(catatan sebelum Covid19)
Dua minggu yang
lalu saya ke stasi. Di dalam mobil kami berempat. Jalanan agak sepi di hari
minggu pagi itu, mungkin karena hari libur. Orang lebih bayak berdiam di rumah.
Tidak banyak kendaraan yang lewat. Di antara kendaraan lalu Lalang ada satu
yang menarik perhatian saya : pedagang sayur keliling (PSK)! Saya meminta
memperlambat laju kendaraan kami supaya bisa mengambil gambar. Tiga orang rekan
tertawa karena menganggapa saya usil. Setelah mengambil gambar dan menaruh
kembali smartphone, saya membuka percakapan, “Ibu – kebetulan yang saya
potret seorang ibu – pedagang sayur keliling ini futuristik”. “Kenapa futuristik
Mo?”. “Ya futuristik. Profesi ini sudah dia jalani jauh sebelum ada grab
food. Orang sekarang baru belanja berbasis aplikasi, ibu ini sudah sejak
jaman hape senter, bahkan sebelumnya, sudah berpikir mendekatkan
konsumen dengan produk. Ia juga sudah mengantisipasi apa yang sekarang ini kita
sebut disrupsi. Dia tau ini jaman orang mager, malas gerak. Malas
untuk ke pasar. Malas untuk keluar belanja apalagi yang mau dibeli hanya seikat
kangkung atau sejumput cabai keriting. Dia juga sudah melakukan studi pasar
sayur apa yang paling diminati, sehingga yang dia bawa ‘berbasis’ pesanan
pelanggan. Hebatnya lagi itu tidak dicatat dengan bantuan aplikasi, tapi
berbasis memori otak sendiri”. Penjelasan saya ditanggapi macam-macam. Tapi
kami berempat sepakat, “pedagang sayur keliling ini hebat, fenomenal!”.
Pembicaraan
tentang pedagang sayur keliling membangkitkan imajinasi saya tentang entitas
yang lain : Gereja!. Mungkin tidak mudah mencari benang merah gereja dan
pedagang sayur keliling. Sebagai komparasi juga tak bisa diterima. Guru ilmu
logika dasar sudah mengingatkan sejak awal, syarat sebuah komparasi adalah dua
hal yang mau dibandingkan meski mempunyai basis yang sama. Karena itu – secara
logika – kerbau tidak bias dikomparasi dengan ikan misalnya. Jadi ini lebih tepat
sebuah analogi. Pedagang sayur keliling sebagai analogi! Ketika saya
melontarkan pertanyaan, “apakah penjual sayur itu bertanya identitas
pembelinya? Atau pembeli sebelum belanja menginterogasi penjual tentang asal
muasalnya dan asal muasal sayur mayur yang dijual?”. Teman-temanku hanya
tertawa. Relasi yang tercipta antara si penjual dan pembeli itu suatu proses
alamiah yang terbangun sampai mereka menemukan definisi bersama : langganan!.
Penjual langganan, pembeli langganan. Dalam ‘langganan’ ada sifat turunan lain
yang bisa kita temukan : kepercayaan (trust) dan kesetiaan. Si penjual
percaya pembelinya menanti dengan setia. Hal lain yang menarik adalah
mobilitas. Di era serba mobile : mobile phone, mobile hospital,
dan mobile-mobile lainnya, pedagang sayur keliling ini contoh sempurna
dari mobilitas. Ia bergerak membeli sayur, memilah-milah dan menyimpan dalam
wadah yang lalu mengantar ke pelanggan, bahkan sampai ke
pintu rumah pelanggan. Imajinasiku berbisik Gereja bisa belajar dari pedagang
sayur keliling, setidak-tidaknya untuk beberapa hal. Pertama, mobilitas.
Ia bergerak terus menyapa pelanggan. Sapaannya bukan musiman, tapi setiap hari.
Kedua, tahu kebutuhan. Pedagang sayur menyediakan apa yang jadi
kebutuhan pembeli. Dia mengenal kebutuhan pelanggan karena mengenal mereka,
setiap hari bergaul. Setiap hari berjumpa. Daftar kebutuhan tercatat di
kepalanya. Karena itu kehadirannya ditunggu, bahkan dirindukan. Ketiga,
tanpa sekat. Pelanggannya orang-orang dari berbagai latar belakang : usia,
suku, agama, pendidikan. Siapa saja boleh membeli.
Pedagang sayur
keliling memberi inspirasi tentang sebuah ‘eklesiologi kontemporer’!
Terngiang kembali seruan Paus dalam Evangelii Gaudium art. 49, “…marilah
kita bergerak keluar menawarkan kepada setiap orang hidup Yesus Kristus. Di
sini saya mengulangi bagi seluruh Gereja apa yang telah sering saya katakan
kepada para imam dan umat awam di Buenos Aires: saya lebih menyukai Gereja yang
memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, daripada Gereja
yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri.
Saya tidak menginginkan Gereja yang berambisi menjadi pusat dan berakhir dengan
terperangkap dalam jerat obsesi dan prosedur. Kalau ada suatu yang harus dan
pantas menyusahkan kita atau mengusik hati nurani kita, hal itu adalah
kenyataan bahwa begitu banyak saudarasaudari kita hidup tanpa kekuatan, terang
dan penghiburan yang lahir dari persahabatan dengan Yesus Kristus, tanpa
komunitas iman yang mendukung mereka, tanpa makna dan tujuan hidup. Lebih
daripada oleh perasaan takut tersesat, saya berharap bahwa kita akan digerakkan
oleh perasaan takut tetap tertutup dalam struktur-struktur yang memberikan kita
rasa aman palsu, dalam peraturan-peraturan yang menjadikan kita hakim-hakim
yang kejam, dalam kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita merasa aman, sementara
di luar pintu kita orang-orang sedang kelaparan dan Yesus tak lelah-lelahnya
bersabda kepada kita: “Kamu harus memberi mereka makan” (Mrk. 6:37).
Komunio ala pedagang sayur adalah komunitas yang berani bergerak keluar,
berani mengambil resiko memar, kotor dan terluka karena di luar pintu gereja
masih banyak yang lapar, baik fisik maupun batin.
@hansjeharut
(Sudah dimuat di Majalah Berkat)