Spanyol dan Inggris, dua negara dengan liga sepakbola yang disebut terbaik di dunia, harus angkat koper lebih awal dan gagal ke perempat final. Spanyol menyerah 0 - 2 dari Italia. Inggris tunduk 1 - 2 dari negara yang masuk kasta rendah di kancah sepakbola Eropa, Islandia.
Tikitaka Spanyol dengan Iniesta dan David Silva sebagai dirigen dibuat majal oleh pertahanan berlapis Italia di bawah komando Buffon dan trio "BBC" milik Juventus. Kehebatan dan ketenaran La Liga menyisakan ruang menganga : Spanyol tak punya predator di kotak penalti. Striker hebat di la liga bukan punggawa timnas Spanyol. Absennya Diego Costa dan Fernando Torres membuat Morrata kelihatan tak ada apa-apanya berhadapan dengan tembok pertahanan Italia yang dikawal empat rekan setimnya di Juventus. Duapuluh dua tahun tak pernah menang di kompetisi resmi, semalam Italia menuntaskan dendamnya atas Spanyol. Sepakbola pada akhirnya cerita yang menang. Yang indah untuk di kenang. Pemenanglah yang dipuja.
Inggris - dengan pelatih yang mendapat bayaran termahal dan liga yang musim depan menghadirkan hampir semua pelatih hebat dunia seperti Guardiola di Mancester City, Mourinho di MU, Conte di Chelsea, Klopp di Liverpol dan Ranieri yang masih bertahan di Leicester - harus menerima kenyataan sebagai timnas minim prestasi. Permainannya sama sekali tak menghibur. Untunglah kita masih terhibur dengan penampilan cantik nan modis dari para istri dan kekasih (WAGs) para pemainnya. Tak lebih dari itu. Negara yang jadi asal usul sepakbola modern tunduk pada tim nasional negara yang lebih terkenal dengan ski es dan liputan liga domestiknya nyaris tak terdengar serta hanya berpenduduk 330 ribu jiwa. Islandia bahkan baru pertamakali lolos ke putaran final Piala Eropa. Tragis.
Sepakbola punya magis dan misterinya sendiri. Ia menarik karena prediksi bukanlah dogma. Analisis komentator bukan keniscayaan. Sepakbola adalah sepakbola, tempat di mana dominasi modal bisa kalah melawan kolektivitas. Keindahan runtuh melawan kedisiplinan dan konsistensi. Nama besar tak berdaya melawan daya juang.
Sepakbola itu cermin. Miniatur dari kehidupan yang di beberapa titik pencapaiannya memperlihatkan dengan gamblang : tragedi, komedi, kalah, menang, jatuh, bangun, tawa, tangis, senyum, air mata. Itulah bola. Itulah hidup. Setelah sembilan puluh menit atau seratus dua puluh menit atau setelah adu penalti terjadi kita melihat glori dan tragedi tipisnya seperti titian serambut dibelah tujuh. Wajah sedih Ronaldo memeluk Modric yang matanya berkaca-kaca setelah Kroasia kalah oleh gol Qusresma menit 117, tiga menit sebelum pluit panjang, jadi saksi. Setelah usai hidup terus bergulir. Menang kalah itu biasa, besok bola punya cerita lain lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar