Jumat, 29 Juni 2018

MESSI

Eva Maria Ibarguren lahir 7 Mei 1919 di Los Toldos, Buenos Aires Argentina. Masa hidupnya pendek. Ia meninggal di usia 33 tahun, 27 Juni 1952. Eva menjalani masa kecil yang muram. Sejak kecil dia hidup dengan ibu dan saudaranya. Di usia remaja Eva muda mencoba keberuntungannya di bidang seni. Kelak di kemudian hari publik mengenalnya sebagai artis.

Tahun 1944 Eva bertemu Juan Peron - politisi muda  Argentina yang sedang populer - di acara malam amal untuk korban gempa. Mereka menikah setahun kemudian, 18 Oktober 1945. Ia kemudian lebih dikenal sebagai Eva (Evita) Peron. Tahun 1946 Juan Peron menjadi presiden Argentina. Eva menjadi first lady. Hanya enam tahun Eva mendampingi suaminya sebagai Ibu Negara. Ia meninggal karena kanker 1952. Kehidupan bak telenovela dan popularitas tak lekang oleh waktu. Ia tetap dikenang dan menjadi simbol perjuangan bahkan jauh setelah kematiannya. Publik Argentina menyebutnya "Cinderella Tango".

Pada 12 November 1976 sebuah lagu dirilis untuk mengenang Eva Peron. Lagu yang ditulis Andrew Lloyd Weber dan Tim Rice diberi judul "Don't Cry For Me Argentina". Puluhan tahun sesudahnya Madonna mempopulerkan lagi lagu ini.
Liriknya sbb :

Don’t cry for me
Don’t cry for me
Don’t look at me like that
With that face that lost its meaning

Don’t love me
It’s too late
Don’t anxiously wait for me
Because love is over

Why did you just let me leave?
If I knew I would regret like this
I wouldn’t have wandered in painful heartache
There is no love remaining in me now
I can’t feel anything
Like you, who let me go with a smile

Why did you just let me leave?
If I knew I would regret like this
I wouldn’t have wandered in painful heartache
There is no love remaining in me now
I can’t feel anything
Like you, who let me go with a smile

Lagu ini brkisah tentang Eva yang di penghujung hidupnya yang pendek berjuang melawan kanker yang kemudian merenggut hidupnya.

Leo Messi bukan Eva Peron. Namun di beberapa titik mereka punya kesamaaan.  Messi lahir di Rosario, Santa Fe 24 Juni 1987. Ia tumbuh bersama kedua kakak laki-laki Rodrigo dan Mati­as serta seorang adik perempuan, Maria Sol. Ia anak laki-laki ketiga Jorge Horacio Messi dan Celia Maria. Ayahnya buruh pabrik baja. Sementara ibunya seorang ibu rumah tangga. Karena posturnya yang kecil, Rodrigo - kakaknya- memberinya julukan si kutu.

Pada usia yang masih sangat belia , 5 tahun, Messi sudah akrab dengan si kulit bundar.  Messi kecil bermain untuk sebuah klub bola asuhan ayahnya, Grandiola. Tiga tahun bermain dengan skuad Grandiola, Messi memutuskan pindah ke Newell's Old Boys di usianya yang ke-8.

Malang tak dapat ditolak, di usia ke-11 Messi didiagnosa mengalami kekurangan hormon. Keuangan keluarga yang buruk membuat orangtua Messi tidak bisa membayar biaya keperluan terapi hormon sebesar 500 ribu poundsterling setiap bulan. Untuk itu sang ayah mencari klub sepakbola yang dapat membiayai pengobatan putranya. Jorge bertemu Carles Rexach, Direktur klub sepak bola Barcelona (1996). Perjumpaan yang mengubah hidup dan masa depan Leo kecil.

Bermain bola sambil menjalani terapi hormon untuk pertumbuhan membuat Messi akrab dengan rasa sakit. Ia sanggup menahan rasa sakit dan menggantinya dengan aksi gemilang. Ia menjelma menjadi El Messiah, sang penyelamat. Asa tinggi selalu disematkan tiap kali ia tampil, entah di klub maupun di tim nasional.

Seperti tadi malam. Asa Argentina dan jutaan penggemar juga membubung tinggi. Kegagalan eksekusi penalti jadi aib yang sulit diterima. Raut muka kecewa Messi seperti berkata "don't look at me like that"...

"Kami tidak kehilangan harapan meski mendapat hasil seri, kami masih memiliki tekad yang sama. Saya pikir kami pantas mendapat kemenangan. Kami bekerja keras berusaha menemukan celah di pertahanan Islandia, namun kami tak mampu melakukannya", ucapnya lirih.

Jalan masih panjang. Masih ada dua laga di fase grup. Tugas Messi mengubah air mata kecewa menjadi tawa bahagia. "don't cry for me argentina".

MASCHERANO

#catatanbola270618

Akhirnya Messi mencetak gol perdananya di Piala Dunia 2018. Bermain dengan pola 4 - 3 - 3, Messi beroperasi lebih banyak di kanan. Di kiri ada di Maria dan Hiquain di tengah. Formasi menyerang ini efektif, meskipun daya jelajah Messi menjadi tidak optimal. Statistik mencatat wilayah jelajahnya hanya sekitar 8 km selama dua babak permainan. Gol juga tercipta hasil umpan diagonal jarak jauh. Gol ini bagaimanapun menjadi 'surat pemulihan nama baik Messi' pasca kegagalan penalti melawan Islandia. Lalu Marcos Rojo. Dialah "messias" yang membawa Argentina keluar dari kegelapan maut dan lolos ke 16 besar. Kesabaran para pemain Argentina menghadapi pemain-pemain belakang Nigeria yang unggul postur dan bermain disiplin berbuah hasil. Tendangan first time Rojo membuat seluruh stadion bergemuruh. Maradona mengusap matanya yang berkaca-kaca. Zanetti di tribun VIP sumringah. Sampaoli yang kegirangan seperti bocah mendapat hadiah dan tentu jutaan pendukung di seluruh dunia yang berharap Finalis PD 2014 ini lolos dari lubang jarum.

Tetapi bukan Messi, bukan Rojo yang menarik perhatian saya. Pemain yang layak mendapat pujian khusus adalah MASCHERANO. Bermain sebagai poros halang (breaker) - posisi yang sama seperti di klubnya Barcelona - Mascherano bertarung gagah berani di sepertiga wilayah lapangan. Argentina saat ini tidak memiliki bek tangguh seperti Roberto Ayala, Walter Samuel atau Zanetti. Bertolak belakang dengan stok pemain depan berlimpah yang mereka punya. Pemain bernomor punggung 14 ini 'mengisi' ruang kosong itu. Dengan darah yang mengucur bercampur keringat Mascherano bertarung gagah. Pelanggarannya di kotak penalti membuat Nigeria menyamakan kedudukan lewat eksekusi Moses. Tapi hasil akhir kita tahu Argentina menang 2 - 1. Kejutan Nigeria berakhir di sini. Duo 'nabi' : Musa dan Mosses tak bisa menghantar Nigeria ke Tanah Terjanji.

Di wajah Mascherano yang berdarah, kita membenarkan kata-kata ini, "siapa menabur dengan bercucuran air mata, keringat dan darah akan menuai dengan sorak sorai".

Sepakbola masih menyimpan banyak kejutan, drama dan air mata. Namun ia juga menyajikan cerita : hasil tak pernah mengkhianati usaha. Dewi Fortuna?? itu juga, selalu jadi bagian dari kisah.

Kamis, 28 Juni 2018

TITE & HOMO LUDENS

#catatansepakbola

Walau tidak meyakinkan di awal karena kalah 0 - 1 dari Mexico, Jerman oleh banyak pengamat diprediksi akan lolos dari penyisihan grup. Keyakinan itu dipertebal setelah kemenangan dramatis atas 2 - 1 atas Swedia. Julukan sebagai tim   Diesel - yang lambat panas - dan tim 'Spesialis Turnamen' semakin terbukti. Mengantongi tiga poin, hasil sekali kalah dan sekali menang, membuat Jerman masih berpeluang lolos asalkan bisa meraih poin penuh di laga terakhir. Langkah itu, lagi-lagi diprediksi, bakal mudah. Sebabnya, lawan terakhir adalah Korea Selatan. Wakil Asia ini sudah pasti tersingkir. Juara Dunia 2014 vs tim Asia yang sudah masuk kotak. Dua kekuatan yang tidak imbang. Jerman selanjutnya akan menghadapi Brazil yang diperkirakan menjuarai grup E. Grup F sendiri - tempat Jerman berada - akan dipimpin Mexico yang sudah memiliki poin enam dan hanya butuh hasil seri. Swedia?? Tak banyak yang mengunggulkan. Namun fakta di lapangan menampilkan lain. Jerman yang biasa tampil dengan spirit luar biasa, determinasi tinggi dan mental kokoh tumbang di kaki Korea Selatan 0 - 2. Nyaris tak ada yang tersisa dari kedigdayaan sebagai Juara Bertahan. Bahkan Neuer sukses memperlihatkan aksi badut terbaik di piala dunia kali ini : naik jauh meninggalkan gawang kosong yang membuat Korsel dengan mudah mencetak gol kedua. Kemalangan yang terasa menyesakkan karena pada saat yang sama Swedia justru mengalahkan Mexico 3 - 0. Seandainya Jerman menang, Mexicolah yang menangis! Tapi 'seandainya' sejatinya tak pernah ada. Seandainya hanya ada dalam kamus imajinatif para pendukung yang tak bisa menerima jagoannya kalah. Der Panzer hancur dilumat Laskar Taeguk. Di layar kaca, kristal air mata wanita pendukung Jerman mengalir dan meluruhkan gambar bendera Jerman di pipinya. Luruh juga asa untuk juara. Jerman menambah deret panjang para mantan juara dunia yang selalu kandas di fase grup justru ketika datang sebagai juara bertahan. Perancis, Italia, Spanyol pernah merasakan kepedihan yang sama.

Dan Brazil?? Ini jagoan saya : dalam suka dan duka. Dalam untung dan malang.
Pupus sudah harapan melihat Brazil vs Jerman di 16 Besar. Jika terjadi ini kesempatan yang baik membalas kekalahan telak di Semifinal PD Brazil 2014. Dinihari tadi dua gol - satu dari sundulan Thiago Silva, satunya sontekan Paulinho - sukses mengirim Serbia pulang kampung. Sosok penting di tim Brazil bukan Neymar. Bukan Gabriel Jesus. Bukan deretan bintangnya yang merumput di klub-klub elit Eropa. Tokoh kunci itu adalah Tite.

Piala Dunia Afrika Selatan 2010. Brazil hancur lebur. Di tangan Dunga - mantan Kapten yang mengangkat trophy di Amerika 1994 - Brazil tampil sebagai tim yang mengutamakan hasil akhir. Dunga membangun timnya dengan pemain-pemain berkarakter keras. Keindahan disingkirkan demi hasil akhir. Semangat yang jauh dari filosofi "jogo bonito" khas Brazil. Gaya ini diolok-olok sebagai "dungaisasi"!. Pulang dari Afrika Brazil memanggil lagi Felipe Scolari, pelatih yang membawa Brazil Juara di Korea dan Jepang 2002. Misi yang diemban Scolari tidak ringan : menjadi juara di negara sendiri 2014. Brazil akan jadi tuan rumah dan ini kesempatan meraih "BINTANG ENAM". Dengan stok pemain hebat berlimpah, bermain di hadapan publik sendiri, ditangani pelatih sukses Brazil mau mencetak sejarah. Apa lacur. Bukan hanya gagal juara. Brazil takluk 1 - 7 melawan Jerman di Semi Final. Kekalahan terbesar Brazil di laga Internasional. Lebih pedih dari kekalahan 0 - 3 dari Perancis di Final 1998. Menyakitkan karena itu terjadi di depan mata pendukungnya, di tengah harapan yang membubung tinggi menjadi juara dunia enam kali. Brazil terpuruk, seterpuruk ekonomi dalam negerinya yang waktu itu sedang dilanda krisis moneter. Musnah sudah harapan. Sirna pula impian. Sempat memberi asa sedikit di Copa Amerika tahun berikutnya, tapi publik bola Brazil sudah telanjur kecewa. Medali Emas Sepakbola di  Olimpiade Rio 2016 tak bisa mengobati kekecewaan ini.

Adenor Leonardo Bacchi nama lengkap pelatih yang akrab dipanggil Tite dipanggil CBF - Federasi Sepakbola Brazil - pada satu hari di bulan Juni 2016. Saat itu Brazil sedang di titik nadir : baru sekali menang dari enam laga di kualifikasi Zona Amerika Selatan. Hasil itu membuatnya terpental dari lima besar - kuota Amerika Selatan ke Piala Dunia!. Tite memulai tugasnya bukan dengan evaluasi teknis. Ia berbicara dengan para pemain bintangnya satu persatu. Ia tahu Brazil tidak pernah punya problem teknis. Lawan mereka adalah diri mereka sendiri. Laga pertamanya baru dilakoni tiga bulan kemudian. Sukses. Brazil menang 3 - 0 melawan Ekuador. Mereka menemukan kembali spirit bola Brazil "jogo bonito". Bermain Indah. Iya : bermain! Bukan sekedar bertanding. Memainkan bola dengan indah dan menghibur. Di tangan Tite - sebelum Russia 2018 - catatan Brazil mentereng : memainkan 22 laga, Menang 17 kali, 4 hasil seri dan hanya 1 kali kalah. Memasukan 48 gol, kemasukan hanya 6 gol dengan 16 partai 'clean sheet'. Tite sukses mengantar Brazil sebagai tim pertama di luar tuan rumah yang lolos ke Russia. "Tite Orang Paling Penting di tim Brazil", kata Mario Zagalo pelatih legendaris yang mengantar Brazil jadi Juara Dunia 1970 dan membantu Carlos Parreira ketika Brazil juara di 1995. Brazil kini disebut-sebut memiliki tim terbaik, menyamai Tim Samba 1970 era Pele dkk dan Brazil 1982 Zico 'Pele Putih' dan kawan kawan. Di kaki Neymar, dkk Sepakbola kembali menjadi "PERMAINAN". Hasil akhir penting, tapi keindahan dan proses meraihnya juga jangan diabaikan.

Di babak 16 besar Brazil akan bertemu Mexico. Kita berharap masih bisa menikmati 'permainan' sepakbola yang indah dan menghibur. Di tengah kritik - pujian dan celaan - pertandingan yang semakin bergantung pada kecanggihan teknologi seperti VAR - yang jadi "Maha Penentu' - kita masih berharap menikmati keceriaan bermain, apalagi dari laga kelas dunia seperti 'World Cup'. Sepak Bola mesti bisa menghibur. Salah satunya dengan mengembalikan lagi keceriaan bermain. Brazil sedang menunjukkannya. Sepakbola tidak melulu soal kalah menang. Ia representasi dari salah satu ciri manusia : Homo Ludens, makluk bermain.

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...