Umat Kristiani merayakan Natal yang setiap tahun jatuh pada 25 Desember. Tahun ini Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) mengeluarkan Pesan Natal bertajuk “Hari Ini Telah Lahir Bagimu Juruselamat, Yaitu Kristus, Tuhan, Di Kota Daud” (Lukas 2:11). Para Pemimpin Gereja Indonesia mengingatkan kembali hakekat Natal sebagai tanda belarasa (solidaritas) Allah kepada manusia. Inkarnasi (=Allah yang menjelma menjadi Manusia) adalah tanda tertinggi dari Cinta Allah kepada manusia. Tanggapan terhadap Cinta Allah ini harus dijawab oleh setiap umat Kristiani dengan ikut terlibat memperjuangkan kebaikan bersama. Para Pemimpin Gereja mengingatkan pencapaian-pencapaian positif pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam upaya menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang merata. Di sisi lain juga diingatkan tantangan-tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa. Antara lain disebutkan ancaman kekerasan bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), korupsi dan pungli yang masih merajalela, tingginya kemiskinan : 28,01 juta jiwa (BPS per Maret 2016), maraknya peredaran dan pemakaian narkoba (Data BNN tahun 2015, pada periode Juni hingga November 2015 terjadi penambahan sebesar 1,7 juta jiwa, dari semula 4,2 juta menjadi 5,9 juta jiwa). Kualitas demokrasi, yang tampak dalam penyelenggaraan pilkada serentak, yang masih perlu ditingkatkan.
Kekerasan
Di tengah kegembiraan menyambut Natal, kita masih dihantui aneka kisah kekerasan di tingkat global, regional, nasional maupun lokal. Konflik Politik di beberapa negara memaksa ribuan orang harus mengungsi dan mendatangi negara-negara baru terutama di Eropa. Para pengungsi korban konflik politik dan agama ini kemudian menjadi masalah baru. Kehadiran mereka menimbulkan gesekan yang dipicu krisis ekonomi entah karena ketersediaan pangan, sandang dan papan yang tak tercukupi maupun lapangan kerja yang minim. Krisis melahirkan kekerasan. Aksi teror di Perancis (22/3/2016) dan terakhir teror di Berlin (19/12/2016) adalah puncak gunung es dari tumpukan problem sosial politik ekonomi global. Kekerasan juga terjadi intra-regional. Konflik politik menahun di Laut China Selatan, konflik di Rohingya - Myanmar, perang antar kartel narkoba di Mexico, dan berbagai konflik dengan rentangan skala variatif di berbagai penjuru masih bisa diperpanjang daftarnya untuk mengingatkan bahwa kekerasan masih menjadi pilihan sekelompok orang daam menyelesaikan persolan.
Di dalam negeri, di antara berbagai pencapaian positif, kita mencatat masih ada banyak persoalan serius. Kompas, Sabtu 17/12/2016 menurunkan laporan statistik kasus korupsi di Indonesia. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah menjadi kekerasan yang menghancurkan banyak sendi kehidupan, menyebabkan kemiskinan, kebodohan dan menurunnya indeks mutu manusia. Berdasarkan jumlah penindakan perkara, per 31 Oktober 2016, Kompas mencatat bahwa di tahun 2015 jumlah penyelidikan kasus korupsi berjumlah 87 dan di tanun 2016 berjumlah 81. Penyidikan meningkat menjadi 81 kasus (tahun 2015, 57 kasus). Penuntutan 70 kasus (2015, 62 kasus). Inkracht/berkekuatan hukum tetap 58 kasus (2015, 37 kasus). Ekseskusi 67 kasus (2015, 38 kasus. Berdasarkan pekerjaan/profesi para terpidana korupsi yang ditangani KPK di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung tercatat ; PNS (1.115), Swasta dan lainnya (670), legislatif (480), BUMN/BUMD (149), Kepala Daerah (75) dan lembaga independen (62). Angka-angka ini menunjukkan betapa korupsi di tubuh bangsa ini telah sedemikian massif dan dilakukan oleh berbagai aktor baik penyelenggara pemerintahan (aparatur sipil negara) maupun swasta. Bahkan 30 November 2016 yang lalu seorang perwira tinggi TNI dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena menyelewengkan dana pembelian alutsista sebesar 12 juta dollar Amerika. Jangkauannya juga meliputi daerah sampai ke pusat. KPK sebagai lembaga terdepan pemberantasan korupsi menekankan dua langkah penting yakni, penindakan hukum dan pencegahan. Dua langkah ini menjadi ‘perang bersama’ kita. Dua Organisasi Massa terbesar Islam di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, telah secara konkret melakukan langkah-langkah pencegahan dini. Pengurus Pusat Muhammadiyah merintis “Madrasah anti Korupsi” dan NU membentuk kader anti korupsi dan menggelorakan jihad melawan korupsi. Gereja Katolik, pasca Sidang Sinodal Para Uskup tanggal 10 November 2016 mengeluarkan Seruan Pastoral : Stop Korupsi (Mirifica.net, 14/11/2016). Seruan mana dalam Pertemuan Nasional X Forum Masyarakat Katolik Indonesia di Cipanas, 25 – 27 November 2016 dipertegas lagi dengan pesan “Memperkuat Habitus Anti Korupsi Bagi Keberlanjutan Peradaban Bangsa Indonesia’ (Hidup, 11 Desember 2016).
Kekerasan lain yang masih kita hadapi adalah konflik-konflik yang memakai ‘baju’ suku, agama, ras, dan antar-golongan. Sebagai negara kepulauan dengan belasan ribu pulau, ratusan suku dan bahasa, aneka agama dan system kepercayaan, kepelbagaian dan keragaman adalah keniscayaan. Di sisi lain juga menjadi titik rawan konflik. Kemiskinan dan kebodohan yang masih merajalela adalah masalah utama kita. Pada saat yang sama kita tidak bisa menutup diri terhadap arus kuat modernisasis dan globalisasi yang menjadikan kita bagian dari perkampungan besar dunia ini, namun akan melindas bila kita tidak punya kompetensi serta kelenturan untuk bertahan. Mundurnya kita ke isu-isu primordial (SARA) antara lain karena kegamangan menghadapi tantangan-tantangan baru yang kian berat dan menuntut daya saing. Kemiskinan dan kebodohan adalah ladang subur yang rentan dimanipulasi. Menjadi semakin parah ketika agama yang melulu dilihat sebagai unit sosiologis justru dipakai untuk membangkitkan sentimen-sentimen ini. Konflik yang mulanya adalah pertarungan penguasaan asset ekonomi dan modal menjadi berdarah-darah ketika melibatkan sentimen primordial suku, agama, ras dan golongan sebagai jalan masuk dan pembenaran.
Solidaritas
Tantangan – tantangan kemanusiaan demikian juga menjadi pesan inti Natal. Yesus Kristus – Isa al Masih – lahir di kandang. Kandang menjadi symbol dan ekspresi paling jernih dari kemiskinan, ketiadaan perlindungan fisik (rumah!) dan minimnya akses pada kebutuhan-kebutuhan dasar. Dalam usia masih bayi Yesus menjadi sasaran kebiadaban Herodes yang membunuh semua anak kecil berusia dua tahun ke bawah karena takut tahtanya direbut “Raja Baru’ yang lahir. Ancaman pembunuhan mana kemudian memaksa keluarga sederhana dari Nazareth ini mengungsi ke Mesir dan baru kembali ke Palestina setelah herodes tidak berkuasa lagi. Menjadi gelandangan dan pengungsi adalah fakta keterasingan, tercabut dari kampong asal dengan semua rasa amannya, tanpa perlindungan dan jaminan masa depan, kehilangan hak-hak politik, serta menjadi nobody Karena kehilangan kewarganegaraan. Situasi yang saat ini juga kita saksikan di wajah saudara-saudari kita yang terpaksa mengungsi, melintasi samudera dan benua karena hidupnya terancam, hak-hak asasinya tidak terjamin. Maka merayakan Natal sejatinya tidak terletak pada kemeriahan atribut-atribut yang terpajang di ruang-ruang berpendingin pusat perbelanjaan mewah, atau riuhnya suasana pesta. Pesan utama Natal adalah solidaritas: belarasa terhadap sesama yang kecil, lemah, miskin dan tertindas. Carilah Yesus di antara wajah pengungsi, anak-anak korban kekerasan, kaum miskin yang digusur, dan jutaan wajah korban karena kekerasan ideologi dan pemaksaan kehendak sekelompok kecil orang. Karena, kelak ketika selesai peziarahan hidup di dunia ini ujian kelayakan kita hanya ditentukan oleh apakah ketika Aku lapar engkau memberi Aku makan? Apakah ketika Aku haus engkau memberi Aku minum? Apakah ketika Aku seorang asing kamu memberi aku tumpangan? Apakah ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian? Apakah ketika Aku sakit kamu melawat aku? Apakah ketika Aku di dalam penjara kamu melawat Aku? Batu uji kemanusiaan orang beriman bukanlah seberapa banyak ayat suci yang dihafal, namun seberapa dalam dan intensif ia dalam hidupnya melaksanakan kehendak Allah.
Selamat Natal bagi saudara-saudari yang merayakannya. Gloria in Exelcis Deo et in Terra Pax Hominibus Bonae Voluntatis