Rabu, 11 Oktober 2017

MARADONA : FROM HERO TO ZERO

Tak berlebihan kiranya kalau menyebut Argentina adalah Maradona atau Maradona adalah Argentina. Bagi generasi yang menonton pertandingan sepakbola, terutama paruh kedua tahun delapanpuluhan, ungkapan ini nyaris menjadi credo. Maradona anak ajaib. Tampil memukau di ajang Piala Dunia Junior, lalu masuk skuad inti Argentina di PD Spanyol 1982. Di situ ia hanya diberi jam merumput terbatas. Ia tenggelam di bawah nama besar Daniel Pasarela, bintang Argentina di Piala Dunia sebelumnya. PD Mexico 1986 menjadi panggung pertunjukkan Maradona. Dua momen yang dikenang – nyaris dengan intensitas yang sama - : gol ‘tangan tuhan’ ke gawang Inggris yang dijaga kiper kawakan Peter Shilton, lalu aksi memukau melewati lima pemain Inggris sebelum akhirnya untuk kedua kali menaklukan Shilton. Dua momen yang jadi buah bibir melampaui kesuksesan Argentina menjadi juara setelah di final mengalahkan Jerman Barat 3 – 2! Argentina juara dunia, Maradona dipuja bak Dewa.

PD 1990 menjadi cerita dengan sisi kontras yang lain. Sempat kalah 0 – 1 melawan Kamerun di pertandingan pembuka, Argentina lolos sampai ke final lagi-lagi melawan Jerman. Kali ini bukan cerita kedigdayaan. Pelanggaran keras Roberto Sensini terhadap Rudi Voeller di kotak penalti diganjar hukuman tendangan duabelas pas oleh Edgardo Codesal – wasit asal Mexico yang memimpin pertandingan. Andreas Brehme – bek kiri Jerman – menjadi algojo. Tendangan kaki kanannya ke pojok kanan gawang di menit akhir pertandingan membenamkan mimpi Argentina menjadi Juara Dunia dua kali berturut-turut. Argentina tersungkur, Maradona terpuruk.

Keterpurukan Argentina rupanya menjadi awal cerita keruntuhan sang mega Bintang, Maradona. Setelah gagal mengantar Argentina juara, Maradona dirundung skandal obat bius yang menghebohkan. Napoli – klub yang diantarnya menjadi Juara Seri A Italia – sekaligus menjadi saksi idolanya pudar. Dari seorang pahlawan, Maradona menjadi pecundang. Setelah lama berjuang melawan ketergantungan obat, Maradona kembali ke lapangan hijau. Kali ini dengan bobot tubuh yang jauh dari ideal seorang pesepakbola ia mencoba keberuntungan sebagai pelatih. Namun sepakbola – seperti juga bidang kehidupan yang lain – tak selalu menyimpan keniscayaan. Pemain yang hebat, belum tentu juru latih yang hebat pula. Setelah gagal di klub dan tak bersinar sebagai pelatih tim nasional, Maradona beralih menjadi komentator televisi. Era kejayaannya telah usai, yang tinggal hanya cerita. Maradona seolah-olah mengingatkan kita lagi akan hidup dengan seluruh warnanya: bintang muda yang baru mengkilap, dipuja seperti dewa, lalu jadi pecundang. Hari ini dipuja, besok lusa dicaci maki. Disanjung tinggi sampai ke langit, dihempaskan bak sampah.

Bintang-bintang baru akan lahir terus, bola masih akan terus bergulir. Seperti hidup: tunas-tunas baru akan bermunculan, pun kisah dengan segala pernak-perniknya.

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...