(In memoriam Pst. Barnabas J. Winkler, OFMCap)
+ Medan, 6 November 2020
Di sela-sela pertemuan para uskup se Sumatra bersama para pemimpin tarekat religius di Tanjung Pesona – Pulau Bangka, saya berjumpa dengan rekan sekelas – sdr. Yoseph Sinaga, Kustos Kustodia Kapusin Sibolga. Dalam suasana santai selepas sessi-sessi rapat kami bernostalgia. Tiba-tiba sdr. Yoseph mengajukan pertanyaan, atau mungkin lebih tepat pernyataan, “Hans kamu cukup dekat dengan Pastor Barnabas kan?”. “Setiap tanggal 11 Juni saya masih mengingat pesta namanya”, jawab saya. Yoseph tertawa mendengar jawaban itu. “Saya ingat ingin mengirim email kepadamu, meminta kamu menulis kesan tentang Pastor Barnabas. Kami akan merayakan 50 tahun Imamatnya bulan Juni yang akan datang”. “Dengan senang hati saya akan menulis”, jawab saya.
Tentu sangat banyak yang bisa ditulis tentang seorang yang sudah menjalani 50 Tahun Imamat dan hampir memasuki usia 80 tahun, usia tertinggi manusia menurut Kitab Mazmur : delapan puluh jika kuat.
Interaksi saya dengan beliau pada awal-awal yakni kurun waktu 1994 – 2002 tidak terlalu intens. Masa itu adalah masa studi di seminari Tinggi/STFT. Perjumpaan dengan beliau sangat jarang. Namun dalam percakapan nama beliau sering sekali disebut. Saya baru sering berjumpa beliau sejak diangkat menjadi sekretaris Keuskupan Sibolga bulan Juli 2002. Ketika diangkat menjadi Sekretaris Keuskupan, di kuria keuskupan sudah ada Pst. Marinus Telaumbanua, OFMCap (alm) sebagai Vikjen dan P. Barnabas sebagai Ekonom merangkap Komisi Pembangunan Keuskupan. Di ekonomat – Bagian K dalam kode surat Keuskupan - beliau dibantu oleh Sr. Sesilia OSF dan beberapa pegawai.
Rapi Sederhana dan Teratur
Inilah kesan saya tentang Pst. Barnabas. Kerapian beliau dapat dilihat dalam seluruh aspek. Rambut selalu tersisir rapi dengan model yang nyaris tidak berubah. Dalam hal berpakaian pun beliau rapi, dengan pilihan warna yang selalu terlihat apik dan serasi. Sederhana dan elegan. Bagi saya ini bukan semata-mata karena keelokan lahiriah, beliau gagah secara fisik, tapi terlebih adalah pancaran dari keelokan batin . Pst. Barnabas tidak banyak bicara. Kesan pendiam akan langsung kelihatan bagi yang baru pertama bertemu beliau. Namun jika sudah mengenal lebih dekat akan terasa beliau adalah pribadi yang hangat. Tentang keteraturan, saya terkesan akan satu hal : beliau teratur menulis catatan harian. Seingat saya beliau menulis catatan harian dua kali sehari, pagi hari dan malam sebelum tidur. Menulis catatan harian secara teratur tentu menuntut disiplin tinggi. Selain itu ini juga menunjukkan kerendahan hati untuk ‘mendokumentasikan’ dan merekam peristiwa-peristiwa agar tidak berlalu begitu saja. Soal kedisiplinan Pst. Barnabas adalah teladan ‘par exelence” : masuk kapel untuk ibadat harian dan ekaristi, berangkat dan pulang kantor, hadir di meja makan, mengikuti rekreasi bersama.
Arsitek Multi Talenta
Salah satu yang paling dikenal dari Pst. Barnabas adalah kehandalannya dalam pembangunan. Ada banyak bangunan di wilayah Keskupan Sibolga karya Pst. Barnabas. Beliau tidak ‘menggambar’ secara utuh, namun dalam bentuk sketsa dengan coretan-coretan dan garis-garis sederhana. Bangunan-bangunan rancangan beliau mempunyai ciri khas: selaras alam – bangunan menyesuaikan dengan kontur dan struktur tanah, kokoh. Sehingga ketika gempa bumi Nias – 28 Maret 2005 – bangunan-bangunan karya tangan beliau tetap kokoh berdiri. Dalam salah satu acara jamuan makan malam di pendopo rumah dinas Bupati Nias di Gunungsitoli, Bapak Binahati Baeha, Bupati Nias waktu itu, menyampaikan bahwa rumah Dinas Bupati Nias pun hasil rancangan dan kerja pst. Barnabas. Yang istimewa, sudah membangun sesuai spek, Pst. Barnabas masih mengembalikan sisa dana yang jumlahnya belasan juta kepada pemerintah. Uang yang seharusnya menjadi hak beliau sebagai kontraktor yang membangun.
