Tak berlebihan
kiranya kalau menyebut Argentina adalah Maradona atau Maradona adalah
Argentina. Bagi generasi yang menonton pertandingan sepakbola, terutama paruh
kedua tahun delapanpuluhan, ungkapan ini nyaris menjadi credo. Maradona anak
ajaib. Tampil memukau di ajang Piala Dunia Junior, lalu masuk skuad inti
Argentina di PD Spanyol 1982. Di situ ia hanya diberi jam merumput terbatas. Ia
tenggelam di bawah nama besar Daniel Pasarela, bintang Argentina di Piala Dunia
sebelumnya. PD Mexico 1986 menjadi panggung pertunjukkan Maradona. Dua momen
yang dikenang – nyaris dengan intensitas yang sama - : gol ‘tangan tuhan’ ke
gawang Inggris yang dijaga kiper kawakan Peter Shilton, lalu aksi memukau
melewati lima pemain Inggris sebelum akhirnya untuk kedua kali menaklukan
Shilton. Dua momen yang jadi buah bibir melampaui kesuksesan Argentina menjadi
juara setelah di final mengalahkan Jerman Barat 3 – 2! Argentina juara dunia,
Maradona dipuja bak Dewa.
PD 1990 menjadi
cerita dengan sisi kontras yang lain. Sempat kalah 0 – 1 melawan Kamerun di
pertandingan pembuka, Argentina lolos sampai ke final lagi-lagi melawan Jerman.
Kali ini bukan cerita kedigdayaan. Pelanggaran keras Roberto Sensini terhadap Rudi
Voeller di kotak penalti diganjar hukuman tendangan duabelas pas oleh Edgardo
Codesal – wasit asal Mexico yang memimpin pertandingan. Andreas Brehme – bek kiri
Jerman – menjadi algojo. Tendangan kaki kanannya ke pojok kanan gawang di menit
akhir pertandingan membenamkan mimpi Argentina menjadi Juara Dunia dua kali
berturut-turut. Argentina tersungkur, Maradona terpuruk.
Keterpurukan
Argentina rupanya menjadi awal cerita keruntuhan sang mega Bintang, Maradona.
Setelah gagal mengantar Argentina juara, Maradona dirundung skandal obat bius
yang menghebohkan. Napoli – klub yang diantarnya menjadi Juara Seri A Italia –
sekaligus menjadi saksi idolanya pudar. Dari seorang pahlawan, Maradona menjadi
pecundang. Setelah lama berjuang melawan ketergantungan obat, Maradona kembali
ke lapangan hijau. Kali ini dengan bobot tubuh yang jauh dari ideal seorang
pesepakbola ia mencoba keberuntungan sebagai pelatih. Namun sepakbola – seperti
juga bidang kehidupan yang lain – tak selalu menyimpan keniscayaan. Pemain yang
hebat, belum tentu juru latih yang hebat pula. Setelah gagal di klub dan tak
bersinar sebagai pelatih tim nasional, Maradona beralih menjadi komentator
televisi. Era kejayaannya telah usai, yang tinggal hanya cerita. Maradona
seolah-olah mengingatkan kita lagi akan hidup dengan seluruh warnanya: bintang
muda yang baru mengkilap, dipuja seperti dewa, lalu jadi pecundang. Hari ini
dipuja, besok lusa dicaci maki. Disanjung tinggi sampai ke langit, dihempaskan bak
sampah.
Bintang-bintang
baru akan lahir terus, bola masih akan terus bergulir. Seperti hidup:
tunas-tunas baru akan bermunculan, pun kisah dengan segala pernak-perniknya.