MANJAPH : Lelaki Petualang Hina..
Nama ini kedengaran aneh. Sekilas mengingatkan tipikal nama-nama Asia Selatan, seperti Rajabh, Najib atau yang mirip-mirip dengan itu. Tapi yang ini sama sekali tidak punya hubungan dengan mereka, entahlah nenek moyangnya di lapisan ke berapa. MANJAPH adalah akronim, nama aslinya Marusaha. Kepanjangannya Marusaha ANak JAlanan Petualang Hina. Saya bertemu dengannya sebagai remaja akhir belasan tahun, di suatu hari Rabu di tahun 1997. Hari ketika, kata Soe Hok Gie (Catatan Harian Seorang Demonstran): 'amarah mengeras seperti batu'. Tampangnya sangar. Tak banyak bicara, sangat hemat kata-kata. Sorot matanya yang sipit memendam amarah yang hebat. Jemarinya meremas kuat tiap kali menjabat.
Berjumpa Manjaph seperti berjumpa dengan kerasnya hidup, yang benturan-benturannya tergurat jelas dalam ekspresi. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya tersimpan kelembutan yang teramat sangat. Sosok sangar ini menjadi ayah dan ibu sekaligus abang bagi anak-anak kecil penyemir sepatu dan gelandangan, yang dengan berbagai alasan dalam keceriaan masa kanak-kanak telah terhempas di kerasnya kehidupan jalanan. Ia berumah di alam: beratap langit dan beralas tanah dengan angin sebagai dinding. Ia tak pernah mengeluh...Dinihari, ya benar-benar ketika pergantian hari baru dimulai-waktu sebagian kita masih tertidur nyenyak di kasur empuk, Manjaph telah bekerja. Membantu ibu-ibu penjual sayur membongkar sayur dari truk-truk untuk pagi-pagi siap dijual di pasar. Dari situ ia mendapat upah cukup untuk sarapan pagi harinya. Ketika matahari masih menyembul malu-malu ia sudah bersimbah keringat, membongkar dan menurunkan aneka jenis jualan, apa saja, yang membutuhkan tenaga manusia untuk diangkat. Pulang ke 'rumah' di kolong jembatan, mandi di sungai, berganti pakaian seragam dan berangkat ke sekolah setelah sarapan teh dan apa saja yang bisa dibeli 2000 perak.
Dari Manjaph aku belajar hidup tidak mengeluh, walau cukup alasan untuk marah. Belajar tetap tegar dalam himpitan kerasnya kehidupan..dari Manjaph saya belajar malu ketika dalam kemapanan tetap merasa tidak nyaman.
Manjaph kau benar bung: bukankah pada galibnya setiap insan adalah petualang hina, ahasveros yang mengiba-iba?? Bukankah hidup adalah persinggahan sementara? Bukankah ketika kita marah karena tidak punya sepatu, ada sesama yang masih bisa tersenyum penuh syukur padahal tidak punya kaki? Manjaph. di mana kau sekarang bung? aku rindu sapamu, juga marahmu terlebih ketika bilang, 'ta'i kucing semua bang'....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar