Sabtu, 02 Juli 2016

BOLA DAN GENERASI EMAS

To be a footballer means being a privileged interpreter of the feelings and dreams of thousands of people’, Cesar Luiz Menotti 
Perempatfinal Euro 2016 telah menyelesaikan dua pertandingan. Portugal sesudah menyelesaikan seratus duapuluh menit dengan skor 1 - 1 harus melalui adu penalti. Polandia, lawannya di perempat final, yang sebelumnya menang adu penalti atas Swiss di perdelapan final kali ini harus menerima kenyataan pahit, kalah. Demikianlah pameo ‘bola itu bundar’ sekali lagi terbukti. Portugal – dengan Ronaldo sebagai pusat perhatian – yang berkali-kali menjadi top skorer di liga dan mandul di kompetisi Piala Eropa ternyata punya catatan unik. Menjalani lima laga sampai perempat final dan kelima-limanya berakhir seri di waktu normal maupun perpanjangan waktu. Artinya, Portugal ‘tak pernah menang’ dalam waktu normal. Namun kita tahu mereka akhirnya lolos ke semi final. Selain para penendang penalti, kredit tersendiri harus diberikan kepada Sanchez, anak muda delapan belas tahun yang mencetak gol balasan Portugal. Melihatnya bermain mengingatkan kita pada Edgar Davids atau Clarence Seedorf – dua punggawa timnas Belanda – pada masa jayanya. Gesit, lincah dan tanpa takut. Portugal beruntung? Itulah sepakbola.

Pertandingan lain yang sukses menjungkirbalikkan prediksi para pengamat adalah laga Belgia vs Wales. Belgia peringkat dua FIFA di bawah Argentina, dengan deretan pemain yang tampil gemilang di kompetisi liga negara-negara Eropa datang dengan status calon kuat juara. Kalah 0 – 2 di fase penyisihan grup dari Itali dianggap terjadi karena faktor non teknis, demam panggung. Lolos ke perempat final dianggap keniscayaan dan prediksi pengamat memperkirakan mereka akan sampai ke final dan mengangkat tropi juara. Dan Wales? Bisa menjejakkan kaki di perempat final sudah seperti ‘mahkota juara’ bagi mereka. Induk organisasi sepakbola Wales menggelontorkan bonus besar bagi pemain-pemainnya yang berhasil membawa negaranya masuk jajaran delapan besar Eropa. Gareth Balle, pemain sayap yang terkenal karena kecepatan larinya, berhasil mendongkrak kepercayaan diri rekan-rekannya dan berhasil menundukkan Belgia 3 – 1, setelah lebih dulu tertinggal 1 – 0 dalam pertarungan Sembilan puluh menit. Wales bersorak sorai dan Belgia mencucurkan air mata. Deretan bintang dan status sebagai peringkat dua FIFA tak berarti banyak. Berbeda dengan tim-tim lain yang kalah, kekalahan Belgia mendatangkan sorotan paling banyak kepada Marc Wilmots, sang pelatih. Wilmots dianggap gagal mengoptimalkan talenta emas Belgia. Generasi Emas menjadi Generasi Cemas. Curtois – penjaga gawang Belgia yang bermain di Chelsea -tak bisa menyembunyikan kegeramannya terhadap Wilmots yang dianggapnya salah menerapkan strategi. Eden Hazard, bintang muda Belgia lainnya, lebih optimis. “Kami masih muda, masih panjang masa depan yang akan kami jalani”, ujar Hazard. . Ini pelajaran lain dari sepakbola. Yang bergelimang bintang, belum tentu yang akan jadi pemenang. Lebih getir lagi, sederetan pemain bintang di tangan manajer pelatih yang ‘biasa-biasa saja’ hanya akan menjadi parade tanpa prestasi.

Portugal yang beruntung dan Belgia yang malang. Dua negara ini masing-masing punya kisah menarik seputar pemain bintang yang disebut “Generasi Emas”. Portugal pernah memiliki gernenrasi emas yang yang menjadi Juara Piala Dunia U-20 tahun 1989 dan 1991. Generasi itu dianggap mencapai kematangan di Piala Dunia Perancis tahun 1998. Apa yang terjadi? Kilau emas U-20 ternyata tak berlanjut sampai Piala Dunia. Beberapa punggawanya kemudian malang melintang di liga-liga Eropa dan menyumbang andil besar bagi kesuksesan klub, tapi bukan negara. Luiz Figo , Manuel Rui Costa, Nuno Gomez adalah nama-nama yang mewakili Generasi Emas Portugal. Saat ini timnas Portugal bukan generasi emas. Tapi mereka punya anak emas, Ronaldo. Belgia sebaliknya. Mereka lolos ke Piala Eropa 2016 dengan pemain-pemain bintang yang disebut Generasi Emas. Kemenangan-kemenangan di babak kualifikasi, minus noda kekalahan di laga awal kontra Italia, meyakinkan publik akan lahirnya calon juara baru Eropa. Curtois, Vermalen, Company, Lukaku, Raja Nainggolan, De Bruyne, Eden Hazard adalah sederetan pemain yang menjanjikan prestasi. Apa daya langkah mereka terhenti di perempat final. Pupus sudah harapan menyaksikan awal prestasi generasi emas. Kita mungkin harus menunggu dua tahun lagi di Rusia.Pelajaran penting yang bisa kita petik adalah talenta-talenta hebat harus ditangani juga oleh orang-orang hebat. Dalam kompetisi singkat seperti perhelatan Piala Eropa, di mana setiap tim paling banyak memainkan enam pertandingan sebelum final, mental dan konsentrasi tinggi dibutuhkan. Di luar itu kemampuan melecut motivasi dan tentu saja dewi fortuna.

Dua pertandingan lain di depan mata adalah final kepagian Italia vs Jerman dan tuan rumah Perancis melawan tim penuh kejutan Islandia. Jerman dengan sekumpulan pemain muda dan kepercayaan diri tinggi selepas menjadi juara dunia 2014 akan melawan Italia yang sampai sejauh ini tampil konsisten dan sudah mengalahkan dua tim kuat Belgia dan Spanyol. Semoga Jerman bisa keluar dari kutukan, Perancis kita harapkan tidak mengulang kesalahan Inggris. Selama bola bundar, segalanya masih mungkin terjadi. “To be a footballer means being a privileged interpreter of the feelings and dreams of thousands of people’, kata Cesar Luiz Menotti – Pelatih legendaris Argentina, Semoga mimpi Anda dimengerti para pemain bintang pujaan Anda.


Sambil Ngopi Sore,02072016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

π‘π”πŒπ€π‡ 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, ππ”πŠπ€π π‘π”πŒπ€π‡ πƒπ”πŠπ€

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...