari sebagai seorang yang gagah berani dan   merangkak dengan cara yang belum pernah saya saksikan dalam hidup saya. Anda layak mendapat penghormatan”

Dr. Laura Goldberg, dokter specialist olahraga dari Klinik Cleveland, kepada ABC News menganjurkan kepada para pelari untuk tidak mengikuti apa yang dilakukan Ngetich. Mereka seharusnya peka pada tanda tanda untuk tahu kapan mesti berhenti. Namun Goldberg juga berujar ,“Orang banyak tidak akan pernah mengerti mengapa seorang pelari harus merangkak susah payah mencapai garis finish”. Ngetich sendiri ketika ditanya Radio BBC, ‘apa yang ia rasakan saat itu?’ hanya bisa menjawab ‘ saya tak dapat mengingat apa yang terjadi saat itu”

Kisah Hyvon Ngetich  kemudian menghiasi berbagai surat kabar dan televisi. Detik-detik ketika ia merangkak untuk dapat mencapai garis finis diunggah di youtube dan ditonton banyak orang. Ngetich bukan lagi hanya cerita seorang atlit yang mengikuti lomba marathon. Ngetich melampaui semua itu. Hyvon Ngetich adalah inspirasi. Dia menjadi gambaran dari manusia, Dia adalah wajah kita. Jika hidup ini adalah lintasan lari marathon, setiap orang harus berlatih keras untuk mengikutinya. Marathon – seperti halnya hidup – adalah lintasan panjang. Di lintasan marathon semua orang berharap mencapai finis, sebagian lagi berharap menjadi juara. Kerumunan di titik start begitu ramai. Beberapa kilometer pertama masih begitu ramai, untuk kemudian jarak semakin jauh dan kerumunan semakin berpencar sampai hanya tersisa sedikit orang. Seorang pemenang lari marathon sering adalah seorang yang kesepian. Ia berlari sendiri, di antara tatapan ribuan mata penonton. Tak ada yang berpikir akan jatuh. Ketika kaki menjejak garis finish dan badan menyentuh pita pembatas yang ada adalah kepuasan. Inilah titik di mana kedigdayaan dipertunjukkan.
Dan jatuh??? Jatuh adalah kutub yang lain. Jatuh adalah pengalaman terpuruk, menyakitkan. Ketika jatuh tak banyak orang yang mau mendekat. Ada yang mendekat hanya untuk bilang ‘yah kasihan’ dan tak berbuat apa-apa. Ada juga yang bahagia dan senang melihat kejatuhan orang lain. Ada yang tertawa.
Ngetich menunjukkan sisi lain kemanusiaan kita. Tidak menyerah ketika jatuh. Ia punya alasan untuk berhenti walau garis finish hanya tinggal 400 meter lagi. Ia bisa saja memutuskan cukup dan tidak meneruskan lomba dan duduk di kursi roda petugas medis. Tapi kenyataannya Ngetich tidak berhenti, ia tidak menyerah. Ia yakin garis finish sudah di depan mata, ia mesti meneruskan lomba sampai akhir, kalaupun untuk itu ia harus merangkak dan bertumpu pada lutut.
Di Jalan Salib kehidupan, ada saatnya kita – Anda dan saya – JATUH. Kita punya pilihan : BERHENTI atau BANGKIT TERUS BERJALAN. Ngetich terus berlari walau dengan merangkak dan ia mencapai finish.

Selasa, 17 Februari 2015

‘ORI’ & ‘KW’ DI ‘REPUBLIK OPLOSAN’



Dua hari yang lalu saya membaca tulisan seorang sahabat di blog. Tulisannya tentang ‘cara membedakan tas asli dan palsu”. Dia mengunggah tulisannya di grup pencinta olahraga dan kegiatan luar-ruang. Apa pentingnya tulisan seperti itu pikir saya. Tapi rupanya ada alasan cukup mendasar. Sekarang ini jaman ‘branded’, apa-apa mesti punya merek. Merek secara psikologis member jaminan akan mutu dari sesuatu. Di sisi lain ia juga memberi efek kepercayaan diri bagi yang memakai. Ada semacam hukum sebab akibat di situ: merek mahal dan terkenal menyebabkan orang kelihatan mahal dan berkelas juga. Sebaliknya, tanpa merek anda bukan siapa siapa. Dalam bahasa Cartesian kurang lebih “saya bermerek maka saya ada”. Ada konsekwensi lain lagi: semakin terkenal suatu merek, semakin mahal harga yang harus dibayar. Orang membayar gengsi, bukan fungsi. 


Ada pemakai yang sangat ‘brand-minded’, fanatik pada merek tertentu dan bersedia membayar mahal untuk itu. Selain demi kualitas, gengsi tentu berperan di situ. ‘Ruang Gengsi’ inilah yang jadi celah untuk dimanfaatkan. Maka bermunculanlah barang tiruan. Meniru bentuk aslinya dengan kualitas yang sudah pasti lebih rendah, namun mencantumkan merek yang sama. Sahabat saya tadi merasa terpanggil memberi pencerahan bagaimana membedakan yang asli dengan yang tiruan ini. Menariknya ada yang dengan sadar, tahu dan mau mencari barang tiruan ini. Tentu semangatnya ‘dengan pengorbanan sekecil kecilnya mendapatkan gengsi sebesar-besarnya’, yah hukum ekonomi jugalah berlaku di sini. Maka penjual menyediakan semuanya, asli dan tiruan. Dalam bahasa sehari-hari yang asli disebut ‘ORI’ (dari ORIGINAL), yang palsu atau tiruan disebut 'KW' (berasal dari kata kwalitas = kualitas) - yang konotasinya berarti 'tiruan'. Awalnya untuk memudahkan kategorisasi kualitas dengan masing-masing tingkatan harga, seperti : KWsuper, KW1, KW2, dan seterusnya. KW Super berarti mendekati asli, sedangkan KW1 berada di bawahnya, KW2 lebih bawah lagi.  Di jalanan yang ORI berseliweran bersama yang KW. Ada yang bisa dibedakan, namun adapula yang nyaris sama, sulit dibedakan.


Persoalan ORI – KW ini merambah hampir semua bidang kehidupan. Ada minuman keras ori, ada kw. Yang kw biasanya hasil ‘oplosan’, campuran dari bermacam-macam unsur. Hasilnya selain bikin mabuk, ya bikin mati. Ada aparat ORI, asli. Ada aparat KW, palsu. Maka sering kita baca di Koran atau tonton di televisi ada wartawan gadungan tertangkap, ya itu dia KW tadi. Ada polisi gadungan, dokter gadungan, tentara gadungan juga ulama gadungan. Di era KW ini, apa pun bisa di-KW-kan. Oh ya, hasil foto juga begitu. Ada foto ‘ori’, ada foto ‘kw’ hehehe. Seperti foto Abraham Samad dan Feriyani Lim hehe. Ada yang mengklaim itu ori, ada yang menyebutnya kw. Aku gak tahu itu ori apa kw, auk ah. KTP juga begitu, ada ori ada kw. Gara-gara KTP kw ini karir cemerlang orang terancam.

Repot ya. Sudah tentu. Semakin pintar orang meniru, semakin canggih kerjanya, semakin sulit untuk membedakan. Maka, setelah membaca penjelasan kawan tadi saya masih kesulitan membedakan tas saya ORI apa KW hehehe. 

Semoga soal ORI atau KW ini tidak merambat jauh. Bahaya kalau ternyata ada suami ori, suami kw. Ada istri ori, ada istri kw. Lebih bahaya kalau ternyata Presiden kita KW, MPR nya KW, DPR nya KW, Hakim KW, Polisi KW, Tentara KW, Jaksa KW… Ups, semoga masih ada yang ‘ORI’ hehe. Makin mabuk kalau yang kw-kw ini dioplos, bisa memabukkan dan mematikan. Jangan sampai!!

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...