Minggu, 12 Agustus 2018

Catatan Menjelang Pilpres 2019

[2] PLAY MAKER

Ketika Prabowo Subianto – Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra – bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyo di kediaman SBY, harapan bakal lahirnya koalisi dua partai dengan dua purnawirawan di pucuk pimpinan sepertinya bakal berjalan mulus. Keyakinan ini diperkuat dengan pernyataan keduanya pasca pertemuan. Pengurus kedua partai dalam talkshow di televisi juga meyakinkan publik bahwa Demokrat dan Gerindra akan berkoalisi.

Pasca pertemuan keduanya, saya menulis di lini masa saya tentang ‘koalisi calon presiden’. Analogi yang saya pakai adalah sepak bola. SBY dan PS – jika posisinya dianalogikan dengan posisi pesepakbola – adalah “play maker” (pengatur permainan). Posisi ini sangat sentral dalam permainan sepakbola. Biasanya dimainkan oleh “Pemain Nomor 10”. Seorang ‘play maker’ yang baik adalah pemimpin di lapangan. Ia dirigen di lapangan. Cepat lambatnya tempo, dia yang atur. Maka, begitu keduanya – dalam pernyataan pers – sepakat untuk berkoalisi, saya langsung membayangkan bahwa dalam tim ini akan ada ‘double play maker’ : satu kesebelasan dengan dua pengatur permainan. Bermain dengan double play maker pun sebenarnya bukan hal yang aneh. Barcelona – salah satu klub yang mengoleksi banyak gelar juara di kompetisi domestik maupun Internasional – selama hampir satu dekade bermain dengan cara itu. Andreas Iniesta dan Xavi Hernandes adalah dua nama yang mengemuka sebagai ‘duo play maker’. Barcelona bermain apik, memesona dengan tingkat penguasaan bola yang tinggi. Filosofinya : tim yang paling banyak dan dominan dalam penguasaan bola akan memenangi pertandingan. Keduanya bermain apik dengan pembagian tugas yang jelas. Kehilangan salah satu berpengaruh pada kinerja tim secara umum. Contoh lain, Andreas Pirlo (Bintang AC Milan – Juventus dan Tim Nasional Italia). Pirlo memainkan sesuatu yang agak baru : Deep Play Maker. Pengatur permainan dengan posisi bermain yang ‘lebih dalam’. Di lapangan itu berarti sedikit berada di atas garis pertahanan. Jadi ada dua pengatur, satunya bermain lebih ke luar, lapangan tengah di belakang para penyerang. Jadi ada yang mengatur di garis depan, ada yang mengatur di garis belakang.

Rupanya koalisi dua tokoh dan dua apalagi beberapa partai politik tidaklah mudah. Rangkaian pertemuan dan pernyataan pers yang disorot kamera televisi dan ramainya komentar di media sosial ternyata tidak serta merta menunjukkan bahwa fakta lapangannya mulus. Dua ‘jendral’ yang bertemu pada kemudian hari harus menerima julukan, satu ‘jendral kardus’, satu ‘jendral baper’. Saling serang antar kedua kubu ramai di media massa. Akhir kisahnya kita tahu. Saya hanya mau mengulang ‘dua play maker’ dalam satu tim jika tidak ada saling pengertian, kesediaan untuk berbagi peran, tau kapan aktif menyerang dan bertahan, akan kacau. Pengatur permainanan mesti punya kualifikasi memimpin, mampu mengorganisir tim, tidak egois, dan biasanya seorang assistant yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...