Senin, 13 November 2017

SEPAK BOLA & DISRUPSI

Pupus sudah harapan para pencinta bola menyaksikan Italia tampil di putaran final Piala Dunia 2018 yang akan digelar di Rusia. Italia menyusul tim besar Eropa lainnya yang sudah lebih dulu gagal melaju ke putaran final, Belanda. Dua negara yang punya tradisi panjang di pentas sepakbola dunia takluk oleh negara yang sama : Swedia. Ada apa?

Belanda mewariskan ‘total football’ – gaya bermain temuan Rinus Michels yang kemudian didapuk sebagai “Bapak Total Football” dan diterapkan dengan baik di era Johan Cruyff. Dengan gaya total football Ajax Amsterdam menguasai turnamen antar klub Eropa di paruh pertama tahun tujuhpuluhan. Belanda dua kali berturut-turut tampil di final Piala Dunia, 1974 di Jerman dan 1978 di Argentina. Walaupun di kedua perhelatan itu Belanda hanya menjadi runner-up, total football tetap dikenang. Belanda kemudian ditabalkan sebagai ‘Negara Spesialis Runner Up’. Kutukan sebagai spesialis nomor dua ini baru dipatahkan satu dekade kemudian, ketika akhirnya mereka menjadi kampiun Piala Eropa 1988. Kuartet Legendaris : Ronald Koeman, Frank Rijkard, Ruud Gulit dan Marco Van Basten tampil memukau waktu itu. Johan Cruyff – salah satu murid terbaik Opa Rinus Michels - kemudian datang ke Barcelona menularkan virus ‘total football’. Barcelona memodifikasinya menjadi varian baru : tiki taka. Barca tampil indah memesona dengan tingkat penguasaan bola dan determinasi tinggi. Seni sepak bola nyaris berada di tingkatnya yang paling tinggi. Tim Nasional Spanyol pun mendapat berkah : Juara Dunia dan Juara Eropa!!. Dan Belanda? Setelah tampil menghibur di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan hampir tak ada prestasi yang mengejutkan. Kegagalan masuk putaran final Piala Dunia Rusia 2018 hanya menambah daftar nestapa Tim Orange ini.

Berbeda dari Belanda. Italia adalah Juara Dunia empat kali. Di Piala Dunia 2018 ia menjadi satu-satunya negara yang pernah menjadi Juara Piala Dunia yang gagal masuk putaran final! Brazil, Jerman, Argentina, Uruguay, Inggris, Perancis dan Spanyol semuanya hadir. Jika Belanda terkenal karena sepakbola menyerang dengan penguasaan bola maksimal, Italia mengajarkan sistem pertahanan yang kokoh. Tembok Pertahanan Italia ibarat pintu besi kokoh dengan gerendel yang sulit ditembus. Mereka punya deretan pemain-pemain belakang hebat. Trio BBC (Barzagli – Bonucci – Chiellini) yang semalam tampil meneruskan ‘tradisi bertahan’ ini juga bukan bek ‘ecek-ecek’. Sayang sepakbola sudah semakin maju. Pertahanan kokoh bukan satu-satunya jaminan akan menang. Di dua laga kandang-tandang melawan Swedia faktor kebugaran fisik jadi sorotan. Italia seperti sekumpulan orang tua tak berdaya. Bahkan ironisnya, Swedia menerapkan dengan lebih baik taktik bertahan dengan memarkir bus. Di San Siro, di depan pendukungnya sendiri, Italia mengubur asa tampil di Rusia tahun depan. Buffon – benteng terakhir Italia lebih dari satu dekade terakhir – mengundurkan diri dari tim Nasional. Era kejayaan telah berakhir. Setiap orang punya masa, setiap masa punya orangnya. Era Buffon bersama tim nasional pun selesai sudah.

Belanda dan Italia menyadarkan dan mengingatkan kita, keunggulan dan kejayaan itu bukan warisan. Ia hasil daya upaya dan inovasi terus menerus. Sepakbola pun demikian. Tim yang unggul dan berjaya adalah mereka yang yang mempertahankan tradisi tapi tak berhenti berinovasi, bahkan tak takut tampil beda melawan pakem untuk tampil dengan cara yang sama sekali baru. Di bidang kehidupan yang lain pun demikian. Tradisi, inovasi dan keberanian menerapkan sesuatu yang baru, bahkan ketika itu dianggap aneh dan melawan arus dibutuhkan. Kita menyebutnya : DISRUPSI!!

@Semabung Lama, 14/11/2017

Rabu, 11 Oktober 2017

MARADONA : FROM HERO TO ZERO

Tak berlebihan kiranya kalau menyebut Argentina adalah Maradona atau Maradona adalah Argentina. Bagi generasi yang menonton pertandingan sepakbola, terutama paruh kedua tahun delapanpuluhan, ungkapan ini nyaris menjadi credo. Maradona anak ajaib. Tampil memukau di ajang Piala Dunia Junior, lalu masuk skuad inti Argentina di PD Spanyol 1982. Di situ ia hanya diberi jam merumput terbatas. Ia tenggelam di bawah nama besar Daniel Pasarela, bintang Argentina di Piala Dunia sebelumnya. PD Mexico 1986 menjadi panggung pertunjukkan Maradona. Dua momen yang dikenang – nyaris dengan intensitas yang sama - : gol ‘tangan tuhan’ ke gawang Inggris yang dijaga kiper kawakan Peter Shilton, lalu aksi memukau melewati lima pemain Inggris sebelum akhirnya untuk kedua kali menaklukan Shilton. Dua momen yang jadi buah bibir melampaui kesuksesan Argentina menjadi juara setelah di final mengalahkan Jerman Barat 3 – 2! Argentina juara dunia, Maradona dipuja bak Dewa.

PD 1990 menjadi cerita dengan sisi kontras yang lain. Sempat kalah 0 – 1 melawan Kamerun di pertandingan pembuka, Argentina lolos sampai ke final lagi-lagi melawan Jerman. Kali ini bukan cerita kedigdayaan. Pelanggaran keras Roberto Sensini terhadap Rudi Voeller di kotak penalti diganjar hukuman tendangan duabelas pas oleh Edgardo Codesal – wasit asal Mexico yang memimpin pertandingan. Andreas Brehme – bek kiri Jerman – menjadi algojo. Tendangan kaki kanannya ke pojok kanan gawang di menit akhir pertandingan membenamkan mimpi Argentina menjadi Juara Dunia dua kali berturut-turut. Argentina tersungkur, Maradona terpuruk.

Keterpurukan Argentina rupanya menjadi awal cerita keruntuhan sang mega Bintang, Maradona. Setelah gagal mengantar Argentina juara, Maradona dirundung skandal obat bius yang menghebohkan. Napoli – klub yang diantarnya menjadi Juara Seri A Italia – sekaligus menjadi saksi idolanya pudar. Dari seorang pahlawan, Maradona menjadi pecundang. Setelah lama berjuang melawan ketergantungan obat, Maradona kembali ke lapangan hijau. Kali ini dengan bobot tubuh yang jauh dari ideal seorang pesepakbola ia mencoba keberuntungan sebagai pelatih. Namun sepakbola – seperti juga bidang kehidupan yang lain – tak selalu menyimpan keniscayaan. Pemain yang hebat, belum tentu juru latih yang hebat pula. Setelah gagal di klub dan tak bersinar sebagai pelatih tim nasional, Maradona beralih menjadi komentator televisi. Era kejayaannya telah usai, yang tinggal hanya cerita. Maradona seolah-olah mengingatkan kita lagi akan hidup dengan seluruh warnanya: bintang muda yang baru mengkilap, dipuja seperti dewa, lalu jadi pecundang. Hari ini dipuja, besok lusa dicaci maki. Disanjung tinggi sampai ke langit, dihempaskan bak sampah.

Bintang-bintang baru akan lahir terus, bola masih akan terus bergulir. Seperti hidup: tunas-tunas baru akan bermunculan, pun kisah dengan segala pernak-perniknya.

Selasa, 15 Agustus 2017

PST. ROMANUS DAELI, PST. WALFRID ALBERS & OSCAR DE LA HOYA

[+ 15 Agustus 2017,RIP Pst. Romanus Daeli, OFMCap]


Tadi pagi saya mendapat kabar Pst. Romanus Daeli, OFMCap meninggal di Gunungsitoli, Nias. Saya mengenal beliau pertama kali sekitar bulan Agustus tahun 1994. Waktu itu saya akan masuk Tahun Rohani dan beliau Pastor Paroki Katedral Sibolga. Kesan awal saya, beliau necis, rapi dan berpenampilan menarik. Kesan awal yang untuk bertahun-tahun kemudian tidak berubah. Karena sejak itu sampai saat kami berpisah tahun 2009 saya tetap mengenalnya sebagai pribadi yang selalu tampil rapi dan necis.

Tahun 2003, Pst. Marinus Telaumbanua, OFMCap berhenti sebagai Vikjen Keuskupan Sibolga karena diangkat menjadi Minister Provinsial OFMCap Propinsi Sibolga dan Pst. Romanus diangkat sebagai Vikjen. Jabatan yang diembannya sampai Mgr. Anicetus dipilih menjadi Uskup Co-Adjutor Keuskupan Agung Medan, Februari 2004. Sejak beliau menjabat Vikjen kami bekerja di bawah satu atap, tapi beda lantai. Saya di lantai dua. Beliau sebagai Vikjen menempati ruangan sendiri di lantai satu. Di kantor kami sering bertemu, entah karena urusan tugas maupun ketika bersama para pegawai keuskupan beristirahat sambil minum kopi di ruangan sebelah kantor beliau.

Beliau tinggal di Rumah Tamu Cristoforus. Rumah yang juga menjadi tempat singgah para pastor, suster, katekis dan petugas pastoral serta tamu-tamu keuskupan lainnya. Di situ juga tinggal Pst. Walfried yang bertindak sebagai Guardian. Dalam keadaan biasa, yang makan siang dan malam di Cristoforus adalah Bapa Uskup, Vikjen, Guardian. Pada hari kerja saya makan siang di sana, sesekali makan malam juga. Saya tinggal di Pastoran Katedral yang letaknya tidak jauh. Percakapan di meja makan selalu menarik. Banyak tema bisa jadi bahan cerita. Tidak selalu soal-soal serius. Malah lebih banyak soal-soal lucu dan ringan. Yang sering menjadi ‘bahan olokan’ adalah Pst. Walfried, terutama gaya khas beliau mengungkapkan ‘past tense’ dengan ‘tempo dulu”. “tempo dulu ada yang menelpon mencari kamu. Saya katakan kamu tidak di rumah”, kerap Pst. Walfried bercerita begitu di meja makan. “Tempo dulu kapan pastor?’’…. “Ya kemarin”. “Aduh kalo tempo dulu itu kesannya seperti sudah lampauuuuuu sekali Pastor”. “ya..ya.. kemarin, tempo dulu”. Kalau Pst. Walfried tidak ada – bahkan juga terang-terangan di depan beliau – kami menggunakan ‘tempo dulu’ ini dalam percakapan. Hahahaha… ya ya ya tempo dulu.

Di antara sekian hal konyol dan lucu, sekali waktu kami terbahak-bahak di kamar makan mendengar cerita Pst. Adifeti Telaumbanua (beliau pun sudah meninggal. Requiescas in Pace Pater). Suatu Pagi di Cristoforus : Pst. Walfried pernah mengalami kecelakaan jatuh dari tangga ketika masih bertugas di Nias. Kecelakaan ini dan usia yang lanjut membuat tulang punggungnya bermasalah mempengaruhi caranya berjalan. Pst. Romanus – suatu ketika juga mengalami gangguan saraf punggung. Sakit yang membuatnya harus berobat ke Surabaya, kemudian ke Penang. Sakit punggung ini menyebabkan harus membungkuk ketika berjalan. Jadilah kedua orang ini berjalan membungkuk dengan ‘pola’ yang berbeda. Sementara Pst. Adifeti normal: berjalan tegak. Pagi itu mereka merayakan ekaristi secara konselebrasi. Pst. Adifeti sebagai selebran utama. Pst. Walfried dan Pst. Romanus sebagai konselebran. Pemandangan unik terjadi ketika mereka mengadakan prosesi dari sakristi ke kapel. Kata Pst. Adifeti : seperti gambaran dalam tahap-tahap evolusi Darwin. Dari manusia yang berjalan membungkuk sampai yang berjalan tegak. Membayangkannya saja sudah membuat tertawa. Tapi bagaimana mungkin tertawa di atas penderitaan kedua saudara tua ini. Tawa kami pecah ketika Pst. Romanus mempertegas, “hanya Adifeti yang berjalan tegak”. Pst. Walfried juga mengiyakan. Dengan komentar, ‘ya ya nanti juga kamu seperti itu’. Beristirahatlah dalam damai saudara-saudaraku : Pst. Walfried – Pst. Adifeti – Pst. Romanus, kalian bertiga bisa reuni lagi. Tempo dulu kalian pernah bersama-sama.

Kisah lain lagi…

Pelakunya Pst. Rantinus Manalu – Pst. Romanus – saya sebagai figuran. Pst. Walfried : korban.
Sebagai Guardian Pst. Walfried memperhatikan hari-hari istimewa di antara kami: ulang tahun hidup membiara, ulang tahun tahbisan, pesta nama dan ulang tahun kelahiran. Kadang-kadang ada acara khusus dengan mengundang komunitas-komunitas lain untuk makan malam. Di waktu lain hanya dirayakan terbatas. Tapi menu pasti ‘lebih’ istimewa. Dan ini yang penting : ada bir!!
Sudah beberapa bulan tidak ada yang berpesta. Tanggal-tanggal perayaan pun sudah lewat. Maka peluang untuk dapat makan ‘istimewa’ juga tertutup. Lahirlah persekongkolan spontan ini. “Walfried”, Pst. Rantinus membuka pembicaraan. “Sudah tahu ya ada orang Nias menjadi juara dunia tinju?”. “Saya tidak tahu”, jawab pst. Walfried. ‘Ada. Namanya Oscar de la Hoya”. “Saya belum pernah mendengar nama itu”. Apakah dia warga Negara Indonesia?”, Tanya Pst. Walfried. “Mungkin sudah jadi warga Amerika. Dia dari Hilihoya Zuzundrao, Kec. Mandrehe, Distrik Nias Barat. Maka namanya menjadi Oscar de la Hoya”. “Dia Katolik?”, “Itu yang belum pasti”, kata Pst. Rantinus. “Kalau dia katolik boleh jadi saya yang membaptis”, timpal Pst. Walfried serius. [Catatan : Pst. Walfried mencatat dengan rapi semua orang yang pernah beliau baptis selama hampir 40 tahun sebagai pastor di Nias]. Saya dan Pst. Romanus menimpali, mungkin sudah tidak ke Gereja lagi. Atau jangan-jangan ONKP Pastor.
“Yah ini kebanggaan Indonesia. Tentu saja kebanggaan Nias juga. Apalagi bisa jadi juara dunia tinju. Kita pantas berpesta”, kata Pst. Walfried dengan nada riang. Jadilah kami bersulang bir merayakan kemenangan Oscar de la Hoya, kebanggaan Indonesia, kebanggaaan Nias!!. 

