Minggu, 08 November 2020

Sang Relikwi Hidup (Catatan- catatan Kecil Bersama Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap)

+ Medan, 7 November 2020

Kabar duka itu tiba kira-kira pukul 18.15 : Mgr. Anicetus Sinaga meninggal di RS St. Elisabeth, Medan. Sejak 19 Oktober 2020 beliau dirawat di sana. Banyak orang bisa berkisah tentang Mgr. Anicetus. Saya bersyukur pernah mengalami dari dekat kebersamaan dengan beliau. Saya menjadi Sekretaris Mgr. Anicetus dari 12 Juli 2002 s.d 3 Januari 2004 saat beliau secara resmi diumumkan menjadi Uskup Coadjutor Keuskupan Agung Medan. Mgr. Anicetus adalah figure yang luar biasa : cerdas, saleh, rendah hati dan murah hati. Paduan yang sangat langka, membuatnya layak paripurna. Ia diangkat menjadi Perfektur Apostolik Sibolga pada 11 November 1978, pada usia tergolong muda, 37 Tahun. Ditahbiskan sebagai Uskup Keuskupan Sibolga pada 6 Januari 1981 oleh Paus Yohanes Paulus II di Vatican. Tentang ini kadang-kadang beliau berseloroh, “saya ini relikwi hidup, karena yang mentahbiskan saya Orang Kudus”. Setelah 23 tahun menjadi Uskup Sibolga, pada tanggal 3 Januari 2004 diangkat menjadi Uskup Coadjutor Keuskupan Agung Medan. Bapa Uskup sedang menjalani retret pribadi di Biara Klaris Sikeben ketika diberitahu oleh Nuncio Apostolik bahwa Sri Paus telah mengangkatnya sebagai Uskup Coadjutor KAM. Sepulang dari Sikeben beliau menyampaikan ke kalangan terbatas di Kuria. Belum diumumkan karena menunggu pengumuman resmi dari Vatican. Secara pribadi beliau juga setuju diumumkan setelah tahun baru. “kepindahan ini mungkin bukan hadiah natal dan tahun baru yang baik untuk umat”, katanya bergurau dengan tawanya yang khas. Maka sejak 2004 beliau pindah ke Medan sampai pensiun pada 8 Desember 2018 bersamaan dengan diangkatnya Mgr. Kornelis Sipayung menjadi Uskup Agung Medan. Pasca Pentahbiskan Mgr. Kornelis beliau ‘kembali’ ke Sibolga, karena sebelumnya juga sudah diangkat menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Sibolga, sepeninggal Mgr. Ludovicus Simanullang, OFMCap. Ketika bertemu dalam tawanya yang riang beliau masih bergurau, “Saya ini sudah lengkap. Jadi Perfektur Apostolik, Uskup, Uskup Coajutor, Uskup Agung dan Administrator Apostolik. Hanya jadi Kardinal dan jadi Paus yang belum pernah”.

Anak Muda di Sinilah Ruanganmu

Saya diangkat sebagai Sekretaris Uskup begitu menyelesaikan Pendidikan di STFT St. Yohanes. Tiga hari setelah menerima tahbisan Diakonat, 9Juli 2002, saya memulai tugas sebagai Sekretaris Uskup. Sekembali dari Pangaribuan tempat tahbisan diakon, tanggal 12 Juli 2002 saya mulai masuk kantor!. Sebelum saya, beberapa tahun Mgr. Sinaga tanpa sekretaris. Tugas sekretaris dirangkap. Pernah oleh Rm. Joko, OSC yang merangkap sebagaiVikjen. Maka ketika saya datang, ruang kerja sudah lama tidak ditempati. Pst. Marinus Telaumbanua,OFMCap – Vikjen waktu itu – menunjukkan ruang kerja saya, persis berhadapan dengan ruang kerja Bapa Uskup di lantai dua. Mgr. Sinaga dengan gayanya yang khas datang menghampiri kami dan berkomentar, “anak muda, di sinilah ruanganmu”. Sejak saat itu saya menjadi sekretaris Uskup.

Sebagai sekretaris tugas rutin saya berkaitan dengan surat menyurat, SK, notulensi rapat dan mengatur jadwal-jadwal pertemuan dengan tamu atau pihak-pihak yang mau bertemu dengan Uskup. Waktu itu Mgr tidak memakai handphone. Suatu waktu ketika merapikan meja kerja Uskup, saya menemukan ada kotak yang belum dibuka berisi handphone yang masih baru. Rupanya ada umat di Jakarta yang menghadiahi beliau handphone. Beliau tidak memakai dan membiarkannya saja di meja. Ketika saya bertanya, “kenapa tidak dipakai Mgr?”. “ah biarlah di situ”. Tetapi tak lama kemudian beliau mengatakan, “Nanti Vikjen saja yang pakai. Dialah mewakili kita memakai barang canggih ini”. Setelah itu handphone itupun diserahkan ke Vikjen untuk dipakai.

Polyglot & Multitasking

Jadwal harian beliau sangat teratur. Bangun subuh, lalu meditasi. Setelah itu ibadat pagi dan merayakan ekaristi Bersama di Kapel St. Kristoforus. Hari tertentu beliau merayakan misa di Kapel Susteran OSF. Setelah ekaristi harian, biasanya disusul sarapan. Lalu – kalau sedang tidak ada tugas kunjungan ke Paroki atau apat di luar kota – beliau bekerja di Kantor Keuskupan yang letaknya sekitar 50 meter dari Rumah Kediaman Uskup. Beliau kutu buku. Buku-buku bacaannya dalam berbagai Bahasa. Ia satu dari sedikit orang yang tergolong polyglot : menguasai banyak bahasa. Ia fasih berbicara Bahasa Jerman, Inggris, Italy, Belanda, Perancis (bahkan punya diploma yang katanya sambil bergurau ‘bisalah untuk jadi guru SD’). Ia berbicara dalam berbagai Bahasa daerah : Batak Toba, Simalungun, Nias, Karo. Tentu saja juga menguasai Bahasa Latin dan Bahasa Indonesia. Maka bacaannya sangat kaya. Setiap kali pulang, terutama dari luar negeri Bapa Uskup biasa membawa pulang banyak buku. Selain itu banyak buku dikirim dari mana-mana untuk beliau. Beliau juga tekun menulis. Saat itu di ruang kerjanya ada dua computer PC dan satu laptop. Tiga-tiganya berfungsi dan dipakai. PC yang satu khusus untuk menulis kamus yang tiap hari selalu diisi entry baru. Komputer satunya berisi draft buku dan makalah. Sedangkan laptop sering dipakai untuk menulis surat dan artikel-artikel pendek. Kalau masuk ke ruang kerja tiga computer ini semua ‘menyala”. Beliau bisa berpindah-pindah dari computer yang satu ke computer lain tanpa kehilangan konsentrasi. Sistem penyimpanan buku di rakpun teratur. Beliau hafal letak-letaknya. Maka kalau butuh mengecek untuk catatan kaki, cukup mudah untuk menemukan. Nah salah satu tugas saya adalah mengoreksi kesalahan ketik. Karena sering beliau bekerja sampai malam dan saya sudah pulang ke rumah, maka draft naskah biasanya diletakan di depan pintu atau dimasukan ke ruangan saya melalui celah pintu, lengkap dengan paraf. Mgr. Sinaga juga ensiklopedi berjalan. Kita bisa bertanya banyak hal dan beliau menjawab dengan runtut sering disertai sumber, entah buku atau ahli yang empunya pendapat. Ketika sedang tekun menyelesaikan kamus, beliau bisa pindah menyelesaikan tulisan dengan tema lain dengan enteng, untuk kemudian membalas email atau menulis dan mengirimkan email. Selama bersama beliau, Bapa Uskup jarang sakit. Satu-satunya keluhan adalah kalau tekanan udara berubah, beliau akan peka. Kebiasaan buruknya : merokok!. Belakangan beliau berhenti total. Soal makan minum Monsinyur tidak pilih-pilih. Setelah makan beliau biasanya minum teh tanpa gula.

Nasi Padang dan Duren

Sebagai Uskup Sibolga, Mgr. Anicetus sangat dihormati dan dituakan. Banyak tokoh yang datang entah sekedar bertamu atau meminta pendapat dan pandangan-pandangan beliau. Suatu waktu serombongan Pendeta menyatakan keinginan untuk bertemu. Mgr menerima mereka di kantor. Karena asyik ngobrol, pembicaraan baru berakhir malam. Waktu makan pun sudah lewat. Saya menelpon ke rumah dan dijawab sudah tidak ada makanan karena menyangka Bapa Uskup makan di tempat lain. Beliau lalu mengeluarkan uang dari dompet, jadilah saya membeli nasi padang untuk makan malam kami.

Waktu yang lain. Di trotoar depan Kantor selalu ramai penjual duren saat musim buah itu tiba. Kami bisa menyaksikannya dari jendela kantor di lantai dua. Suatu malam saya membeli duren dan membawa ke kantor, lalu mengajak Mgr makan. Beliau ikut menikmati duren. Setelah puas makan, bekas kulitnya saya taruh di tempat sampah. Kami pun pulang ke rumah. Besok pagi, Ketika masuk kantor, Suster ngomel- ngomel karena ruangan bau duren! Saya ditegur. Dan saya tidak mau jadi korban sendirian, “Monsinyur juga ikut makan”, dalih saya.
Masih tentang makanan. Bapa Uskup tidak menuntut banyak. Apa yang disediakan akan beliau makan. Jika dalam perjalanan, beliau mau mampir di mana saja untuk makan. Tempat yang sering disinggahi adalah di daerah Balige. Bukan rumah makan terkenal. Tetapi kedai makan biasa, tempat para sopir juga biasa singgah untuk makan. Suatu kali kami bertiga ke Medan mengantar Bapa Uskup. Bapa Uskup, saya dan Pak Sitompul (sopir). Tiba di Balige Bapa Uskup mengingatkan ayo kita makan siang dulu. Kami pun mampir makan. Porsi lengkap : saksang, sop, panggang. Setelah makan, saya menunggu tapi tidak ada tanda-tanda Bapa Uskup akan membayar.
Lalu saya tanya Pak Tompul, “adong do hepeng dilehon suster ?’.
 “Adong pastor, alai tu bensin na ma on”.
 “Cukup gak bensin kita sampai ke Siantar? 
“Sampai ke Medan pun masih cukup”. 
“Sini saya pinjam dulu uangmu kalau begitu. Saya pun tidak bawa uang”. 
Kami lalu mampir di Siantar dan saya meminjam uang ke ekonom Seminari. Tiba di Medan, saya menelpon Suster di ekonomat Keuskupan,
 “Suster, kok Bapa Uskup berangkat tidak bawa uang?”. 
“ada pastor, saya masukan di amplop!”. 
Ketika Bapa Uskup pulang Kembali dari perjalanan, saya mengecek kopernya. Amplop masih utuh dan tentu saja beberapa bungkus rokok Djarum Super 16 kesayangan beliau. Beliau hanya tertawa waktu saya cerita saya sampai pinjam uang ke ekonom Seminari, rupanya Bapa Uskup punya uang dan masih utuh di koper.

Celana, Bantal Butut dan Sepatu

Pakaian Bapa Uskup biasanya dicuci dan disetrika oleh para Suster SCMM. Pakaian kotor diambil, setelah dicuci dan disetrika dikembalikan ke Rumah Uskup. Namun Bapa Uskup punya beberapa “baju kesayangan”, yang dipakai berulang-ulang, seperti tidak ada baju lain. Suatu waktu saya dan Sr. Sesilia memanggil Ci Betty untuk mengukur baju dan celana Panjang untuk Uskup. Tak lama kemudian datang beberapa stel baju dan celana baru. Saya pun diam-diam menyingkirkan beberapa baju dan celana dari lemari karena sudah kelihatan lusuh. Rupanya Bapa Uskup tahu juga. Ketika sedang membantunya di kantor, beliau bertanya, “sepertinya ada baju saya yang belum diantar”. Saya pura-pura tidak tahu dan berjanji akan bertanya ke para suster yang biasa mengurus pakaian Bapa Uskup. Setelah itu beliau tidak pernah bertanya lagi, mungkin sudah maklum.

Bantal butut. Ini tidak persis disebut bantal. Lebih tepat kumpulan baju-baju bekas yang digulung-gulung lalu menyerupai bantal dan bisa mengganjal kepala kalua tidur. Setelah makan siang Bapa Uskup tidak selalu kembali ke rumah, tetapi langsung ke kantor melanjutkan kerja, membaca atau menulis. Di sela-sela itu beliau bisa mengambil waktu beberapa menit untuk istirahat. Nah, di situlah bantal ini sangat berjasa. Beliau berbaring saja di lantai dengan kepala diganjal bantal butut ini. Suatu kali beliau pergi agak lama. Ketika merapikan kamar kerja saya – sudah lama berniat – menyingkirkan bantal ini. Saya sembunyikan di pojok laci lemari. Ketika beliau pulang, hilangnya bantal ini tidak dibahas. Aman pikirku. Eh tak lama kemudian, saya lihat bantal butut ini sudah menempati posisinya semula.

Ketika sudah resmi diumumkan akan pindah ke Medan, saya menyampaikan ke Sr. Sesilia, “tidak ada lagi sepatu dan sandal uskup yang layak pakai”. Suster meminta saya mencarikan sepatu. Lalu kami membeli dua pasang sepatu baru dan diantar ke ruang kerja beliau. Bapa Uskup tertawa Ketika disampaikan bahwa keputusan membeli sepatu ini setelah menimbang bahwa sepatu-sepatu yang ada tidak layak dibawa ke Medan. Sepatu itu beliau pakai.

Bapa Uskup terlalu banyak untuk dikisahkan pengalaman bersamamu. Bapa Uskup orang hebat dan akan tetap dikenang sebagai orang hebat. 51 tahun hidupmu sebagai Imam. 39 tahun sebagai Uskup bukanlah waktu yang pendek. Terimakasih untuk semua teladan hidupmu. Doakan kami yang masih berziarah ini. Seperti pemazmur yang juga menjadi motto episcopatmu, “ad pasquam et aquas conducit me” (Mzm 23:2), Allah menyediakan padang rumput hijau abadi dan mata air lestari bagimu. Selamat jalan Bapa Uskup….

@Pangkalpinang, 8 November 2020

Satu-satu Daun Jatuh


Verba Volant, Exempla Manent

(In memoriam Pst. Barnabas J. Winkler, OFMCap)
+ Medan, 6 November 2020
Di sela-sela pertemuan para uskup se Sumatra bersama para pemimpin tarekat religius di Tanjung Pesona – Pulau Bangka, saya berjumpa dengan rekan sekelas – sdr. Yoseph Sinaga, Kustos Kustodia Kapusin Sibolga. Dalam suasana santai selepas sessi-sessi rapat kami bernostalgia. Tiba-tiba sdr. Yoseph mengajukan pertanyaan, atau mungkin lebih tepat pernyataan, “Hans kamu cukup dekat dengan Pastor Barnabas kan?”. “Setiap tanggal 11 Juni saya masih mengingat pesta namanya”, jawab saya. Yoseph tertawa mendengar jawaban itu. “Saya ingat ingin mengirim email kepadamu, meminta kamu menulis kesan tentang Pastor Barnabas. Kami akan merayakan 50 tahun Imamatnya bulan Juni yang akan datang”. “Dengan senang hati saya akan menulis”, jawab saya.
Tentu sangat banyak yang bisa ditulis tentang seorang yang sudah menjalani 50 Tahun Imamat dan hampir memasuki usia 80 tahun, usia tertinggi manusia menurut Kitab Mazmur : delapan puluh jika kuat.
Interaksi saya dengan beliau pada awal-awal yakni kurun waktu 1994 – 2002 tidak terlalu intens. Masa itu adalah masa studi di seminari Tinggi/STFT. Perjumpaan dengan beliau sangat jarang. Namun dalam percakapan nama beliau sering sekali disebut. Saya baru sering berjumpa beliau sejak diangkat menjadi sekretaris Keuskupan Sibolga bulan Juli 2002. Ketika diangkat menjadi Sekretaris Keuskupan, di kuria keuskupan sudah ada Pst. Marinus Telaumbanua, OFMCap (alm) sebagai Vikjen dan P. Barnabas sebagai Ekonom merangkap Komisi Pembangunan Keuskupan. Di ekonomat – Bagian K dalam kode surat Keuskupan - beliau dibantu oleh Sr. Sesilia OSF dan beberapa pegawai.
Rapi Sederhana dan Teratur
Inilah kesan saya tentang Pst. Barnabas. Kerapian beliau dapat dilihat dalam seluruh aspek. Rambut selalu tersisir rapi dengan model yang nyaris tidak berubah. Dalam hal berpakaian pun beliau rapi, dengan pilihan warna yang selalu terlihat apik dan serasi. Sederhana dan elegan. Bagi saya ini bukan semata-mata karena keelokan lahiriah, beliau gagah secara fisik, tapi terlebih adalah pancaran dari keelokan batin . Pst. Barnabas tidak banyak bicara. Kesan pendiam akan langsung kelihatan bagi yang baru pertama bertemu beliau. Namun jika sudah mengenal lebih dekat akan terasa beliau adalah pribadi yang hangat. Tentang keteraturan, saya terkesan akan satu hal : beliau teratur menulis catatan harian. Seingat saya beliau menulis catatan harian dua kali sehari, pagi hari dan malam sebelum tidur. Menulis catatan harian secara teratur tentu menuntut disiplin tinggi. Selain itu ini juga menunjukkan kerendahan hati untuk ‘mendokumentasikan’ dan merekam peristiwa-peristiwa agar tidak berlalu begitu saja. Soal kedisiplinan Pst. Barnabas adalah teladan ‘par exelence” : masuk kapel untuk ibadat harian dan ekaristi, berangkat dan pulang kantor, hadir di meja makan, mengikuti rekreasi bersama.
Arsitek Multi Talenta
Salah satu yang paling dikenal dari Pst. Barnabas adalah kehandalannya dalam pembangunan. Ada banyak bangunan di wilayah Keskupan Sibolga karya Pst. Barnabas. Beliau tidak ‘menggambar’ secara utuh, namun dalam bentuk sketsa dengan coretan-coretan dan garis-garis sederhana. Bangunan-bangunan rancangan beliau mempunyai ciri khas: selaras alam – bangunan menyesuaikan dengan kontur dan struktur tanah, kokoh. Sehingga ketika gempa bumi Nias – 28 Maret 2005 – bangunan-bangunan karya tangan beliau tetap kokoh berdiri. Dalam salah satu acara jamuan makan malam di pendopo rumah dinas Bupati Nias di Gunungsitoli, Bapak Binahati Baeha, Bupati Nias waktu itu, menyampaikan bahwa rumah Dinas Bupati Nias pun hasil rancangan dan kerja pst. Barnabas. Yang istimewa, sudah membangun sesuai spek, Pst. Barnabas masih mengembalikan sisa dana yang jumlahnya belasan juta kepada pemerintah. Uang yang seharusnya menjadi hak beliau sebagai kontraktor yang membangun.
Selain arsitek brilian dalam hal bangunan fisik, Pst. Barnabas juga adalah seorang arsitek: konseptor dan perancang pastoral. Beliau berpikir dan menganjurkan cara-cara untuk menyediakan tenaga pastoral bagi keuskupan, baik tenaga pastoral tertahbis maupun tenaga pastoral awam. Semuanya dilakukan dengan tenang, tanpa riuh rendah. Tak berlebihan jika beliau disebut “Arsitek Multi Talenta”, dia merancang banyak hal!
Bencana dan Tahta Lowong
Bulan Februari 2004, Mgr. Anicetus resmi menjadi Uskup Coadjutor Keuskupan Agung Medan. Pst. Barnabas dalam rapat Dewan Imam yang dipimpin Pst. Mathias Kuppens, OSC – imam tertua dalam tahbisan yang menjadi anggota Dewan Imam Keuskupan Sibolga waktu itu – dipilih sebagai Administrator Diosesan. Sebuah pilihan – yang post factum – diakui tepat. Orang yang tepat pada tempat yang tepat di waktu yang tepat. Acara pelantikan dan perkenalan Administrator Diosesan diadakan dalam misa meriah di halaman SMP Fatima, Sibolga. Administrator Diosesan tentulah masa jabatan sementara. Hanya seberapa lama sementaranya tak seorang pun yang tahu. Karena sementara, hanya mengisi tahta lowong dan menanti uskup definitif, maka kewenangan Administrator Diosesan sangat terbatas. Pst Barnabas tidak canggung menjalankan tugas sebagai administrator diosesan. Beliau menguasai dengan baik apa yang harus dikerjakan. Lebih dari itu beliau punya kapasitas kepemimpinan. Setelah resmi menjadi Administrator Dosesan, beliau meminta saya untuk menjadi sekretaris. Saya menjadi sekretaris sampai bulan Agustus 2005 saat saya dipindah ke paroki St. Maria Bunda Para Bangsa, Gunungsitoli.
Akhir 2004 – 26 Desember 2004 – terjadi bencana tsunami di Aceh. Beberapa wilayah Keuskupan Sibolga, terutama Paroki Nias Barat, Alasa, Lahewa dan beberapa daerah lain terkena dampaknya. Perhatian pemerintah dan lembaga-lembaga internasional terfokus di Aceh. Keuskupan Sibolga, terutama Dekanat Nias, khususnya Paroki Nias Barat dan daerah terdampak lainnya harus bekerja keras. Tahap tanggap darurat dan pemulihan pasca banana tsunami dijalankan di bawah kepemimpinan Pst. Barnabas sebagai administrator.

