Rabu, 27 Januari 2016

IMAMAT DAN BAJU TERBALIK


Saya tak ingat persis lagi hari dan tanggalnya. Yang pasti itu suatu pagi, subuh malah. Beberapa hari sebelumnya saya dihubungi oleh satu keluarga yang meminta kesediaan untuk memimpin Ibadat dan memberkati peletakan batu pertama rumah mereka. Menurut kebiasaan itu harus dikerjakan sebelum fajar menyingsing jam 04.30 WIB. Bagi yang pernah tinggal dan hidup di gugusan paling barat pulau-pulau nusantara pasti bisa membayangkan betapa itu waktu yang rawan. Sebagai gambaran pukul 06.00 WIB saja keadaan masih gelap. Maka jam 04.30 itu masih sangat gelap. Malam sebelumnya saya memberitahu Frater Nus – waktu itu beliau sedang menjalani tahun orientasi pastoral -, “ade besok ada acara peletakan batu pertama. Mereka minta pemberkatan, jadi kita mesti bangun pagi. Tolong aktifkan alarm supaya tidak lewat”. “Teken ka’e!”. Jawaban itu sudah menandakan kesiapsiagaan.

Paginya kami bangun tepat waktu. Perlengkapan sudah disiapkan sebelumnya. Dan brmmmm... sepeda motor meninggalkan pastoran. Sesampai di TKP keluarga yang punya hajatan sudah menunggu, tapi masih menanti beberapa anggota keluarga lain. Saya memimpin ibadah dengan bantuan cahaya senter dan lampu teras rumah tetangga. Ibadah berjalan aman, lancar, tertib dan terkendali menurut definisi Jendral Wiranto – Panglima TNI masa lalu. Setelah Ibadah kami masih diundang untuk duduk dan menikmati makanan. Mau dikategorikan makan pagi masih terlalu subuh. Tapi tuan rumah menyediakan lengkap. Saya memilih kopi dan kue. Lebih tepat untuk udara dingin dan waktu yang masih seperti itu. Sedang asyik menikmati kopi saya mendengar bisik-bisik di belakang. Lalu Fr. Nus mendekati saya dan berbisik, “ka’e tetangga sebelah ini minta kalau boleh rumah mereka juga diberkati. Tetapi mereka protestan”. “oh ya?? Boleh, kalau mereka mau”. Lalu kami berdua menuju ke rumah yang letaknya di sebelah tempat peletakan batu pertama. Saya membuat ibadah singkat dan memberkati rumah. Tuan rumah tampak sangat gembira dan berlang-ulang mengucapkan terimakasih. Lalu, kami lanjut minum kopi. Hari beranjak terang. Wajah-wajah yang tadi samar-samar kelihatan makin jelas. Dan di tengah percakapan yang ceria pagi itu Fr. Nus mendekat dan menyampaikan kabar penting, “KA’E BAJU KA’E TERBALIK!!”. Waduh rupanya karena terburu-buru, tak sempat bercermin saya memakai baju terbalik. Fr. Nus mengambil inisiatif berpamitan dengan alasan mau mempersiapkan diri untuk mengajar di sekolah. Kami melewati fase krisis ini dengan elok. Kami pamit pulang membawa ole-ole dari tuan rumah untuk rekan-rekan di pastoran. Begitu meninggalkan tempat kami ketawa berdua di sepeda motor. Tragedi baju terbalik kami kenang sampai hari ini.

Hari ini, 28 Januari 2016, Fr. Nus – sekarang Romo Nus – memperingati lima tahun imamat. Lustrum perdana. Tadi pagi saya mengucapkan selamat di dinding facebooknya : “Selamat hut imamat aji (=adik). Saling mendoakan”. Dibalas: “trimakasih kae (=abang). ‘tragedi baju terbalik’ adalah salah satu pengalaman unik yang ikut berperan menghantar saya ke Imamat Kristus ini.. hehehe”. Saya balas : “Nus dunia boleh jungkir balik anggo hita hot di Kristus, hot di aturan (=kita tetap setia kepada Kristus, setia kepada aturan).

Memakai baju terbalik – walaupun tanpa disengaja – mungkin memalukan. Bisa mendatangkan tawa, senyum cemooh atau dicap gila. Tetapi hidup mengajarkan dunia juga butuh ‘orang-orang gila’, bukan dalam kategori kesehatan mental tetapi orang-orang yang berani kokoh pada komitmen dan pilihan serta setia pada hati nurani walaupun jatuh bangun.
TUHAN TIDAK MEMILIH ORANG-ORANG MAMPU, TETAPI DIA MEMAMPUKAN ORANG-ORANG YANG DIPILIH.

Dari Meja yang jarang rapi..
Selamat HUT ke V Tahbisan : Nus, Barto, Kondar, Morgan dan Tola

Kamis, 28.01.2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...