Persekongkolan jahat ini terbongkar hari senin, satu hari setelah kami bersulang bir. Ketika kami semua di kantor keuskupan, Pst. Walfried menjadi orang pertama yang menerima Koran. Dan berita kemenangan Oscar de la Hoya dimuat di Koran. Malangnya negara De La Hoya pun disebut. Di meja makan Pst. Walfried – dengan ekspresi datar seperti biasa – berkomentar, “Sekarang saya sadar, saya sudah ditipu. Ternyata de la Hoya bukan orang Nias”. Bapa Uskup yang hadir di meja makan – yang tidak tahu menahu duduk persoalan- hanya diam. Kami bertiga tersenyum dan minta maaf. Yang membuat kami tertawa terbahak-bahak adalah pernyataan penutup Pst. Walfried, “Kalau yang lain yang menipu, saya mengerti. Ini Vikjen juga ikut menipu” hahahaha. Pst. Romanus menjawab, "Saya tidak punya pilihan Walfried. Kalau pemungutan suara saya juga kalah”. Di hadapan saudari maut ini pun Pastor tidak punya pilihan. Seperti St. Fransiskus, Pastor menyapa kematian ini dengan tenang, "selamat datang saudari maut!!"

Requiscas in Pace Pater Romanus. Selamat berjumpa dengan para saudara yang lain yang sudah mendahului kami. Bunda Maria mendoakanmu. Doakanlah kami yang masih beziarah.

Jumat, 12 Mei 2017

Surat Untuk Ja'far

Surat untuk Ja'far,

Apa kabar Bung? Kuharap di manapun kau berada saat ini, kau tetap dalam lindungan Allah. Aku tiba-tiba teringat kamu hari-hari ini. Hari-hari ketika betapa beratnya menyebut Indonesia sebagai ibu tempat di mana kita lahir. Hari-hari ketika lidah kelu menyapa sesama sebagai saudara sebangsa. Hari-hari ketika kepingan-kepingan yang menjadikan bangsa ini satu mozaik indah perlahan-lahan retak, pecah.

Ja'far, kita bertumbuh dalam gelora muda di tengah bangsa yang resah. Ketika itu - hampir dua puluh tahun lalu - yang mempertemukan kita adalah impian bahwa bangsa ini harus tetap tegak berdiri dan menjadi lebih baik. Kita marah dan berteriak ketika kebebasan dibungkam. Kita melawan ketika ditindas. Kita bukan orang-orang hebat. Bukan orang-orang kuat. Perlawanan kita lebih sering seperti kepal tinju seorang bocah menghantam tembok kokoh. Teriak kita sering tak terdengar atau hilang ditelan gemuruh suara-suara lain. Tapi kita tetap melawan.

Ja'far, kamu ingat kita tidak pernah mempersoalkan dari mana berasal. Agama yang kita anut tak pernah menghalangi persaudaraan kita. Kau Melayu Deli, aku Flores. Kau muslim, aku katolik. Kau belajar di Institut Agama Islam Negeri dan aku calon pastor yang sedang belajar di Seminari. Di atas tikar di kamarku kamu bersujud menyembah Sang Khalik ketika suara adzan memanggil. Di kamar sempit hanya ditemani kopi dengan kaos dekil dan tampang kumalmu kita berdiskusi. Kita bercerita. Kita menabur harapan. Generasi ini harus bergerak untuk Indonesia yang lebih baik. Aku ingat dengan semangat menggebu kita berbicara. 

Ja'far akhirnya kepongahan dan tirani runtuh. Binar butiran kristal di mata kita adalah air mata harapan : hari esok pasti lebih baik dari kemarin. 
Dan hari ini....
Kita melangkah dalam kegamangan. Waktu seperti ditarik mundur. Caci maki dan hujat di mana mana. Saudara saudara sebangsa saling menghina. Kebenaran milik mereka yang suaranya paling keras membahana. Akan kau biarkankah ini kawan?
Aku belum akan berhenti menulis. Tapi hari ini 13 Mei kuajak kau heningkan cipta...

Esok, lusa atau entah kapan aku akan menjumpaimu lagi

Minggu, 26 Februari 2017

MEJA MAKAN, SEKOLAH NILAI

Saya mengikuti rakernas FMKI di Hotel Bintang Raya, Cipanas dari tanggal 25 – 27 November 2016. Tema yang dibahas adalah “MEMPERKUAT KEPEMIMPINAN ANTI KORUPSI BAGI KEBERLANJUTAN DAN KEMAJUAN PERADABABN BANGSA INDONESIA. Sessi pertama hari Sabtu menghadirkan dua pembicara. Ir. Sarwono kusumaatmaja  (Mantan Sekjen Golkar, mantan Mentri PAN, anggota DPD RI) dan Prof. Dr. Paulus Wirutomo. Sessi seminrnya berlangsung menarik. Dua pembicaa berbicara korupsi dai perspektih structural –kultural dan prose social. Korupsi kita sudah parah maka melawannya pun harus massif. Selebihnya sorotan pada aspek hukum, social maupun budaya bangsa ini. Diskusi juga berlangsung menarik.

Namun yang menarik perhatian saya justru pembicaraan pasca seminar. Saat rehat kopi saya memilih menikmati kopi tubruk dan duduk di pojok, sampai salah seorang panitia menghampiri dan menyapa, “Romo, nanti bareng Pak Sarwono duduk di sini ya”. “Baik Bu, silahkan”. Tak lama berselang beliau datang, lalu disusul Pak Paulus dan istri. Setelah bersalaman dan bertukar kabar, lalu komentar singkat mengenai dinamika politik terkini, pembicaraan pun berlanjut masih seputar tema seminar. Pak Sarwono bercerita pengalamannnya dan bagaimana bersama istri – dan anak-anak – berjuang untuk menjaga integritas. Beliau bercerita, di rumahnya ada meja bundar, tempat mereka sekeluarga biasa berkumpul. Setelah anak-anak bertumbuh dewasa dan membentuk keluarga, mereka tinggal  di rumahnya sendiri. “Anak-anak meminta supaya meja bundar itu jangan dijual”, kisahnya. “Papa mama boleh menjual yang lain kalau sudah tidak dibutuhkan. Tapi meja ini jangan dijual. Kami merasa dibesarkan dan dididik di meja ini”.

“Apakah meja makan, makan dan berkumpul bersama itu penting Pak?”, Tanya saya. “Sangat penting romo”. Kalau di meja makan kita hanya bercerita siapa dapat apa untuk apa, anak-anak akan hancur. Di meja (makan) itu kita bicara nilai-nilai, values. Itu yang kan membentuk mereka”, tegasnya serius.
Meja makan mana meja makan. Ada banyak yang berdebu karena sudah lama tak dipakai.

Cipanas, 26 November 2016

Minggu, 12 Februari 2017

Tentang Mama

I.

Suatu hari, puluhan tahun lalu
Belaian dan genggaman jarimu
adalah lantunan pengantar tidur terbaik
Hari ini..
aku kau minta membelai dan menggenggam jarimu
supaya bisa tertidur bisikmu lirih

Suatu hari puluhan tahun lalu
Kecupan dan ciuman di kening
adalah ribuan kata doa dan ucapan selamat tidur
sambil tanganmu merapikan selimut
menutupi tubuhku
Hari ini..
aku mengecup kening dan mencium pipimu
saat matamu terpejam lelap
dengan napas yang masih tersengal
selimutmu aku rapikan
seperti bertahun-tahun lalu kau lakukan untukku

Suatu hari puluhan tahun lalu...
dengan sabar engkau menyuapku
sesendok demi sesendok
dan tersenyum puas
tiapkali makananku habis
Hari ini..
Aku menyuapkan makanan untukmu
dan tersenyum puas melihatmu bisa makan

Mama,
waktu berlari dan beralih cepat
Tapi cintamu tak pernah pergi
Cepatlah sembuh bersama cinta kami


RSPAD Gatot Soebroto, 11.02.2017
(Hari Orang Sakit Sedunia)

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...