Belum tuntas menangani dampak bencana tsunami, keuskupan Sibolga mengalami bencana dahsyat: Gempa Bumi Nias, Senin 28 Maret 2005. Gempa Bumi berkekuatan 8,7 SR memporakporandakan sebagian besar Pulau Nias. Saat gempa tejadi Pst. Barnabas sedang berada di Gunungsitoli, karena sebelumnya beliau merayakan Pekan Suci di sana. Beliau ikut menjadi korban. Tembok kamar tidur beliau roboh dan menimpanya. Beberapa jam beliau terkurung dalam reruntuhan. Pst. Barnabas berhasil dievakuasi setelah para pastor anggota komunitas st. Maria dan beberapa pastor yang kebetulan menginap di st. Maria ‘turun’ dari Biara Claris setelah sebelumnya masing-masing menyelamatkan diri menghindari tsunami. Setelah diperiksa ditemukan luka di kepala dan retak pada tulang kaki. Pada awalnya beliau berkeras untuk tetap tinggal di Gunungsitoli dan dirawat di sana. Namun karena situasi chaos dan sarana pengobatan terbatas akhirnya beliau dibawa ke Medan. Situasi benar-benar darurat: letak geografis sulit, ketersediaan sarana transportasi (kapal, mobil) sangat terbatas, sumberdaya manusia minim, dan kordinasi yang sulit. Itulah sekelumit kesulitan yang dirasakan di awal-awal bencana. Namun – Puji Tuhan – situasi chaotic perlahan-lahan bisa diatasi. Dalam hal kepemimpinan keuskupan, saat itu adalah masa “Tahta Lowong” (sede vacante). Ditambah lagi dengan cedera dan harus dirawatnya Administrator maka kepemimpinan Keuskupan Sibolga benar-benar lowong. Dalam situasi seperti itu Julius Kardinal Darmaatmaja – Uskup Agung Jakarta/Ketua KWI waktu itu – melalui sekretaris beliau Rm. Padmo menelpon saya sebagai sekretaris dan bertanya apa bantuan yang dibutuhkan. Secara khusus beliau bertanya siapa imam anggota konsultores yang bisa dihubungi dengan cepat sebagai rekan diskusi kalau ada hal-hal yang dibutuhkan. Setelah tahu bahwa sebagian besar anggota konsultores sulit dihubungi, Romo Padmo menyampaikan pesan, “..kalau ada hal yang sangat penting romo jangan segan-segan untuk menyampaikan ke Bapa Kardinal. Nanti beliau bisa membantu menginformasikan kepada para Uskup atau pihak lain terkait”. Saya menyampaikan ini ke Pst. Barnabas. Beliau tidak mau terlalu lama di RS Elisabeth. Setelah merasa agak baik, beliau kembali ke Sibolga. Dalam kondisi belum terlalu fit pasca cedera, beliau langsung memantau proses penanganan tanggap darurat. Gempa Nias menghancurkan secara fisik. Dampak lain yang tidak telalu diantisipasi adalah ‘gempa sosial’. Gempa sosial yang terjadi adalah mengalirnya jumlah bantuan ke Nias dan banyaknya Lembaga baik dalam negeri maupun luar negeri yang dating dan bekerja di Nias. Kehadiran lembaga-lembaga ini seperti dua sisi mata uang: mereka membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi di satu sisi. Di sisi lain mereka juga mengubah cara hidup dan gaya hidup masyarakat. Tentang ini para saudara pasti punya refleksi dan pengamatan masing-masing. Dalam situasi seperti itu Pst. Barnabas ‘membidani’ lahirnya Caritas Keuskupan Sibolga. Lembaga yang kemudian terlibat pada masa tanggap darurat dan penanganan pasca bencana sampai saat ini.

Sebagai Administrator Diosesan beliau berharap agar Keuskupan Sibolga segera mendapat uskup definitif. Saat beliau menjabat proses terna – tahapan memilih uskup baru – sudah berlangsung. Sampai akhir tahun 2006 belum juga ada pengumuman uskup baru. Bulan Desember 2006 dalam masa adven, Mgr. Leopoldo Girelli- Nuncio Apostolic – mengadakan kunjungan ‘incognito’ ke Nias. Kunjungan ini ‘tidak resmi’ karena dilangsungkan tanpa protokoler pemerintahan. Selain meninjau beberapa proyek pasca gempa, kesempatan ini juga dipakai untuk berbicara secara pribadi dengan Administrator dan beberapa pihak lain berkaitan dengan terna yang sedang berlangsung. Tiga bulan setelah kunjungan Nuntius, tanggal 14 Maret 2007 Vatican mengumumkan pengangkatan Pst. Ludovikus Simanullang, OFMCap sebagai Uskup Sibolga. Tanggal 20 Mei 2007 Pst. Ludovicus ditahbiskan sebagai Uskup di Lapangan Simaremare, Sibolga. Masa kepemimpinan Pst. Barnabas sebagai Administrator berlangsung kurang lebih dua tahun tiga bulan. Waktu yang tergolong singkat. Namun kurun waktu tersebut adalah masa yang tidak mudah terutama karena bencana beruntun yang terjadi. Beliau menunjukkan kualitas kepemimpinannya bisa memimpin melewati saat-saat penuh kesulitan itu. Tak banyak kata, tapi memberi contoh dengan keteladanan. Verba volant, exempla manent. Kata-kata berlalu, teladan akan tinggal tetap.
Nikon F55
Ketika akan pindah ke Gunungsitoli bulan Agustus 2005, saya menghadap beliau di ruang kerja. Saya bermaksud mengembalikan kamera Nikon F55 milik beliau yang sejak Desember 2004 saya pakai. Kamera itu saya pakai antara lain memotret beberapa moment pasca tsunami di Nias Barat dan Kondisi Nias pasca gempa 2005. Kamera Nikon ini tidak sering beliau pakai, karena Pst. Baenabas lebih suka memakai kamera sony digital yang lebih canggih, lebih kecil dan mudah dibawa bawa. Ketika menyampaikan maksud mengembalikan kamera, beliau dengan senyumnya yang khas – sedikit menedipkan mata – mengatakan ‘Hans pakai saja’. Kamera itu saya pakai dan simpan sampai sekarang, walaupun sudah sulit mendapatkan roll film. Kamera Nikon itu mengingatkan saya pada pemiliknya : seorang yang mempunyai memory fotografik dan pandangan yang jauh depan focus yang tepat.
Selamat ulang tahun emas imamat Pater. Ad multos annos. Tu es sacerdos in aeternam.

Pangkalpinang, April 2018
Hans K. Jeharut, Pr
*tulisan ini sudah dimuat dalam buku kenangan 50 Tahun Imamat Pst. Barnabas Winkler, OFMCap
[Siang ini saya dapat kabar kepergianmu. Selamat jalan Pastor. Terimakasih untuk kebaikanmu, untuk teladan hidupmu, untuk cintamu. Berbahagialah bersama Para Kudus di Surga. Sampai ketemu lagi...]




π‘π”πŒπ€π‡ 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, ππ”πŠπ€π π‘π”πŒπ€π‡ πƒπ”πŠπ€

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...