Saya tak ingat persis lagi hari dan tanggalnya. Yang pasti
itu suatu pagi, subuh malah. Beberapa hari sebelumnya saya dihubungi oleh satu
keluarga yang meminta kesediaan untuk memimpin Ibadat dan memberkati peletakan
batu pertama rumah mereka. Menurut kebiasaan itu harus dikerjakan sebelum fajar
menyingsing jam 04.30 WIB. Bagi yang pernah tinggal dan hidup di gugusan paling
barat pulau-pulau nusantara pasti bisa membayangkan betapa itu waktu yang
rawan. Sebagai gambaran pukul 06.00 WIB saja keadaan masih gelap. Maka jam
04.30 itu masih sangat gelap. Malam sebelumnya saya memberitahu Frater Nus –
waktu itu beliau sedang menjalani tahun orientasi pastoral -, “ade besok ada acara
peletakan batu pertama. Mereka minta pemberkatan, jadi kita mesti bangun pagi. Tolong
aktifkan alarm supaya tidak lewat”. “Teken ka’e!”. Jawaban itu sudah menandakan
kesiapsiagaan.
Paginya kami bangun tepat waktu. Perlengkapan sudah
disiapkan sebelumnya. Dan brmmmm... sepeda motor meninggalkan pastoran.
Sesampai di TKP keluarga yang punya hajatan sudah menunggu, tapi masih menanti
beberapa anggota keluarga lain. Saya memimpin ibadah dengan bantuan cahaya
senter dan lampu teras rumah tetangga. Ibadah berjalan aman, lancar, tertib dan
terkendali menurut definisi Jendral Wiranto – Panglima TNI masa lalu. Setelah
Ibadah kami masih diundang untuk duduk dan menikmati makanan. Mau dikategorikan
makan pagi masih terlalu subuh. Tapi tuan rumah menyediakan lengkap. Saya
memilih kopi dan kue. Lebih tepat untuk udara dingin dan waktu yang masih
seperti itu. Sedang asyik menikmati kopi saya mendengar bisik-bisik di
belakang. Lalu Fr. Nus mendekati saya dan berbisik, “ka’e tetangga sebelah ini
minta kalau boleh rumah mereka juga diberkati. Tetapi mereka protestan”. “oh
ya?? Boleh, kalau mereka mau”. Lalu kami berdua menuju ke rumah yang letaknya
di sebelah tempat peletakan batu pertama. Saya membuat ibadah singkat dan
memberkati rumah. Tuan rumah tampak sangat gembira dan berlang-ulang
mengucapkan terimakasih. Lalu, kami lanjut minum kopi. Hari beranjak terang.
Wajah-wajah yang tadi samar-samar kelihatan makin jelas. Dan di tengah
percakapan yang ceria pagi itu Fr. Nus mendekat dan menyampaikan kabar penting,
“KA’E BAJU KA’E TERBALIK!!”. Waduh rupanya karena terburu-buru, tak sempat
bercermin saya memakai baju terbalik. Fr. Nus mengambil inisiatif berpamitan
dengan alasan mau mempersiapkan diri untuk mengajar di sekolah. Kami melewati
fase krisis ini dengan elok. Kami pamit pulang membawa ole-ole dari tuan rumah
untuk rekan-rekan di pastoran. Begitu meninggalkan tempat kami ketawa berdua di
sepeda motor. Tragedi baju terbalik kami kenang sampai hari ini.
Hari ini, 28 Januari 2016, Fr. Nus – sekarang Romo Nus –
memperingati lima tahun imamat. Lustrum perdana. Tadi pagi saya mengucapkan
selamat di dinding facebooknya : “Selamat hut imamat aji (=adik). Saling
mendoakan”. Dibalas: “trimakasih kae (=abang). ‘tragedi baju terbalik’ adalah
salah satu pengalaman unik yang ikut berperan menghantar saya ke Imamat Kristus
ini.. hehehe”. Saya balas : “Nus dunia boleh jungkir balik anggo hita hot di Kristus, hot di
aturan (=kita tetap setia kepada Kristus, setia kepada aturan).
Memakai baju terbalik – walaupun tanpa disengaja – mungkin memalukan.
Bisa mendatangkan tawa, senyum cemooh atau dicap gila. Tetapi hidup mengajarkan
dunia juga butuh ‘orang-orang gila’, bukan dalam kategori kesehatan mental
tetapi orang-orang yang berani kokoh pada komitmen dan pilihan serta setia pada
hati nurani walaupun jatuh bangun.
TUHAN TIDAK MEMILIH ORANG-ORANG MAMPU, TETAPI DIA MEMAMPUKAN
ORANG-ORANG YANG DIPILIH.
Dari Meja yang jarang rapi..
Selamat HUT ke V Tahbisan : Nus, Barto, Kondar, Morgan dan
Tola
Kamis, 28.01.2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar