#catatansepakbola
Inggris lolos ke per empat final setelah menang adu penalti melawan Kolumbia. Di waktu normal keduanya bermain imbang 1 - 1. Hasil ini tentu menggembirakan mereka. Kolumbia sendiri tidak bermain buruk. Sebaliknya mereka ketat dalam bertahan dan menebar ancaman serius di daerah pertahanan Inggris. Tetapi itulah sepak bola, apalagi ketika laga ditentukan oleh adu penalti. Butuh tiga hal di sana : penendang hebat, kiper handal dan nasib baik! Laga ini tergolong keras. Benturan fisik yang berujung keluarnya kartu kuning kerap terjadi. Falcao, dkk menangis. Kane, dkk tertawa.
Lolosnya Inggris sudah diprediksi Alan Shearer -mantan ujung tombak Inggris - yang saat ini jadi kolumnis untuk BBC Sport. 'Perempat final adalah target yang realistis', ujar Shearer. Garry Neville - eks punggawa MU dan bek tim nasional - punya keyakinan yang sama. Saat ini Inggris di rute yang (lebih) mudah. Neville mengacu ke perjalanan Inggris di pagelaran beberapa Piala Dunia sebelumya - beberapa di antaranya ia ikut bermain. Pada 1998 mereka dikandaskan Argentina. 2002 dikalahkan Brazil. 2010 kandas di kaki Jerman. Di 2014 kalah oleh Italia dan Uruguay. Maka inilah saatnya mengulang capaian terbaik Inggris, lolos ke semi final seperti Garry Lineker, dkk di Piala Dunia 1990.
Gareth Southgate. Mulanya dipandang sebelah mata. Rekam jejaknya sebagai pelatih tidak cemerlang. Bahkan tim yang dilatihnya justru pernah demosi. Ia menukangi Inggris yang kali ini 'tanpa bintang'. Satu-satunya bintang di tim ini adalah Harry Kane, komentar Teddy Sheringham, mantan striker Inggris. Tidak ada kiper kokoh seperti Peter Shilton. Tidak ada sosok seperti Tonny Adams atau Rio Ferdinand di jantung pertahanan. Tak ada David Beckham, Frank Lampard atau Steven Gerrard - jendral lapangan tengah. Tidak ada Garry Lineker, Alan Shearer, Michael Owen dan Ronney. Tim ini miskin bintang. Namun berkah lain dari ketiadaan bintang adalah mereka bermain sebagai tim, kolektif. Pemain-pemain muda Inggris tampil bertenaga. Southgate tak segan-segan mengakui ia belajar banyak di Etihad Stadium - markas Mancester City - dari sosok Pep Guardiola. City - juara Liga Inggris 2017/2018 - adalah 'kesebelasan para bangsa'. Para pemainnya berasal dari manca negara. Bek Tengah - Stones - bermain di City. Para pemain Inggris belajar banyak dari klub. Chelsea - di bawah Antonio Conte - meyakinkan pilihan memakai tiga bek tengah adalah pilihan terbaik. Sampai sejauh ini keputusan itu tidak keliru. Akankah tuah Guardiola turun atas tim Inggris kali ini? Hanya Tuhan yang tahu.. Tuah Guardiola setidak-tidaknya sudah terbukti di dua Piala Dunia Terakhir. Di 2010 saat Guardiola melstih Barcelona, Spanyol ke Afrika Selatan membawa sebagian punggawa Barca di tim. Tiki taka ala Barca menular ke timnas, Spanyol jadi juara. Tahun 2014 Guardiola ada di Bayern Munchen. Timnas Jerman ke Brazil membawa sedretan bintang Muenchen. Mereka pulang membawa trophy. Tahun ini Pep ada di City. Mengapa tidak.
Lawan Inggris di per empat final adalah Swedia. Tim negeri Volvo ini adalah pembunuh raksasa. Italia dan Belanda takluk di bawah mereka dan gagal ke Russia. Enampuluh tahun lalu - 1958 - mereka runner up di kandang sendiri. Apakah sejarah akan berulang? Selama bola bundar apa pun mungkin terjadi. Laga keduanya akan menarik karena masing-masing ingin mengukir sejarah.
Langganan:
Komentar (Atom)
𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀
Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...
-
Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...
-
Pupus sudah harapan para pencinta bola menyaksikan Italia tampil di putaran final Piala Dunia 2018 yang akan digelar di Rusia. Italia menyu...