Pupus sudah harapan para pencinta bola
menyaksikan Italia tampil di putaran final Piala Dunia 2018 yang akan digelar
di Rusia. Italia menyusul tim besar Eropa lainnya yang sudah lebih dulu gagal
melaju ke putaran final, Belanda. Dua negara yang punya tradisi panjang di
pentas sepakbola dunia takluk oleh negara yang sama : Swedia. Ada apa?
Belanda mewariskan ‘total football’ – gaya bermain
temuan Rinus Michels yang kemudian didapuk sebagai “Bapak Total Football” dan
diterapkan dengan baik di era Johan Cruyff. Dengan gaya total football Ajax
Amsterdam menguasai turnamen antar klub Eropa di paruh pertama tahun
tujuhpuluhan. Belanda dua kali berturut-turut tampil di final Piala Dunia, 1974
di Jerman dan 1978 di Argentina. Walaupun di kedua perhelatan itu Belanda hanya
menjadi runner-up, total football tetap dikenang. Belanda kemudian ditabalkan
sebagai ‘Negara Spesialis Runner Up’. Kutukan sebagai spesialis nomor dua ini
baru dipatahkan satu dekade kemudian, ketika akhirnya mereka menjadi kampiun
Piala Eropa 1988. Kuartet Legendaris : Ronald Koeman, Frank Rijkard, Ruud Gulit
dan Marco Van Basten tampil memukau waktu itu. Johan Cruyff – salah satu murid
terbaik Opa Rinus Michels - kemudian datang ke Barcelona menularkan virus ‘total
football’. Barcelona memodifikasinya menjadi varian baru : tiki taka. Barca
tampil indah memesona dengan tingkat penguasaan bola dan determinasi tinggi. Seni
sepak bola nyaris berada di tingkatnya yang paling tinggi. Tim Nasional Spanyol
pun mendapat berkah : Juara Dunia dan Juara Eropa!!. Dan Belanda? Setelah
tampil menghibur di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan hampir tak ada prestasi
yang mengejutkan. Kegagalan masuk putaran final Piala Dunia Rusia 2018 hanya
menambah daftar nestapa Tim Orange ini.
Berbeda dari Belanda. Italia adalah Juara
Dunia empat kali. Di Piala Dunia 2018 ia menjadi satu-satunya negara yang
pernah menjadi Juara Piala Dunia yang gagal masuk putaran final! Brazil,
Jerman, Argentina, Uruguay, Inggris, Perancis dan Spanyol semuanya hadir. Jika Belanda
terkenal karena sepakbola menyerang dengan penguasaan bola maksimal, Italia
mengajarkan sistem pertahanan yang kokoh. Tembok Pertahanan Italia ibarat pintu
besi kokoh dengan gerendel yang sulit ditembus. Mereka punya deretan
pemain-pemain belakang hebat. Trio BBC (Barzagli – Bonucci – Chiellini) yang
semalam tampil meneruskan ‘tradisi bertahan’ ini juga bukan bek ‘ecek-ecek’.
Sayang sepakbola sudah semakin maju. Pertahanan kokoh bukan satu-satunya
jaminan akan menang. Di dua laga kandang-tandang melawan Swedia faktor
kebugaran fisik jadi sorotan. Italia seperti sekumpulan orang tua tak berdaya.
Bahkan ironisnya, Swedia menerapkan dengan lebih baik taktik bertahan dengan
memarkir bus. Di San Siro, di depan pendukungnya sendiri, Italia mengubur asa
tampil di Rusia tahun depan. Buffon – benteng terakhir Italia lebih dari satu
dekade terakhir – mengundurkan diri dari tim Nasional. Era kejayaan telah
berakhir. Setiap orang punya masa, setiap masa punya orangnya. Era Buffon
bersama tim nasional pun selesai sudah.
Belanda dan Italia menyadarkan dan
mengingatkan kita, keunggulan dan kejayaan itu bukan warisan. Ia hasil daya
upaya dan inovasi terus menerus. Sepakbola pun demikian. Tim yang unggul dan
berjaya adalah mereka yang yang mempertahankan tradisi tapi tak berhenti
berinovasi, bahkan tak takut tampil beda melawan pakem untuk tampil dengan cara
yang sama sekali baru. Di bidang kehidupan yang lain pun demikian. Tradisi,
inovasi dan keberanian menerapkan sesuatu yang baru, bahkan ketika itu dianggap
aneh dan melawan arus dibutuhkan. Kita menyebutnya : DISRUPSI!!
@Semabung Lama, 14/11/2017
