[+ 15 Agustus 2017,RIP Pst. Romanus Daeli, OFMCap]
Tadi pagi saya mendapat kabar Pst. Romanus Daeli, OFMCap meninggal di Gunungsitoli, Nias. Saya mengenal beliau pertama kali sekitar bulan Agustus tahun 1994. Waktu itu saya akan masuk Tahun Rohani dan beliau Pastor Paroki Katedral Sibolga. Kesan awal saya, beliau necis, rapi dan berpenampilan menarik. Kesan awal yang untuk bertahun-tahun kemudian tidak berubah. Karena sejak itu sampai saat kami berpisah tahun 2009 saya tetap mengenalnya sebagai pribadi yang selalu tampil rapi dan necis.
Tahun 2003, Pst. Marinus Telaumbanua, OFMCap berhenti sebagai Vikjen Keuskupan Sibolga karena diangkat menjadi Minister Provinsial OFMCap Propinsi Sibolga dan Pst. Romanus diangkat sebagai Vikjen. Jabatan yang diembannya sampai Mgr. Anicetus dipilih menjadi Uskup Co-Adjutor Keuskupan Agung Medan, Februari 2004. Sejak beliau menjabat Vikjen kami bekerja di bawah satu atap, tapi beda lantai. Saya di lantai dua. Beliau sebagai Vikjen menempati ruangan sendiri di lantai satu. Di kantor kami sering bertemu, entah karena urusan tugas maupun ketika bersama para pegawai keuskupan beristirahat sambil minum kopi di ruangan sebelah kantor beliau.
Beliau tinggal di Rumah Tamu Cristoforus. Rumah yang juga menjadi tempat singgah para pastor, suster, katekis dan petugas pastoral serta tamu-tamu keuskupan lainnya. Di situ juga tinggal Pst. Walfried yang bertindak sebagai Guardian. Dalam keadaan biasa, yang makan siang dan malam di Cristoforus adalah Bapa Uskup, Vikjen, Guardian. Pada hari kerja saya makan siang di sana, sesekali makan malam juga. Saya tinggal di Pastoran Katedral yang letaknya tidak jauh. Percakapan di meja makan selalu menarik. Banyak tema bisa jadi bahan cerita. Tidak selalu soal-soal serius. Malah lebih banyak soal-soal lucu dan ringan. Yang sering menjadi ‘bahan olokan’ adalah Pst. Walfried, terutama gaya khas beliau mengungkapkan ‘past tense’ dengan ‘tempo dulu”. “tempo dulu ada yang menelpon mencari kamu. Saya katakan kamu tidak di rumah”, kerap Pst. Walfried bercerita begitu di meja makan. “Tempo dulu kapan pastor?’’…. “Ya kemarin”. “Aduh kalo tempo dulu itu kesannya seperti sudah lampauuuuuu sekali Pastor”. “ya..ya.. kemarin, tempo dulu”. Kalau Pst. Walfried tidak ada – bahkan juga terang-terangan di depan beliau – kami menggunakan ‘tempo dulu’ ini dalam percakapan. Hahahaha… ya ya ya tempo dulu.
Di antara sekian hal konyol dan lucu, sekali waktu kami terbahak-bahak di kamar makan mendengar cerita Pst. Adifeti Telaumbanua (beliau pun sudah meninggal. Requiescas in Pace Pater). Suatu Pagi di Cristoforus : Pst. Walfried pernah mengalami kecelakaan jatuh dari tangga ketika masih bertugas di Nias. Kecelakaan ini dan usia yang lanjut membuat tulang punggungnya bermasalah mempengaruhi caranya berjalan. Pst. Romanus – suatu ketika juga mengalami gangguan saraf punggung. Sakit yang membuatnya harus berobat ke Surabaya, kemudian ke Penang. Sakit punggung ini menyebabkan harus membungkuk ketika berjalan. Jadilah kedua orang ini berjalan membungkuk dengan ‘pola’ yang berbeda. Sementara Pst. Adifeti normal: berjalan tegak. Pagi itu mereka merayakan ekaristi secara konselebrasi. Pst. Adifeti sebagai selebran utama. Pst. Walfried dan Pst. Romanus sebagai konselebran. Pemandangan unik terjadi ketika mereka mengadakan prosesi dari sakristi ke kapel. Kata Pst. Adifeti : seperti gambaran dalam tahap-tahap evolusi Darwin. Dari manusia yang berjalan membungkuk sampai yang berjalan tegak. Membayangkannya saja sudah membuat tertawa. Tapi bagaimana mungkin tertawa di atas penderitaan kedua saudara tua ini. Tawa kami pecah ketika Pst. Romanus mempertegas, “hanya Adifeti yang berjalan tegak”. Pst. Walfried juga mengiyakan. Dengan komentar, ‘ya ya nanti juga kamu seperti itu’. Beristirahatlah dalam damai saudara-saudaraku : Pst. Walfried – Pst. Adifeti – Pst. Romanus, kalian bertiga bisa reuni lagi. Tempo dulu kalian pernah bersama-sama.
Kisah lain lagi…
Pelakunya Pst. Rantinus Manalu – Pst. Romanus – saya sebagai figuran. Pst. Walfried : korban.
Sebagai Guardian Pst. Walfried memperhatikan hari-hari istimewa di antara kami: ulang tahun hidup membiara, ulang tahun tahbisan, pesta nama dan ulang tahun kelahiran. Kadang-kadang ada acara khusus dengan mengundang komunitas-komunitas lain untuk makan malam. Di waktu lain hanya dirayakan terbatas. Tapi menu pasti ‘lebih’ istimewa. Dan ini yang penting : ada bir!!
Sudah beberapa bulan tidak ada yang berpesta. Tanggal-tanggal perayaan pun sudah lewat. Maka peluang untuk dapat makan ‘istimewa’ juga tertutup. Lahirlah persekongkolan spontan ini. “Walfried”, Pst. Rantinus membuka pembicaraan. “Sudah tahu ya ada orang Nias menjadi juara dunia tinju?”. “Saya tidak tahu”, jawab pst. Walfried. ‘Ada. Namanya Oscar de la Hoya”. “Saya belum pernah mendengar nama itu”. Apakah dia warga Negara Indonesia?”, Tanya Pst. Walfried. “Mungkin sudah jadi warga Amerika. Dia dari Hilihoya Zuzundrao, Kec. Mandrehe, Distrik Nias Barat. Maka namanya menjadi Oscar de la Hoya”. “Dia Katolik?”, “Itu yang belum pasti”, kata Pst. Rantinus. “Kalau dia katolik boleh jadi saya yang membaptis”, timpal Pst. Walfried serius. [Catatan : Pst. Walfried mencatat dengan rapi semua orang yang pernah beliau baptis selama hampir 40 tahun sebagai pastor di Nias]. Saya dan Pst. Romanus menimpali, mungkin sudah tidak ke Gereja lagi. Atau jangan-jangan ONKP Pastor.
“Yah ini kebanggaan Indonesia. Tentu saja kebanggaan Nias juga. Apalagi bisa jadi juara dunia tinju. Kita pantas berpesta”, kata Pst. Walfried dengan nada riang. Jadilah kami bersulang bir merayakan kemenangan Oscar de la Hoya, kebanggaan Indonesia, kebanggaaan Nias!!.
Persekongkolan jahat ini terbongkar hari senin, satu hari setelah kami bersulang bir. Ketika kami semua di kantor keuskupan, Pst. Walfried menjadi orang pertama yang menerima Koran. Dan berita kemenangan Oscar de la Hoya dimuat di Koran. Malangnya negara De La Hoya pun disebut. Di meja makan Pst. Walfried – dengan ekspresi datar seperti biasa – berkomentar, “Sekarang saya sadar, saya sudah ditipu. Ternyata de la Hoya bukan orang Nias”. Bapa Uskup yang hadir di meja makan – yang tidak tahu menahu duduk persoalan- hanya diam. Kami bertiga tersenyum dan minta maaf. Yang membuat kami tertawa terbahak-bahak adalah pernyataan penutup Pst. Walfried, “Kalau yang lain yang menipu, saya mengerti. Ini Vikjen juga ikut menipu” hahahaha. Pst. Romanus menjawab, "Saya tidak punya pilihan Walfried. Kalau pemungutan suara saya juga kalah”. Di hadapan saudari maut ini pun Pastor tidak punya pilihan. Seperti St. Fransiskus, Pastor menyapa kematian ini dengan tenang, "selamat datang saudari maut!!"
Requiscas in Pace Pater Romanus. Selamat berjumpa dengan para saudara yang lain yang sudah mendahului kami. Bunda Maria mendoakanmu. Doakanlah kami yang masih beziarah.