Jumat, 21 Agustus 2020

Ronald Koeman : Johan Cruyff dan Jejak Total Football

Pertandingan memasuki menit ke 116 ketika wasit Howard Webb meniup pluit setelah sesaat sebelumnya Alexander Iniesta berhasil mencetak gol ke gawang Belanda yang dikawal Marteen Stekelenburg. 1 – 0 Spanyol unggul yang bertahan sampai peluit akhir dibunyikan. Waka-waka soundtrack resmi Piala Dunia menggema di seantero stadion menyambut kehadiran Sang Juara Dunia Baru : Spanyol!

Spanyol patut jumawa. Dua tahun sebelumnya mereka sukses merajai Eropa dan saat ini menjadi kampiun Piala Dunia. Dan Belanda? Lagi-lagi belum berhasil meruntuhkan mitos sebagai tim spesialis Runner Up, seperti halnya dua perhelatan Piala Dunia sebelumnya, 1974 dikalahkan Jerman Barat dan 1978 takluk dari Argentina. Weslei Sneijder, dkk menangis pilu.

Ronald Koeman – yang baru saja ditunjuk sebagai pelatih anyar Barcelona, tim raksasa La Liga, tidak ada di Tim Belanda saat itu. Seperti jutaan pendukungBelanda lainnya Koeman kecewa. Mimpi melihat negaranya untuk pertamakali mengangkat trophy Piala Dunia kandas. Pupus dihadapan sederetan  “Generasi Emas” Spanyol. Timnas Spanyol yang datang ke Afrika Selatan adalah sekumpulan pemain yang digadang-gadang sebagai generasi emas. Hasil didikan akademi-akademi klub dan ditempa dalam kompetisi yang menduduki kasta tertinggi Eropa, setelah sebelumnya jaman keemasan Serie A Italia dan Premiere League Inggris. Dua tim La Liga – Real Madrid dan Barcelona – merajai Eropa dalam kurun waktu itu. Pemain dari kedua klub ini juga mendominasi tim nasional. Tiki taka, memainkan bola dengan cepat dan mengandalkan penguasaan bola, menjadi tontonan menarik dan menghibur. Di kaki Iniesta dan tandemnya di Barcelona maupun tim nasional Xavi Hernandes, aliran bola tiki taka bak sebuah orchestra yang indah.

Kesuksesan Spanyol berturut-turut merajai Eropa dan menjadi Juara Dunia seperti  keniscayaan melihat bagaimana klub-klub peringkat atas liga mereka bermain, terutama Barcelona dan Real Madrid. Barcelona mendapat kredit khusus karena menularkan tiki-taka. Ironisnya negara yang menjadi korbannya di Final Piala Dunia adalah Belanda. Negara tempat salah satu peletak dasar tiki taka di Barcelona berasal, Johan Cruyff.. Cruyff datang ke Barcelona pada pertengahan 1973 setelah sebelumnya bermain untuk Ajax dan memenangi banyak trophy. Ia dibayar dua juta dollar, yang membuatnya menjadi pemain termahal saat itu. Kehadiran Cruyff mendatangkan berkah bagi Barcelona. Mereka menjuarai La Liga untuk pertama kali. Cruyff meninggalkan Barcelona sebagai pemain tahun 1978. Setelahnya ia masih bermain bola dan melanglang buana ke berbagai liga sepakbola sampai akhirnya pension di Feyenoord, tim di Eredivisie Belanda. Karir kepelatihannya dimulai dengan menangani tim muda Ajax. Tahun 1988 ia Kembali ke Barcelona, kali ini sebagai pelatih tim utama. Bersama Cruyff Barcelona mengalami masa kejayaan. Dalam kurun waktu 1989 – 1994 Ia berhasil mempersembahkan Juara Piala Winners dan Juara Piala Champions dari empat kali keikutsertaan di final. Nama-nama beken seperti Guardiola – yang kelak menjadi Pelatih Barcelona – Romario, Ronald Koeman, Michael Laudrup, George Hagi, Hristo Stoickhov adalah Sebagian dari anak didik lelaki yang bernama lengkap Hendrik Johannes Cruyff ini.

Bukan hanya gelar juara yang dikenang. Johan Cruyff berhasil meletakan fundasi sepakbola yang menjadi identitas Barcelona lewat Akademi La Massia, kawah candradimuka penggodokan bibit-bibit pemain muda Barcelona. Cruyff adalah murid terbaik Bapak “Total Football” Rinus Michael. Gaya ini dia terapkan di Barcelona hingga sukses meraih 11 trophy. Raihan yang hanya bisa dikalahkan oleh salah seorang anak didiknya – Joseph Guardiola – yang berhasil menyumbang 15 gelar bagi Barcelona selama karir kepelatihannya.

Kenangan manis era Cruyff yang berlanjut di bawah Pep Guardiola menjadi sirna seketika saat menyaksikan Lionel Messi, dkk dibantai Bayern Munchen dengan skor telak 2 – 8! Kekalahan ini seolah menjadi pertanda berakhirnya era generasi emas Barcelona. Beberapa pemain  telah lama pension dan yang masih bermain pun sudah berada di penghujung masa keemasan. Saatnya untuk memulai lagi. Tak lama setelah kekalahan memalukan Presiden Klub langsung mengumumkan pengangkatan Ronald Koeman sebagai pelatih. Koeman bukanlah wajah asing bagi Barca. Selepas menjuarai Piala Eropa 1988 bersama Belanda, Koeman direkrut Barcelona dan menjadi salah satu yang mengharumkan nama Barcelona di La Liga dan Eropa. Pemain yang ketika aktif menempati posisi libero dan memilik tendangan geledek ini adalah anak kandung total football. Apakah ia akan mengikuti jejak suskses mentornya Johan Cruyff atau bisa sesukses rekannya yang telah terlebih dahulu sebagai pelatih, Pep Guardiola? Yang pasti Koeman datang bukan pada saat kejayaan, Ia harus mengembalikan harga diri tim dan membangunnya kembali menjadi tim yang disegani dan ditakuti di Eropa. Akankah kita menyaksikan tiki taka kembali atau tidak, kita tunggu kiprah Meneer Koeman.

Jumat, 14 Agustus 2020

A(nd)REA PIRLO

Dalam percakapan tentang sepakbola pasca 2000-an kita mengenal terminologi "Area Pirlo". Istilah ini merujuk ke posisi yang dimainkan Andrea Pirlo terutama sejak ia merumput bersama AC Milan. Pirlo - di tim nasional Italia dan klub - bermain sebagai gelandang. Namun Pirlo bukanlah tipe gelandang pengatur serangan (play maker) yang memadukan kecepatan dan visi bermain. Sebagai play maker ia cenderung lambat. AC Milan punya play maker yang cepat, seperti Boban, Kaka atau Rui Costa. Namun demikian Pirlo memiliki kelebihan lain. Ia piawai mengatur tempo, memiliki umpan wilayah dengan presisi mengagumkan dan jago dalam eksekusi bola mati, baik tendangan dua belas pas maupun tendangan bebas dari luar kotak penalti. Tendangan Penalti a la panenka ke gawang Perancis di final Piala Dunia 2006 menjadi salah satu tendangan penalti terbaik yang pernah ada.
Dengan talenta ciamik seperti itu, Pirlo kemudian diberi posisi unik : deeplying play maker, pengatur serangan yang bermain lebih dalam dekat area pertahanan sendiri. Posisinya jauh berada di belakang penyerang atau striker. Dia berada di posisi yang biasa ditempati oleh seorang gelandang bertahan konvensional. Ia nyaris berada dekat bek tengah. Namun semua orang mengakui itulah posisi terbaik Pirlo dan mungkin hanya dia yang bisa bermain di posisi itu secara sempurna. Dari sepertiga wilayah lapangan ia bisa menjadi pengatur serangan dan mengirim umpan-umpan yang memanjakan para penyerang dan mematikan pemain bertahan lawan. Sepertiga lapangan itulah yang dikenal sebagai "Area Pirlo", daerah dan wilayah kekuasaan Pirlo. Pirlo memperlihatkan sepakbola yang indah dan menarik.
Bersama AC Milan saja, yang dibelanya dari 2001 - 2011, ia telah memenangkan dua gelar Liga Champions (2003 dan 2007), dua Piala Super Eropa (2003 dan 2007), dua titel Serie A (2004 dan 2011), satu Piala Dunia Antarklub FIFA (2007), dan Coppa Italia (2003).
Selain AC Milan, Pirlo tercatat pernah memperkuat Brescia, Reginna, Inter Milan dan Juventus di Serie A dan mengakiri karirnya di New York City FC.
Berada di lapangan sebagai pemain dan berdiri di pinggir lapangan sebagai pelatih tentulah berbeda. Kini Pirlo dipercaya menukangi Juara Serie A sembilan kali berturut-turut: Juventus. Banyak yang meragukan kemampuannya sebagai pelatih mengingat pengalamannya minim. Bahkan sertifikat sebagai pelatih pun secara resmi baru akan diperoleh Oktober mendatang. Kompetisi serie A 2020/2021 akan menjadi ajang pembuktian apakah dia memang layak diperhitungkan, seperti pelatih-pelatih yang sebelumnya cemerlang sebagai pemain: Carlos Alberto di Brazil, Franz Beckenbauer di Jerman, Didier Deschamps di Perancis pada level tim nasional. Atau Zidane bersama Real Madrid Guardiola bersama Barcelona dan Diego Simeone di Athletico Madrid. Sekarang "Area Pirlo" berada di ruang ganti dan kotak putih dekat bench pemain cadangan di pinggir lapangan. Akankah bertuah? Kita tunggu..
@Semabung, 12.08.2020

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...