Senin, 25 Mei 2020

SIAP SIAP MENGHIDUPI NORMALITAS BARU (dari helm ke cuci tangan dan wajib masker)

Syahdan awal 1970-an masyarakat Indonesia mulai banyak menggunakan sepeda motor. Yang terkenal - karena bentuknya - adalah motor bebek, bermesin 70 cc.
Di Jakarta saja ada 98.202 buah sepeda motor, tulis Ekspres, 23 Agustus 1971. Sayang peningkatan jumlah pengguna sepeda motor tidak dibarengi dengan kesadaran menggunakan "topi pengaman" (helm). Helm masih sesuatu yang aneh waktu itu. Orang biasa memakai peci atau kopiah. Setelah diskusi panjang akhirnya Kapolri mengeluarkan Maklumat kewajiban pemakaian helm yang mulai berlaku pada 1 November 1971. Maklumat ini ditanggapi macam-macam, bahkan ada yang mencibir.
Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Meski dicibir lambat laun orang akhirnya menerima. Helmpun menjadi perlengkapan wajib pengendara sepeda motor. Apa yang dulu aneh sekarang diterima. Malah - sekarang - naik motor tanpa helm dianggap aneh.

Saat ini - di tengah pandemi covid19 - ada hal-hal baru yang coba diterapkan : cuci tangan, jaga jarak, memakai masker, dll. Ada yang patuh, ada yang tidak. Ada yang menerima, ada yang mencibir. Butuh waktu menjadikan sesuatu yang baru, belum lazim jadi kebiasaan, habitus.
Mudah-mudahan apa-apa yang selama pandemi Covid19 ini dijalankan sebagai bagian dari prosedur akan jadi "kebiasaan", suatu normalitas baru.
(Facebook, 18 Mei 2020)

Minggu, 24 Mei 2020

HIDUP ADALAH CERITA

H i d u p  M e n j a d i  C e r i t a  adalah tema Hari Komunikasi Sosial Sedunia yang ke-54, Minggu 24 Mei 2020.  Paus Fransiskus dalam pesannya mengatakan, “Manusia adalah makhluk pencerita. Sejak kecil tanpa disadari kita “lapar” akan cerita sebagaimana lapar akan makanan.  Entah itu dongeng, novel, film, lagu, maupun berita; Inilah cerita-cerita yang mempengaruhi kehidupan. Kita sering memutuskan apa yang benar atau apa yang salah berdasarkan karakter/tokohtokoh dan cerita-cerita yang terekam. Cerita-cerita tersebut membekas dan mempengaruhi keyakinan serta perilaku kita. Lewat cerita-cerita itu, kita juga terbantu memahami dan mengetahui siapa diri kita sesungguhnya.” Manusia pada dasarnya adalah pencerita. Penenun kata. “Ini karena sesungguhnya, kemampuan manusiawi untuk “menenun” (Latin: texere) tidak hanya mengacu pada kata “tekstil”, tetapi juga “teks”, kata Paus Fransiskus.

Saya percaya kekuatan cerita. Suatu kali dalam kesempatan mengenang seorang ponakan yang telah berpulang, kami keluarga besar beserta sejumlah kerabat dan kenalan merayakan ekaristi. Apa yang selalu – sejak ponakan terkasih kami ini meninggal – setiap tahun kami lakukan. Dalam kesempatan itu saya bertanya, tepatnya merefleksikan, “apakah yang mempersatukan kami - satu keluarga - bersama dengan sahabat kenalan dalam kenangan akan kematian ini?” Kematian?. Tentu saja. Ini satu paradoks : kematian memisahkan, namun kematian pula yang mengumpulkan dan mempersatukan. Namun, untuk apa berkumpul dan bertemu? : C e r i t a!! Inilah kekuatan yang mendorong kami – dan kita – berkumpul dan bertemu. Kita ingin bercerita. Cerita tentang masa yang sudah lampau, tentang kita dan tentang yang meninggal. Cerita tentang kita saat ini yang kehilangan, namun bersatu karena kenangan yang sama. Juga cerita tentang esok, lusa dan seterusnya tentang bagaimana kita akan berjalan terus dengan segala kenangan yang kita (pernah) miliki Bersama. Dan dia yang kita kenang menjadi ‘tetap hidup’ karena cerita kita, narasi kita.

Beberapa tahun yang lalu saya memulai sebuah blog. Secara spontan – tanpa melewati pertimbangan yang panjang – saya memilih tagline-nya “h i d u p  adalah c e r i t a. Sejak awal saya bermaksud memanfaatkannya sebagai media bercerita, tentang apa saja, terutama tentang apa yang saya alami, lihat dan rasakan. Cerita memiliki kekuatan menggugah dan mengubah. Saya sering mendengar atau membaca cerita. Bahkan salah satu genre buku yang paling saya sukai adalah buku-buku yang berisi cerita hidup orang-orang maupun pelaku sejarah, entah biografi, otobiografi, maupun memoir. Tanggal 24 April 2020 saya dikirimi buku “Romantisme Tahun Kekerasan : sebuah memoar Martin Aleida”. Saya berteman dengan sang penulis memoar di facebook. Tetapi lebih dari itu, sebelum berteman di media sosial, saya pembaca setia cerita-cerita pendek yang dia tulis. Larik-larik yang seperti endapan dari gabungan kenangan panjang akan keindahan dan pahitnya hidup sekaligus. Di memoar yang terakhir ini, Martin bertutur tentang luka dan kekalahan sekaligus. Namun tidak meratap. Kita tak pernah bisa mengubah jalannya sejarah. Yang sudah berlalu menjadi kenangan, memori. Namun ia mengendap di ingatan. Tempat di mana Sebagian orang menguburkannya dalam diam dan tak pernah mau menggalinya lagi. Sebagian bersedia membukanya dan mengisahkannya. Hanya para pemberani yang dapat melakukan hal demikian : mengisahkan luka dengan gagah agar siapa pun dapat berkaca dan belajar. Sebelumnya saya membaca “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”-nya Pramoedya. Saat-saat kelam yang menyakitkan. Tapi Pram memilih untuk menuliskannya, menceritakannya kepada khalayak. Saya kira Pram tidak mengharapkan iba. Dia tidak minta dikasihani. Hersri Setiawan dalam ‘Memoar Pulau Buru juga bercerita ingatannya akan sepenggal sejarah kelam bangsa ini. Apa yang ia alami sendiri. Masih banyak memoar dan kisah yang sudah saya baca, tidak melulu tentang mereka yang kalah atau dikalahkan. Ada memoar  para jendral yang dengan gagah mengenang heroism dan kemenangan di berbagai palagan tempur. Para Politisi. Orang Suci. Pemain Sepak Bola, dan banyak lagi. Saya membaca biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams. “Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya”-nya Soeharto yang ditulis Ramadhan KH, “Biografi Gus Dur” yang ditulis Greg Barton. Juga tentang Benny Moerdani yang ditulis Julius Pour. Yoga Soegama, M. Jusuf, dan lain-lain. Satu lagi adalah cerita para sahabat tentang sesorang. Tentang ini terakhir saya baca “Arief Budiman (Soe Hok Djin) : melawan tanpa kebencian”, buku yang ditulis untuk hadiah ulang tahun ke-77 Arief Budiman, intelektual dan aktivis. YB Mangunwijaya pernah mendapat hadiah sejenis saat berulangtahun ke-65 di bawah judul, “Mendidik Manusia Merdeka”. “Ia Tak Pernah Pergi”, tulis sahabat-sahabat Rendra, setelah sang sastrawan dan dramawan ini berpulang. Di kisah-kisah itu – sekali lagi – saya menemukan kekuatan cerita. Manusia – dalam episode-episode hidupnya – seperti membawa benang-benang yang harus ditenun untuk membentuk satu kisah utuh. Yang, lagi – lagi jadi paradoks, bagaimanapun ‘tak pernah utuh’, karena ada bagian yang mesti orang lainlah yang mengisahkannya.

Sebagai orang Katolik, Alkitab – bagi saya - adalah c e r i t a paling i n d a h! Bertahun-tahun, bahkan sebelum mengenal aksara saya sudah mendengar kisah-kisah alkitab. Sejarah para tokoh, sejarah bangsa Israel, kisah-kisah mujizat yang mengagumkan. Semua itu menjadi satu c e r i t a  k e s e l a m a t a n : cerita cinta Allah pada manusia. Cerita yang ditulis, “Supaya Engkau Dapat Menceritakan Kepada Anak Cucumu” (Kel 10:2)

Semabung, 24 Mei 2020
@hansjeharut

Sabtu, 16 Mei 2020

GEREJA DI TENGAH PANDEMI COVID19 : beberapa paradoks

Pandemi ini datang seperti pencuri. Pun ketika sudah ada peringatan, tetap saja banyak yang gagap menanggapinya. Ketika sudah ada yang terjangkit, efek penularannya seperti bola salju. Kehidupan dipaksa berhenti. Orang-orang harus menjaga jarak. Pusat-pusat keramaian ditutup. Institusi-institusi gamang. Kantor meliburkan karyawan. Orang bekerja dari rumah. Universitas dan sekolah-sekolah merumahkan mahasiswa dan para pelajar. Tempat-tempat yang sering jadi titik kumpulnya manusia menjadi sepi, tak terkecuali tempat Ibadah.
Refleksi ini hanya catatan pendek dari apa yang saya amati, secara khusus di kalangan Gereja,yang terpaksa melarang umatnya berkumpul di (Gedung – Gedung) Gereja.


1) Gereja Perdana (dari rumah ke rumah) dan Gereja Covid19 (Gereja di rumah rumah)

Tanggal 19 Maret - bertepatan dengan Pesta St. Joseph pelindung Keluarga Beriman - untuk pertamakali di linimasa saya muncul pengumuman dan surat edaran bahwa tidak ada lagi peribadatan (misa) di Gereja. Himbauan ini lengkap dengan catatan-catan lain seputar aturan ibadat dan pedoman berkumpul selama Pandemi Covid19. Semua ini dilakukan karena otoritas pemerintahan dan otoritas kesehatan menetapkan "social distancing". Pembatasan yang tidak memungkinkan berkumpulnya manusia dalam jumlah besar. Beragam reaksi muncul, ada yang menerima ada yang menolak. Yang menerima umumnya mengikuti argument otoritas pemerindah dan badan-badan kesehatan bahwa pandemi ini – salah satunya – bisa dicegah bila tidak ada mobilitas manusia secara massal. Yang menolak, umumnya karena alasan, “mengapa harus takut?, bahkan seringkali dengan argumentasi ‘teologis’ toh Tuhan lebih berkuasa dari corona.

Tanggal 22 Maret, saya menulis di halaman facebook :

Ecclesia Domestica


Sebagai Pastor dalam berbagai kesempatan Misa Pemberkatan Pernikahan saya sering mengingatkan bahwa keluarga/Rumah Tangga Katolik adalah "Ecclesia Domestica". Keluarga adalah gereja kecil. Secara analogis rumah adalah paroki. Suami istri adalah 'pastor' (gembala) yang memimpin, menjaga, dan mengarahkan kawanan kecil yang disebut keluarga. 
Hari ini - Minggu 22 Maret 2020 - secara liturgis adalah Minggu Prapaskah IV Tahun A, disebut Minggu Laetere - Minggu Sukacita. Di hampir semua keuskupan di Indonesia ada himbauan dan instruksi untuk mengikuti misa dari rumah, via live streaming. Beragam reaksi muncul. Yang dominan rasa sedih tidak bisa merayakan ekaristi seperti biasa. Kita bisa memaknainya secara berbeda : ini adalah ajakan sukacita mewujudkan secara konkrit GEREJA RUMAH TANGGA, Rumah sebagai Gereja Sejati. Bagi yang tidak terjangkau teknologi internet, kita bisa merayakan Ibadat Sabda di rumah. "Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam NamaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Mat 18:20)


@hansjeharut

22.03.2020

Jika Jemaat Gereja Perdana dua ribu tahun lalu "selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa" (Kis 2:42), serta memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati (Kis 2: 46), Gereja di tengah Pandemi Covid19 menampilkan wajah khasnya sendiri : bukan lagi berkumpul dari rumah ke rumah secara bergilir, namun berkumpul di rumah masing-masing. Gereja Covid19 adalah gereja di rumah-rumah. Ketika pintu-pintu Katedral dan Gereja-gereja Paroki dan Stasi di tutup, puluhan ribu mungkin jutaan pintu-pintu gereja rumah tangga terbuka. Sebuah 'berkah terselubung' bagi Gereja, di tengah semakin kuatnya keprihatinan akan 'wabah selfisme' - kecendrungan asyik dengan diri sendiri yang mulai hinggap di rumah-rumah. Ketika secara mondial orang terhubung internet dan media sosial jagad maya menjadi ‘tempat pertemuan’ lintas geografis, orang mengeluh bahwa media ini “mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat”, namun di tengah pandemi ini jargon itu bergeser “mendekatkan yang jauh, menambah rapat yang dekat”.



2) Bersekutu Dalam Perjamuan dan Perjamuan Batin


Di tenggah kemajuan teknologi informasi jaringan (internet), keterbatasan perjumpaan fisik bisa dengan mudah diatasi. Gereja-gereja secara cepat merespons larangan dan pembatasan beribadat dengan menayangkan Perayaan Ekaristi "live streaming"! Jika sebelumnya hal ini hanya dilakukan dalam momen istimewa dan terbatas : Paskah dan Natal bersama Paus di Vatican, Upacara Tahbisan Uskup dan upacara-upacara istimewa lainnya, saat ini – di tengah pandemi Covid19 – Perayaan Ekaristi secara live terjadi setiap hari dari berbagai penjuru dunia di mana jaringan internet bisa diakses. Seorang yang tinggal di Jayapura bisa mengikuti misa harian yang dipimpin Uskup Agung Medan dan ditayangkan dari Medan. Saya bisa mengikuti seorang Pastor Paroki di Australia Barat memberkati rumah-rumah umatnya dengan monstrans. Sebagian memang menyadari ‘misa online” bukanlah perayaan yang memberi tempat bagi interaksi dan partisipasi aktif. Para ahli liturgi pasti punya banyak catatan bahkan keberatan terhadap praktek ini. Namun lagi-lagi selalu ada jalan keluar. Bagi umat yang ‘mengikuti’ misa secara online, mereka diminta menyambut “Komuni Batin”. Karena tidak bias secara fisik menyambut tubuh dan darah Kristus, ketika tiba saat menyambut komuni umat bisa hening dan menghayati menyambut komuni secara batin. Bagi saya – sebagai imam – inilah momen intimitas yang melampaui sekat ruang dan waktu. Dalam keheningan mengalami perjumpaan personal sangat sentimental penuh kerinduan dengan Sang Ilahi. Sejenak orang ‘meninggalkan’ semua teori dan spekulasi teologis, bahkan melampaui semua norma hukum atas nama apa pun. Hanya aku – hamba yang hina dan tak berdaya dan Tuhanku Yang Maha Dahsat. Kesadaran akan kehadiran Tuhan menjadi begitu personal, serentak juga ada imajinasi komunal di sana. Aku yang sendiri di rumah, bersekutu secara virtual dengan saudara-saudariku seiman yang juga – sama seperti saya – sedang menghayati lawatan Tuhan. Bahkan ketika Perayaan Ekaristi dirayakan di Gereja dalam himpunan umat yang besar, Komuni tetaplah sebuah “perjumpaan batin paling intim”. Paradoks lain justru ketika social distancing/pysical distancing Keeratan Dan Kedekatan begitu nyata. Adorasi Mondial Paus secara live streaming boleh jadi adalah adorasi terbesar dan terbanyak diikuti dalam 20 abad kekristenan. Ketika kita berada dalam ‘keterbatasn’, yang “Tak Terbatas” hadir. Omnipotens, Omnipresens!!


3) Disinfektan Untuk Gereja

Sejak pemberlakuan “social distancing’ dan belakangan “physical distancing’, perjumpaan menjadi berkurang. Penghentian Ibadah di Gereja membuat Gereja-gereja yang biasanya ramai menjadi sepi. Linimasa penuh dengan berbagai foto dari berbagai penjuru dunia menggambarkan suasana yang lengang. Pusat-pusat keramaian sepi. Tempat-tempat ibadah sunyi.


Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan dalam rangka memutus rantai penyebaran Covid19 adalah penyemprotan disinfektan di berbagai fasilitas publik tak terkecuali Gereja. Gereja disemprot disinfektan! Bagi saya ini ungkapan simbolik. Betapa tak berdayanya Gereja secara fisik. Bangunannya, dinding-dinding temboknya, atap menaranya yang gagah, bangku-bangku yang menyimpan ribuan kisah sepanjang sejarah rentan! Semua bisa menjadi tempat tinggal virus. Dalam kesepian karena ‘ditinggalkan” umat yang tak boleh berkumpul ia menjadi beku dan dingin, bahkan harus disemprot disinfektan. Mungkinkah ini isyarat juga bahwa institusi yang kudus ini memang butuh disinfektan. Perjalanan panjang ribuan tahun, melintasi sejarah yang bermacam-macam menunjukkan juga bahwa di balik kegemilangan ada catatan-catatan kelam skandal. Dalam segala kelemahannya terbukti Gereja tetap bertahan. Badai dan taufan yang datang tak membuat kapal ini karam. Namun ada momentum di mana kita perlu ‘membersihkan diri”. Covid19 membuat kita harus tunduk, menerima dengan patuh gereja fisik kita disemprt disinfektan. Kiranya ini juga memberi isyarat kita siap jika secara institusi kita pun dibersihkan dengan disinfektan. Agar virus-virus yang berbahaya dimatikan dan tidak berkembangbiak.



4) Solidaritas


Pandemi (Yunani, pan : semua, demos : masyarakat) Covid-19 melanda hampir semua negara di dunia. Kompas.com, 19 April 2020, menyebut hanya 15 dari 193 negara anggota PBB yang belum melaporkan kasus infeksi Covid-19. Data itu menunjukan virus ini menyerang begitu banyak orang, melintasi batas benua dan negara. China dan USA yang disebut sebagai dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia megap-megap menghadapinya. Semua energi dikerahkan untuk melawan serangan virus. Dalam situasi ini masing-masing berusaha untuk selamat. Namun menariknya, Ketika masing-masing negara harus mencari upaya untuk melawan penyebaran virus dan menyelamatkan warganya masing-masing, tidak sedikit juga yang pergi melintasi benua dan negaranya untuk membantu negara lain. Sekelompok dokter dan paramedis Cuba terbang ke Roma untuk membantu pemerintah Italia menangani pandemic Covid19. Dokter dan perawat RRC yang negaranya baru saja babak belur dihantam corona terbang ke Eropa membantu saudara-saudaranya di Italia. Di dalam negeri solidaritas itu juga muncul. Ketika rumah sakit-rumah sakit dan klinik melaporkan kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) raamai-ramai muncul inisiatif memproduksi APD dan disumbangkan. Begitu juga gerakan menyalurkan bantuan makanan dan kebutuhan pokok untuk sesama yang membutuhkan. Bencana selalu memunculkan kepedulian. Lagi-lagi paradoks: Ketika orang harus mengerahkan segala daya untuk bisa bertahan dan selamat (menyelamatkan diri), ada sisi lain yang menggerakan untuk menyelamatkan orang lain.


Ketika Gedung-gedung gereja sepi, Gereja-gereja (= umat Allah) turun ke jalan-jalan, masuk ke lorong-lorong menjumpai sesama yang sakit, menderita, cacat, lanjut usia.Tembok keegoisan manusia diruntuhkan karena kesadaran pandemi ini tidak pandang bulu, ia menyerang siapa saja. Namun demikian, selalu ada kelumpok yang lebih rentan dan rawan luka. Prinsip ‘survival of the fitest’ – yang kuatlah yang bertahan – dikalahkan dengan semangat solidaritas. “…dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”(Mat 25 : 40)


Gereja – seperti kata Paus Fransiskus – harus menjadi Rumah Sakit Lapangan yang tanggap dengan cepat apa kebutuhan saat ini-nya orang-orang yang datang tanpa harus melewati birokrasi berbelit



Penutup


Tak ada yang bisa memastikan kapan pandemi ini berakhir. Namun kita semua berharap secepatnya kita bisa mengatasinya. Pasca pandemi ada banyak hal yang mungkin perlu dirumuskan ulang. Triade relasi : manusia dengan Yang Ilahi – manusia dengan sesama manusia – manusia dengan alam semesta menjadi titik simpul. Dengan Yang Ilahi kita sadar, saleh secara ritual ternyata harus diimbangi dengan kesalehan sosial. Ritual-ritual keagamaan yang ketat, oleh virus kecil ini mendadak harus ditata ulang. Relasi antara sesama manusia manusia juga harus diperhatikan serius. Kekuasaan ekonomi politik yang timpang. Keserakahan manusia harus dibayar mahal. Dengan semesta : kita perlu bertobat dan minta maaf kepada alam semesta, lingkungan hidup yang telah dihancurkan dan dirusak karena keserakahan kita. Semesta punya caranya sendiri memulihkan diri. Kita belajar agar di kemudian hari kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.



Semabung, 20 April 2020
#sebulan_sudah_lamanya_waktu

Rabu, 13 Mei 2020

13 Mei : Tangan Bunda Menolong




Hari ini, seratus tiga tahun yang lalu – 13 Mei 1917 – Bunda Maria menampakkan diri kepada tiga anak kecil: Fransisco, Jacinta dan Lucia. Sampai bulan Oktober di tahun itu Bunda Maria menampakkan diri kepada tiga bocah ini di Fatima, Portugal. Saat itu dunia tengah porak poranda karena Perang Dunia I (28 Juli 1914 – 11 november 1918).
Di hari ulang tahun ke-84 Penampakan Maria di Fatima, 13 Mei 1981, Paus Yohanes Paulus II ditembak di lapangan Basilika St. Petrus, Vatican. Mehmet Ali Agca, berkebangsaan Turki, memuntahkan empat peluru ke arah Paus. Namun nyawa Paus masih tertolong. Ketika sedang dirawat di rumah sakit, Paus membaca surat dari Suster Lucia, saksi hidup terakhir dari peristiwa penampakan di Fátima. Lucia mengungkapkan rahasia ketiga Fátima. “Bapa Suci akan banyak menderita,” demikian pernyataan Perawan Maria. Dalam nubuat penglihatan itu, ketiga anak tersebut melihat seorang laki-laki berjubah putih yang mereka perkirakan adalah Paus, yang sangat kesakitan di bawah hujan peluru dan anak panah.”
Paus memutuskan untuk memenuhi permintaan Bunda Maria, mempersembahkan Rusia bagi Hatinya yang Tidak Bernoda. Pada tahun 1984, tiga tahun setelah ia ditembak, konsekrasi itu digabungkan dengan hari peringatan penampakan Maria yang pertama di Fátima. Paus Yohanes Paulus II meminta sebuah patung Bunda Maria dari Fátima dibawa ke sebuah gereja kecil di perbatasan Polandia dan Uni Soviet, dengan diposisikan menghadap ke arah Rusia.

Pada saat itu Paus menyerahkan sebutir peluru yang ditemukan di dalam kendaraannya kepada uskup Fátima. Peluru itu kemudian diletakkan pada mahkota patung Bunda Maria di Fátima dan masih berada di sana sampai hari ini. “Tangan seorang ibulah yang mengarahkan laju peluru itu,” kata Paus kemudian. “Ibuku selamanya dan terutama pada tanggal 13 Mei 1981, ketika aku merasakan kehadiranmu di sisiku.”
Pada tahun 1983, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Mehmet Ali Agca di penjara. Duduk bersama di kursi plastik hitam, keduanya berbicara beberapa saat. Sebagai seorang pembunuh profesional, Agca masih bingung bagaimana rencananya bisa meleset. “Mengapa Anda tidak mati? Saya tahu bidikan saya tepat, saya juga tahu peluru itu sangat mematikan. Jadi bagaimana Anda bisa selamat?” tanyanya kepada Sri Paus. “Satu tangan menembakkan peluru itu,” jawab Paus. “Tangan lain yang mengarahkannya.” Ia percaya bahwa tangan Maria-lah yang membelokkan peluru itu.

Kini dunia juga sedang berperang, melawan Pandemi Covid19. Bersama Paus Fransiskus yang mengajak seluruh dunia untuk bersatu dalam doa pada 14 Mei 2020, kita persembahkan semuanya di bawah kaki Sang Bunda, yang akan mengantar semua doa kita ke hadapan Putranya.

Semabung, 13 Mei 2020
@hansjeharutpr

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...