Selain arsitek brilian dalam hal bangunan fisik, Pst. Barnabas juga adalah seorang arsitek: konseptor dan perancang pastoral. Beliau berpikir dan menganjurkan cara-cara untuk menyediakan tenaga pastoral bagi keuskupan, baik tenaga pastoral tertahbis maupun tenaga pastoral awam. Semuanya dilakukan dengan tenang, tanpa riuh rendah. Tak berlebihan jika beliau disebut “Arsitek Multi Talenta”, dia merancang banyak hal!
Bencana dan Tahta Lowong
Bulan Februari 2004, Mgr. Anicetus resmi menjadi Uskup Coadjutor Keuskupan Agung Medan. Pst. Barnabas dalam rapat Dewan Imam yang dipimpin Pst. Mathias Kuppens, OSC – imam tertua dalam tahbisan yang menjadi anggota Dewan Imam Keuskupan Sibolga waktu itu – dipilih sebagai Administrator Diosesan. Sebuah pilihan – yang post factum – diakui tepat. Orang yang tepat pada tempat yang tepat di waktu yang tepat. Acara pelantikan dan perkenalan Administrator Diosesan diadakan dalam misa meriah di halaman SMP Fatima, Sibolga. Administrator Diosesan tentulah masa jabatan sementara. Hanya seberapa lama sementaranya tak seorang pun yang tahu. Karena sementara, hanya mengisi tahta lowong dan menanti uskup definitif, maka kewenangan Administrator Diosesan sangat terbatas. Pst Barnabas tidak canggung menjalankan tugas sebagai administrator diosesan. Beliau menguasai dengan baik apa yang harus dikerjakan. Lebih dari itu beliau punya kapasitas kepemimpinan. Setelah resmi menjadi Administrator Dosesan, beliau meminta saya untuk menjadi sekretaris. Saya menjadi sekretaris sampai bulan Agustus 2005 saat saya dipindah ke paroki St. Maria Bunda Para Bangsa, Gunungsitoli.
Akhir 2004 – 26 Desember 2004 – terjadi bencana tsunami di Aceh. Beberapa wilayah Keuskupan Sibolga, terutama Paroki Nias Barat, Alasa, Lahewa dan beberapa daerah lain terkena dampaknya. Perhatian pemerintah dan lembaga-lembaga internasional terfokus di Aceh. Keuskupan Sibolga, terutama Dekanat Nias, khususnya Paroki Nias Barat dan daerah terdampak lainnya harus bekerja keras. Tahap tanggap darurat dan pemulihan pasca banana tsunami dijalankan di bawah kepemimpinan Pst. Barnabas sebagai administrator.
Belum tuntas menangani dampak bencana tsunami, keuskupan Sibolga mengalami bencana dahsyat: Gempa Bumi Nias, Senin 28 Maret 2005. Gempa Bumi berkekuatan 8,7 SR memporakporandakan sebagian besar Pulau Nias. Saat gempa tejadi Pst. Barnabas sedang berada di Gunungsitoli, karena sebelumnya beliau merayakan Pekan Suci di sana. Beliau ikut menjadi korban. Tembok kamar tidur beliau roboh dan menimpanya. Beberapa jam beliau terkurung dalam reruntuhan. Pst. Barnabas berhasil dievakuasi setelah para pastor anggota komunitas st. Maria dan beberapa pastor yang kebetulan menginap di st. Maria ‘turun’ dari Biara Claris setelah sebelumnya masing-masing menyelamatkan diri menghindari tsunami. Setelah diperiksa ditemukan luka di kepala dan retak pada tulang kaki. Pada awalnya beliau berkeras untuk tetap tinggal di Gunungsitoli dan dirawat di sana. Namun karena situasi chaos dan sarana pengobatan terbatas akhirnya beliau dibawa ke Medan. Situasi benar-benar darurat: letak geografis sulit, ketersediaan sarana transportasi (kapal, mobil) sangat terbatas, sumberdaya manusia minim, dan kordinasi yang sulit. Itulah sekelumit kesulitan yang dirasakan di awal-awal bencana. Namun – Puji Tuhan – situasi chaotic perlahan-lahan bisa diatasi. Dalam hal kepemimpinan keuskupan, saat itu adalah masa “Tahta Lowong” (sede vacante). Ditambah lagi dengan cedera dan harus dirawatnya Administrator maka kepemimpinan Keuskupan Sibolga benar-benar lowong. Dalam situasi seperti itu Julius Kardinal Darmaatmaja – Uskup Agung Jakarta/Ketua KWI waktu itu – melalui sekretaris beliau Rm. Padmo menelpon saya sebagai sekretaris dan bertanya apa bantuan yang dibutuhkan. Secara khusus beliau bertanya siapa imam anggota konsultores yang bisa dihubungi dengan cepat sebagai rekan diskusi kalau ada hal-hal yang dibutuhkan. Setelah tahu bahwa sebagian besar anggota konsultores sulit dihubungi, Romo Padmo menyampaikan pesan, “..kalau ada hal yang sangat penting romo jangan segan-segan untuk menyampaikan ke Bapa Kardinal. Nanti beliau bisa membantu menginformasikan kepada para Uskup atau pihak lain terkait”. Saya menyampaikan ini ke Pst. Barnabas. Beliau tidak mau terlalu lama di RS Elisabeth. Setelah merasa agak baik, beliau kembali ke Sibolga. Dalam kondisi belum terlalu fit pasca cedera, beliau langsung memantau proses penanganan tanggap darurat. Gempa Nias menghancurkan secara fisik. Dampak lain yang tidak telalu diantisipasi adalah ‘gempa sosial’. Gempa sosial yang terjadi adalah mengalirnya jumlah bantuan ke Nias dan banyaknya Lembaga baik dalam negeri maupun luar negeri yang dating dan bekerja di Nias. Kehadiran lembaga-lembaga ini seperti dua sisi mata uang: mereka membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi di satu sisi. Di sisi lain mereka juga mengubah cara hidup dan gaya hidup masyarakat. Tentang ini para saudara pasti punya refleksi dan pengamatan masing-masing. Dalam situasi seperti itu Pst. Barnabas ‘membidani’ lahirnya Caritas Keuskupan Sibolga. Lembaga yang kemudian terlibat pada masa tanggap darurat dan penanganan pasca bencana sampai saat ini.
Sebagai Administrator Diosesan beliau berharap agar Keuskupan Sibolga segera mendapat uskup definitif. Saat beliau menjabat proses terna – tahapan memilih uskup baru – sudah berlangsung. Sampai akhir tahun 2006 belum juga ada pengumuman uskup baru. Bulan Desember 2006 dalam masa adven, Mgr. Leopoldo Girelli- Nuncio Apostolic – mengadakan kunjungan ‘incognito’ ke Nias. Kunjungan ini ‘tidak resmi’ karena dilangsungkan tanpa protokoler pemerintahan. Selain meninjau beberapa proyek pasca gempa, kesempatan ini juga dipakai untuk berbicara secara pribadi dengan Administrator dan beberapa pihak lain berkaitan dengan terna yang sedang berlangsung. Tiga bulan setelah kunjungan Nuntius, tanggal 14 Maret 2007 Vatican mengumumkan pengangkatan Pst. Ludovikus Simanullang, OFMCap sebagai Uskup Sibolga. Tanggal 20 Mei 2007 Pst. Ludovicus ditahbiskan sebagai Uskup di Lapangan Simaremare, Sibolga. Masa kepemimpinan Pst. Barnabas sebagai Administrator berlangsung kurang lebih dua tahun tiga bulan. Waktu yang tergolong singkat. Namun kurun waktu tersebut adalah masa yang tidak mudah terutama karena bencana beruntun yang terjadi. Beliau menunjukkan kualitas kepemimpinannya bisa memimpin melewati saat-saat penuh kesulitan itu. Tak banyak kata, tapi memberi contoh dengan keteladanan. Verba volant, exempla manent. Kata-kata berlalu, teladan akan tinggal tetap.
Nikon F55
Ketika akan pindah ke Gunungsitoli bulan Agustus 2005, saya menghadap beliau di ruang kerja. Saya bermaksud mengembalikan kamera Nikon F55 milik beliau yang sejak Desember 2004 saya pakai. Kamera itu saya pakai antara lain memotret beberapa moment pasca tsunami di Nias Barat dan Kondisi Nias pasca gempa 2005. Kamera Nikon ini tidak sering beliau pakai, karena Pst. Baenabas lebih suka memakai kamera sony digital yang lebih canggih, lebih kecil dan mudah dibawa bawa. Ketika menyampaikan maksud mengembalikan kamera, beliau dengan senyumnya yang khas – sedikit menedipkan mata – mengatakan ‘Hans pakai saja’. Kamera itu saya pakai dan simpan sampai sekarang, walaupun sudah sulit mendapatkan roll film. Kamera Nikon itu mengingatkan saya pada pemiliknya : seorang yang mempunyai memory fotografik dan pandangan yang jauh depan focus yang tepat.
Selamat ulang tahun emas imamat Pater. Ad multos annos. Tu es sacerdos in aeternam.
Pangkalpinang, April 2018
Hans K. Jeharut, Pr
*tulisan ini sudah dimuat dalam buku kenangan 50 Tahun Imamat Pst. Barnabas Winkler, OFMCap
[Siang ini saya dapat kabar kepergianmu. Selamat jalan Pastor. Terimakasih untuk kebaikanmu, untuk teladan hidupmu, untuk cintamu. Berbahagialah bersama Para Kudus di Surga. Sampai ketemu lagi...]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar