Bulan Maret 2016 penulis berkesempatan mengunjungi Gereja Abu Sirga di Cairo – Mesir. Gereja Abu Sirga merupakan Gereja Tertua di kota Cairo, yang dibangun sekitar abad ke 4. Gereja ini didedikasikan kepada dua orang martir bernama St. Sergius dan Bacchus. Secara tradisi Gereja ini didirikan di tempat kediaman Keluarga Kudus ( Yusuf, Maria dan bayi Yesus Kristus ) selama mereka mengungsi di Mesir karena dikejar dan akan dibunuh oleh Raja Herodes ( Mat 2 : 13 ). Gereja ini terus dikunjungi oleh para peziarah dan turis dari seluruh dunia mengingat peristiwa pengungsian Yesus, Maria dan Yusuf ke Mesir. Setiap tahunnya pada kalendar Gereja Koptik ( hari ke 24, bulan Bachons ) di gereja ini diadakan misa untuk memperingati peristiwa tersebut. Di bawah gereja terdapat Gua yang secara tradisi dipercaya sebagai tempat tinggal Keluarga Kudus pada saat mereka berada di Mesir. Amir Gabalah Samuel – guide lokal Mesir – menerangkan dengan fasih sejarah tempat yang ramai dikunjungi peziarah manca negara ini.
Penulis mengenang kembali tempat suci ini dalam suasana menyambut Hari Raya Natal – Hari Kelahiran Yesus Kristus. Natal dirayakan sebagai salah satu hari raya besar bagi umat Kristiani. Secara Teologis makna terbesar dari perayaan ini adalah peristiwa inkarnasi (incarne - bahasa Yunani - berarti “menjadi daging’) : Putra Allah Yang Maha Tinggi lahir sebagai manusia, mengambil rupa kedagingan manusia (Injil Yohanes 1:14). Peristiwa itu adalah peristiwa iman terbesar, Allah menunjukkan kecintaan dan keberpihakannya pada manusia. Natal kemudian dirayakan secara meriah karena keyakinan ini. Peradaban manusia berkembang, natal dirayakan dengan berbagai cara dalam aneka tradisi, namun nuansa yang dibawanya tetap sama: sukacita dan damai. “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” adalah kidung pujian natal tertua yang pernah ada.
Natal dan Keluarga
Gereja Abu Sirga mengingatkan kembali satu pesan penting Natal yaitu kehadiran Yesus dalam keluarga. Tak dapat dipungkiri natal perdana terjadi dalam keluarga. Yesus hadir pertama dalam keluarga Yusuf dan Maria. Yusuf dan Maria menjadi ‘wakil’ dari setiap keluarga, bahkan setiap insan, yang menyambut kelahiran Yesus. Teladan utama dari keluarga Nazareth ini adalah ketaatan dan kerendahan hati. Ketaatan secara total ditunjukkan dengan mematuhi perintah Allah. Ketaatan yang diiyakan secara verbal dan ditunjukkan dalam laku tindak. Ketaatan itu bukanlah tanpa resiko. Salah satunya adalah kenyataan harus melahirkan dengan fasilitas yang tidak memadai karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Maria – seperti ribuan ibu lain –menghadapi resiko ini. Fakta ini menunjukkan natal juga adalah peristiwa iman yang menyapa ibu-ibu di berbagai belahan dunia yang sampai saat ini masih cukup banyak harus menempuh resiko kematian karena melahirkan. Survei Indikator Kesehatan Nasional mencatat angka kematian ibu (AKI) saat ini adalah 306 orang per 100 ribu. Sementara itu, Mentri kesehatan – Nila F. Moeloek – menambahkan bahwa dari 5000 kematian pertahun , pada tahun 2016 jumlahnya berkurang menjadi 4.912. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014 – 2019 menargetkan AKI turun menjadi 276 per 100.000 kelahiran. Faktor kesehatan, akses transportasi dan faktor sosial masih memengaruhi tingginya tingkat kematian ibu. (www.mediaindonesia.com, 11 oktober 2017, 08.23 WIB). Resiko ini masih ditambah dengan arogansi kekuasaan Herodes yang mau mengamankan kekuasaan politisnya. Keputusan politik yang memaksa keluarga Yusuf, Maria dan bayi Yesus harus mengungsi ke Mesir. Ancaman pembunuhan yang dihadapi Yesus begitu kasat mata. Yesus korban ketamakan politik yang mau mengamankan kekuasaan dengan segala cara. Sampai saat ini pun ancaman pembunuhan bagi anak-anak masih nyata. Aneka bentuk kekerasan dan ancaman terjadi tiap hari. Sindikat pengedaran narkotika dan obat-obat terlarang masih merajalela dengan modus yang diperbarui setiap kali. Pertarungan politik kekuasaan pun masih terjadi. Politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan cenderung menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan. Natal menyadarkan dan mengingatkan supaya setiap orang menghindari penyalahgunaan kekuasaan karena terlalu banyak yang akan menjadi korban dan tak ternilai harga yang harus dibayar untuk memperbaiki kerusakan baik fisik maupun kerusakan sosialnya.
Keluarga dalam semuanya menjadi salah satu – jika bukan satu-satunya – benteng kokoh menghadapi berbagai bentuk ancaman yang ada. Keluarga tidak saja berkewajiban mencukupi kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan), tetapi juga berperan penting menjadi ‘benteng sosial’ bagi anak-anak. Cinta, kejujuran, ketulusan, solidaritas, belas kasih, menghargai perbedaan, peduli pada pada yang menderita, keberpihakan pada korban adalah nilai-nilai yang sudah seharusnya ditanamkan sejak dari rumah. Rumah menjadi ‘universitas cinta kasih’ : tempat setiap orang saling asih, asah dan asuh. Jika fundasi dalam keluarga ini sudah kokoh, kita akan menyaksikan masyarakat dan ruang sosial kita sebagai tempat perjumpaan yang sehat. Ruang yang tahu menghargai sesama, bisa menerima perbedaan tanpa merasa terancam.
Natal sejati tidak terletak pada kemeriahan ornamen atau mahalnya biaya perayaan, apalagi jika kemeriahan ornamen dan kemegahan perayaan perayaan itu sarat kepentingan yang pada akhirnya justru menindas. Keagungan Natal terdapat di hati setiap orang yang menjadikan dirinya palungan yang pantas bagi Sang Juru Selamat.
Selamat Natal.