Minggu, 19 April 2020

P S K

(catatan sebelum Covid19)

Dua minggu yang lalu saya ke stasi. Di dalam mobil kami berempat. Jalanan agak sepi di hari minggu pagi itu, mungkin karena hari libur. Orang lebih bayak berdiam di rumah. Tidak banyak kendaraan yang lewat. Di antara kendaraan lalu Lalang ada satu yang menarik perhatian saya : pedagang sayur keliling (PSK)! Saya meminta memperlambat laju kendaraan kami supaya bisa mengambil gambar. Tiga orang rekan tertawa karena menganggapa saya usil. Setelah mengambil gambar dan menaruh kembali smartphone, saya membuka percakapan, “Ibu – kebetulan yang saya potret seorang ibu – pedagang sayur keliling ini futuristik”. “Kenapa futuristik Mo?”. “Ya futuristik. Profesi ini sudah dia jalani jauh sebelum ada grab food. Orang sekarang baru belanja berbasis aplikasi, ibu ini sudah sejak jaman hape senter, bahkan sebelumnya, sudah berpikir mendekatkan konsumen dengan produk. Ia juga sudah mengantisipasi apa yang sekarang ini kita sebut disrupsi. Dia tau ini jaman orang mager, malas gerak. Malas untuk ke pasar. Malas untuk keluar belanja apalagi yang mau dibeli hanya seikat kangkung atau sejumput cabai keriting. Dia juga sudah melakukan studi pasar sayur apa yang paling diminati, sehingga yang dia bawa ‘berbasis’ pesanan pelanggan. Hebatnya lagi itu tidak dicatat dengan bantuan aplikasi, tapi berbasis memori otak sendiri”. Penjelasan saya ditanggapi macam-macam. Tapi kami berempat sepakat, “pedagang sayur keliling ini hebat, fenomenal!”.

Pembicaraan tentang pedagang sayur keliling membangkitkan imajinasi saya tentang entitas yang lain : Gereja!. Mungkin tidak mudah mencari benang merah gereja dan pedagang sayur keliling. Sebagai komparasi juga tak bisa diterima. Guru ilmu logika dasar sudah mengingatkan sejak awal, syarat sebuah komparasi adalah dua hal yang mau dibandingkan meski mempunyai basis yang sama. Karena itu – secara logika – kerbau tidak bias dikomparasi dengan ikan misalnya. Jadi ini lebih tepat sebuah analogi. Pedagang sayur keliling sebagai analogi! Ketika saya melontarkan pertanyaan, “apakah penjual sayur itu bertanya identitas pembelinya? Atau pembeli sebelum belanja menginterogasi penjual tentang asal muasalnya dan asal muasal sayur mayur yang dijual?”. Teman-temanku hanya tertawa. Relasi yang tercipta antara si penjual dan pembeli itu suatu proses alamiah yang terbangun sampai mereka menemukan definisi bersama : langganan!. Penjual langganan, pembeli langganan. Dalam ‘langganan’ ada sifat turunan lain yang bisa kita temukan : kepercayaan (trust) dan kesetiaan. Si penjual percaya pembelinya menanti dengan setia. Hal lain yang menarik adalah mobilitas. Di era serba mobile : mobile phone, mobile hospital, dan mobile-mobile lainnya, pedagang sayur keliling ini contoh sempurna dari mobilitas. Ia bergerak membeli sayur, memilah-milah dan menyimpan dalam wadah yang   lalu mengantar ke pelanggan, bahkan sampai ke pintu rumah pelanggan. Imajinasiku berbisik Gereja bisa belajar dari pedagang sayur keliling, setidak-tidaknya untuk beberapa hal. Pertama, mobilitas. Ia bergerak terus menyapa pelanggan. Sapaannya bukan musiman, tapi setiap hari. Kedua, tahu kebutuhan. Pedagang sayur menyediakan apa yang jadi kebutuhan pembeli. Dia mengenal kebutuhan pelanggan karena mengenal mereka, setiap hari bergaul. Setiap hari berjumpa. Daftar kebutuhan tercatat di kepalanya. Karena itu kehadirannya ditunggu, bahkan dirindukan. Ketiga, tanpa sekat. Pelanggannya orang-orang dari berbagai latar belakang : usia, suku, agama, pendidikan. Siapa saja boleh membeli.

Pedagang sayur keliling memberi inspirasi tentang sebuah eklesiologi kontemporer! Terngiang kembali seruan Paus dalam Evangelii Gaudium art. 49, “…marilah kita bergerak keluar menawarkan kepada setiap orang hidup Yesus Kristus. Di sini saya mengulangi bagi seluruh Gereja apa yang telah sering saya katakan kepada para imam dan umat awam di Buenos Aires: saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri. Saya tidak menginginkan Gereja yang berambisi menjadi pusat dan berakhir dengan terperangkap dalam jerat obsesi dan prosedur. Kalau ada suatu yang harus dan pantas menyusahkan kita atau mengusik hati nurani kita, hal itu adalah kenyataan bahwa begitu banyak saudarasaudari kita hidup tanpa kekuatan, terang dan penghiburan yang lahir dari persahabatan dengan Yesus Kristus, tanpa komunitas iman yang mendukung mereka, tanpa makna dan tujuan hidup. Lebih daripada oleh perasaan takut tersesat, saya berharap bahwa kita akan digerakkan oleh perasaan takut tetap tertutup dalam struktur-struktur yang memberikan kita rasa aman palsu, dalam peraturan-peraturan yang menjadikan kita hakim-hakim yang kejam, dalam kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita merasa aman, sementara di luar pintu kita orang-orang sedang kelaparan dan Yesus tak lelah-lelahnya bersabda kepada kita: “Kamu harus memberi mereka makan” (Mrk. 6:37).

Komunio ala pedagang sayur adalah komunitas yang berani bergerak keluar, berani mengambil resiko memar, kotor dan terluka karena di luar pintu gereja masih banyak yang lapar, baik fisik maupun batin.

@hansjeharut    
(Sudah dimuat di Majalah Berkat)      

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...