Ahau bukan Katolik. Ayah ibunya juga bukan Katolik. Dia hanya suka ke Gereja. Sejak bulan oktober lalu dia rajin ke Gereja. Tiap hari minggu. Bukan karena Ahau peduli agama. Ia ingin bermain. Dan kawan bermainnya banyak di Gereja. Jadilah Ahau ke Gereja. Senang aja, katanya. Banyak kawan dan bisa bermain. Dan gambar yang dia titip : bukan gambar orang suci. Gambar ‘frozen’ – pink. Itu meja belajar hadiah katanya. Mau dia bawa pulang. Ahau ikut di mobil, sepedanya dibawa temannya. Di perjalanan – di dalam mobil – kami bercerita. Bukan tentang Tuhan. Tapi tentang berburu tupai. Romo jangan buru-buru kalau berburu tupai. Harus sabar. Tupai bisa bersembunyi dengan cepat di antara dahan-dahan sawit. Kalau tak dapat ya besok datang lagi.
Ahau juga bercerita tentang ayam. Tentang ayahnya yang hoby sabung ayam. Juga tetangga-tetangganya yang pagi-pagi sudah bangun untuk sabung ayam. Minggu lalu ayam jago ayahnya kalah. Kalah lawan ayam milik tetangga Komarudin. Tapi ayam ayahnya pernah menang juga. Ya kalau sabung ayam begitulah : kadang menang, kadang kalah. Kalau mau sabung ayam romo mesti hati-hati. Siapa tau ada polisi. Waktu itu di sini banyak yang ditangkap. Papaku tidak ikut ditangkap tapi uangnya hilang seratus ribu.. Dan selanjutnya tentang Komarudin. Komarudin teman sekelasnya di sekolah. Orang Madura. Gara-gara Komarudin kami tak jadi juara, ceritanya semangat. Bulan kemarin mereka mewakili sekolah mengikuti lomba menari. Guru – sekaligus koreografer – memilih Ahau dan Komarudin. Mereka membawakan tari “Berburu Tupai”, mugkin karena tak perlu repot lagi menjelaskan konsep. Ahau dan Komarudin sering berburu tupai sungguhan. Kostumnya sederhana : Celana selutut, kaus oblong dan sarung menutup wajah. Kesalahan Komarudin satu: ia bergerak ke arah yang salah ketika seharusnya maju. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih gerakkannya terlihat juri. Nilai dipotong dan gagallah jadi juara. Tapi Komarudin tetap teman, walaupun kalah. Kelak kalau ada lomba lagi kami bisa juara.
Lalu tentang duren. Romo terlambat. Duren di kebun udah jatuh. Harus menunggu lagi. Tapi nanti romo tunggu siapa tau di rumah masih ada. Ketika pulang – sehabis berhenti makan di rumah umat. Ahau ikut juga menikmati makan siang yang kepagian itu – Ahau di depan mengayuh sepeda, saya mengikutinya dari belakang. Saya singgah di rumahnya. Menyalami ayah dan ibunya. Adiknya – masih kecil berumur lima tahun – tertidur di kursi. Ahau berlari ke belakang dan mengambil satu buah duren. Ini untuk romo ya. Ahau ‘homo ludens’ : makhluk bermain. Terima kasih Ahau di awal tahun sudah mengingatkan manusia adalah ‘homo ludens’. Bahagia itu mensyukuri hidup juga ketika gagal dan kalah.
“Bermainlah dalam permainan Tetapi janganlah main-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh,Tetapi permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak dalam ketidaksungguhannya sehingga permainan yang dipersungguh, Tidaklah sungguh lagi" (Driyarkara)
Janji durenmu kutunggu. Juga tupai.
salam untu Ahaunya mo hehheeheh
BalasHapusSemalam saya ke Stasinya - misa arwah - tidak ketemu Ahau. Mudah2an nanti ketemu lagi
BalasHapus