H i d u p M e n j a d
i C e r i t a adalah tema Hari
Komunikasi Sosial Sedunia yang ke-54, Minggu 24 Mei 2020. Paus Fransiskus dalam pesannya mengatakan, “Manusia adalah makhluk pencerita. Sejak kecil tanpa disadari
kita “lapar” akan cerita sebagaimana lapar akan makanan. Entah itu dongeng, novel, film, lagu, maupun
berita; Inilah cerita-cerita yang mempengaruhi kehidupan. Kita sering
memutuskan apa yang benar atau apa yang salah berdasarkan karakter/tokohtokoh
dan cerita-cerita yang terekam. Cerita-cerita tersebut membekas dan
mempengaruhi keyakinan serta perilaku kita. Lewat cerita-cerita itu, kita juga
terbantu memahami dan mengetahui siapa diri kita sesungguhnya.” Manusia
pada dasarnya adalah pencerita. Penenun kata. “Ini karena sesungguhnya,
kemampuan manusiawi untuk “menenun” (Latin: texere) tidak hanya mengacu
pada kata “tekstil”, tetapi juga “teks”, kata Paus Fransiskus.
Saya percaya kekuatan cerita. Suatu kali dalam kesempatan
mengenang seorang ponakan yang telah berpulang, kami keluarga besar beserta
sejumlah kerabat dan kenalan merayakan ekaristi. Apa yang selalu – sejak
ponakan terkasih kami ini meninggal – setiap tahun kami lakukan. Dalam kesempatan
itu saya bertanya, tepatnya merefleksikan, “apakah yang mempersatukan kami -
satu keluarga - bersama dengan sahabat kenalan dalam kenangan akan kematian
ini?” Kematian?. Tentu saja. Ini satu paradoks : kematian memisahkan, namun
kematian pula yang mengumpulkan dan mempersatukan. Namun, untuk apa berkumpul
dan bertemu? : C e r i t a!! Inilah kekuatan yang mendorong kami – dan kita –
berkumpul dan bertemu. Kita ingin bercerita. Cerita tentang masa yang sudah
lampau, tentang kita dan tentang yang meninggal. Cerita tentang kita saat ini
yang kehilangan, namun bersatu karena kenangan yang sama. Juga cerita tentang
esok, lusa dan seterusnya tentang bagaimana kita akan berjalan terus dengan
segala kenangan yang kita (pernah) miliki Bersama. Dan dia yang kita kenang
menjadi ‘tetap hidup’ karena cerita kita, narasi kita.
Beberapa tahun yang lalu saya memulai sebuah blog. Secara
spontan – tanpa melewati pertimbangan yang panjang – saya memilih tagline-nya “h
i d u p adalah c e r i t a. Sejak awal
saya bermaksud memanfaatkannya sebagai media bercerita, tentang apa saja,
terutama tentang apa yang saya alami, lihat dan rasakan. Cerita memiliki
kekuatan menggugah dan mengubah. Saya sering mendengar atau membaca cerita.
Bahkan salah satu genre buku yang paling saya sukai adalah buku-buku yang
berisi cerita hidup orang-orang maupun pelaku sejarah, entah biografi, otobiografi,
maupun memoir. Tanggal 24 April 2020 saya dikirimi buku “Romantisme Tahun
Kekerasan : sebuah memoar Martin Aleida”. Saya berteman dengan sang penulis
memoar di facebook. Tetapi lebih dari itu, sebelum berteman di media sosial,
saya pembaca setia cerita-cerita pendek yang dia tulis. Larik-larik yang
seperti endapan dari gabungan kenangan panjang akan keindahan dan pahitnya
hidup sekaligus. Di memoar yang terakhir ini, Martin bertutur tentang luka dan
kekalahan sekaligus. Namun tidak meratap. Kita tak pernah bisa mengubah
jalannya sejarah. Yang sudah berlalu menjadi kenangan, memori. Namun ia
mengendap di ingatan. Tempat di mana Sebagian orang menguburkannya dalam diam
dan tak pernah mau menggalinya lagi. Sebagian bersedia membukanya dan mengisahkannya. Hanya para pemberani yang dapat melakukan hal demikian : mengisahkan
luka dengan gagah agar siapa pun dapat berkaca dan belajar. Sebelumnya saya
membaca “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”-nya Pramoedya. Saat-saat kelam yang
menyakitkan. Tapi Pram memilih untuk menuliskannya, menceritakannya kepada khalayak.
Saya kira Pram tidak mengharapkan iba. Dia tidak minta dikasihani. Hersri
Setiawan dalam ‘Memoar Pulau Buru’
juga bercerita ingatannya akan sepenggal sejarah kelam bangsa ini. Apa yang ia
alami sendiri. Masih banyak memoar dan kisah yang sudah saya baca, tidak melulu
tentang mereka yang kalah atau dikalahkan. Ada memoar para jendral yang dengan gagah mengenang heroism
dan kemenangan di berbagai palagan tempur. Para Politisi. Orang Suci. Pemain
Sepak Bola, dan banyak lagi. Saya membaca biografi Soekarno yang ditulis Cindy
Adams. “Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya”-nya Soeharto yang ditulis
Ramadhan KH, “Biografi Gus Dur” yang ditulis Greg Barton. Juga tentang
Benny Moerdani yang ditulis Julius Pour. Yoga Soegama, M. Jusuf, dan lain-lain.
Satu lagi adalah cerita para sahabat tentang sesorang. Tentang ini terakhir saya
baca “Arief Budiman (Soe Hok Djin) : melawan tanpa kebencian”, buku yang
ditulis untuk hadiah ulang tahun ke-77 Arief Budiman, intelektual dan aktivis.
YB Mangunwijaya pernah mendapat hadiah sejenis saat berulangtahun ke-65 di
bawah judul, “Mendidik Manusia Merdeka”. “Ia Tak Pernah Pergi”,
tulis sahabat-sahabat Rendra, setelah sang sastrawan dan dramawan ini
berpulang. Di kisah-kisah itu – sekali lagi – saya menemukan kekuatan cerita. Manusia
– dalam episode-episode hidupnya – seperti membawa benang-benang yang harus
ditenun untuk membentuk satu kisah utuh. Yang, lagi – lagi jadi paradoks,
bagaimanapun ‘tak pernah utuh’, karena ada bagian yang mesti orang lainlah yang
mengisahkannya.
Sebagai orang Katolik, Alkitab – bagi saya - adalah c e r i
t a paling i n d a h! Bertahun-tahun, bahkan sebelum mengenal aksara saya sudah
mendengar kisah-kisah alkitab. Sejarah para tokoh, sejarah bangsa Israel, kisah-kisah
mujizat yang mengagumkan. Semua itu menjadi satu c e r i t a k e s e l a m a t a n : cerita cinta Allah
pada manusia. Cerita yang ditulis, “Supaya
Engkau Dapat Menceritakan Kepada Anak Cucumu” (Kel 10:2)