Hyvon Ngetich, ia tidak
sepopuler Cristian Ronaldo atau Lionel Messi. Dia mungkin hanya terkenal di
Kenya, negara asalnya. Atau di kalangan para pencinta olahraga lari marathon
dunia. Atau di antara para jurnalis olahraga yang sering meliput lomba lari
marathon. Namun minggu lalu Ngetich
menggemparkan dunia. Bukan karena mencatat rekor spektakuler dalam marathon
yang diikutinya, tapi karena hal lain. Ngetich jadi populer karena aksi
heroiknya. Ia ikut dalam Sunday’s Austin Marathon. Sampai beberapa ratus meter
menjelang finish ia memimpin di depan. Petaka terjadi sekitar 400 meter sebelum
garis finish. Ia tiba tiba tumbang - kemudian diketahui hal itu terjadi karena
kekurangan zat gula. Petugas medis lomba segera berlari dan menawarkan kursi
roda kepadanya. Ia menolak. Dengan merangkak – bertumpu pada telapak tangan dan
lutut – ia menyelesaikan lomba. Ia mencapai garis finish di urutan kedua dengan
catatan waktu 3:04:02.68.
Kepada Televisi local Austin
KEYE TV Ngetich
menyampaikan alasan kenapa ia tidak berhenti. Alasannya, ‘berlari, selalu,
terus berlari dan berlari”
Jon Conley – Direktur Lomba Austin Marathon -
yang menyerahkan hadiah uang sebagai juara kedua menyampaikan, “Anda berlari
sebagai seorang yang gagah berani dan merangkak dengan cara yang belum pernah saya
saksikan dalam hidup saya. Anda layak mendapat penghormatan”
Dr. Laura Goldberg, dokter specialist olahraga dari Klinik Cleveland, kepada ABC News menganjurkan kepada para pelari untuk tidak mengikuti apa yang dilakukan Ngetich. Mereka seharusnya peka pada tanda tanda untuk tahu kapan mesti berhenti. Namun Goldberg juga berujar ,“Orang banyak tidak akan pernah mengerti mengapa seorang pelari harus merangkak susah payah mencapai garis finish”. Ngetich sendiri ketika ditanya Radio BBC, ‘apa yang ia rasakan saat itu?’ hanya bisa menjawab ‘ saya tak dapat mengingat apa yang terjadi saat itu”
Kisah Hyvon Ngetich kemudian menghiasi berbagai surat kabar dan televisi.
Detik-detik ketika ia merangkak untuk dapat mencapai garis finis diunggah di
youtube dan ditonton banyak orang. Ngetich bukan lagi hanya cerita seorang
atlit yang mengikuti lomba marathon. Ngetich melampaui semua itu. Hyvon Ngetich
adalah inspirasi. Dia menjadi gambaran dari manusia, Dia adalah wajah kita.
Jika hidup ini adalah lintasan lari marathon, setiap orang harus berlatih keras
untuk mengikutinya. Marathon – seperti halnya hidup – adalah lintasan panjang.
Di lintasan marathon semua orang berharap mencapai finis, sebagian lagi
berharap menjadi juara. Kerumunan di titik start begitu ramai. Beberapa kilometer
pertama masih begitu ramai, untuk kemudian jarak semakin jauh dan kerumunan
semakin berpencar sampai hanya tersisa sedikit orang. Seorang pemenang lari
marathon sering adalah seorang yang kesepian. Ia berlari sendiri, di antara
tatapan ribuan mata penonton. Tak ada yang berpikir akan jatuh. Ketika kaki menjejak garis finish dan badan menyentuh
pita pembatas yang ada adalah kepuasan. Inilah titik di mana kedigdayaan
dipertunjukkan.
Dan jatuh??? Jatuh adalah kutub yang lain.
Jatuh adalah pengalaman terpuruk, menyakitkan. Ketika jatuh tak banyak orang
yang mau mendekat. Ada yang mendekat hanya untuk bilang ‘yah kasihan’ dan tak
berbuat apa-apa. Ada juga yang bahagia dan senang melihat kejatuhan orang lain.
Ada yang tertawa.
Ngetich menunjukkan sisi lain kemanusiaan
kita. Tidak menyerah ketika jatuh. Ia punya alasan untuk berhenti walau garis
finish hanya tinggal 400 meter lagi. Ia bisa saja memutuskan cukup dan tidak
meneruskan lomba dan duduk di kursi roda petugas medis. Tapi kenyataannya
Ngetich tidak berhenti, ia tidak menyerah. Ia yakin garis finish sudah di depan
mata, ia mesti meneruskan lomba sampai akhir, kalaupun untuk itu ia harus
merangkak dan bertumpu pada lutut.
Di Jalan Salib kehidupan, ada saatnya kita –
Anda dan saya – JATUH. Kita punya pilihan : BERHENTI atau BANGKIT TERUS BERJALAN.
Ngetich terus berlari walau dengan merangkak dan ia mencapai finish.

