Jumat, 25 Maret 2016

DARI GETSEMANI KE GOLGOTHA : SEKOLAH CINTA KASIH, SEKOLAH PENGAMPUNAN

(Catatan Perjalanan Holyland 2 - 13 Maret 2016)

Getsemani


Gereja "Segala Bangsa", Getsemani

Ziarah tahun ini  istimewa karena bertepatan dengan Tahun Kerahiman Ilahi yang bulla-nya “Missericordiae Vultus” dipromulgasikan Paus Fransiskus tanggal 8 Desember 2015. “BERMURAHHATI SEPERTI BAPA” begitulah tajuk Tahun Kerahiman Ilahi yang menjadi Yubileum Luar Biasa untuk Gereja. Keistimewaan yang lain karena ziarah ini juga dilaksanakan pada Masa Pra-Paskah. Masa Retret Agung bagi segenap umat Kristiani.

Tanggal 7 Maret kami mengunjungi Getsemani/Bukit Zaitun. Getsemani (Yunani: γεθσημανί - GETHSÊMANI, dari kata Aram : "GAT-SYEMEN," 'perasan minyak'), yaitu nama 'taman/ kebun' (Yunani: κῆπος - KÊPOS, Yohanes 18:1), di timur Yerusalem, seberang lembah Kidron dekat Bukit Zaitun (Matius 26:30). Getsemani adalah kebun/ taman dekat Bukit Zaitun (Lukas 22:39; Yohanes 18:1) tempat Yesus ditangkap (Markus 14:32 dst). Di Taman ini sekarang terdapat bangunan Gereja yang disebut “GEREJA SEGALA BANGSA”, karena dalam pembangunannya antara tahun 1919 – 1924 mendapat bantuan dana dari 16 Negara.  Juga diartikan sebagai tempat Yesus mengambil keputusan untuk menyelamatkan semua Bangsa. Gereja ini didirikan di atas puing-puing gereja yang dibangun pada kira-kira tahun 380 M. Getsemani adalah tempat yg disenangi Yesus dan murid-murid-Nya sebagai peristirahatan, dan kemudian menjadi panggung kesengsaraan, pengkhianatan Yudas, dan penangkapan Yesus (Markus 14:32-52).

Uskup Agung Yerusalem menetapkan Gereja ini sebagai salah satu “Pintu Suci” (Porta Sancta). Jadi menjadi tempat ziarah khusus untuk mendapat idulgensi Tahun Kerahiman Ilahi. Memasuki bagian dalam Gereja suasana ‘magis’-nya sangat terasa. Arsitek gereja ini dengan sengaja menempatkan mosaic-mosaik kaca patri di dinding gereja berwarna ungu. Kekelaman, kepedihan dan kesan sengsara merasuk begitu kuat di tempat ini. Di depan altar terdapat batu besar yang mengingatkan orang pada Yesus yang berdoa kepada Bapa-Nya dalam Sakrat Maut. Sikap Kristus di Getsemani (Lukas 22:41) memelopori kebiasaan Kristen untuk berlutut bila berdoa. Di depan altar bersama dengan para peziarah yang lain saya berlutut. Menundukkan kepala. Pasrah. “ Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau berkenan, ambillah cawan ini dari hadapan-Ku; tetapi jangan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi” (Lukas 22:42). Hening. Sunyi.

St. Peter Gallicantu (Gereja Ayam Berkokok)

Tak terlalu jauh dari Getsemani, bus menghatar kami ke Gereja St. Petrus Gallicantu (Gallicantu = ayam berkokok). Tempat ini diyakini sebagai rumah imam besar Kayafas. Di sini Yesus tinggal semalam untuk disiksa sebelum diserahkan ke pengadilan Pilatus.  Di pelataran rumah inilah Petrus menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok (Luk 22: 54 – 62). Injil Markus 15: 1 mencatat ‘pagi-pagi benar imam-imam kepala bersama tua-tua dan ahli-ahli taurat serta para anggota Mahkamah Agama lainnya mengadakan pertemuan”. Sesuai tradisi para hukuman dipenjara dan disiksa sebelum dibawa ke depan pengadilan. Mel Gibson dalam film “The Passion Of The Christ” menampilkan Yesus yang sudah babak belur, berdarah-darah dan tak berdaya ketika dibawa ke hadapan Pilatus (Mrk 15:1) – karena sebelumnya semalam-malaman Dia disiksa di penjara bawah tanah rumah imam besar Kayafas.

Masuk ke lantai bawah Gereja, masih terdapat ruang-ruang tempat penyiksaan. Di ruang yang sempit ini kami berdoa untuk diri kami masing-masing yang kerap terbelenggu dan terpenjara oeh macam-macam alasan dan menyerahkan semuanya pada bilur-bilur luka Yesus. Ihab – local guide – yang pengetahuan Kitab Sucinya sangat mumpuni mempersilahkan saya membaca Mazmur 22 :

Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?

Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.
Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.
 Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel.
Kepada-Mu nenek moyang kami percaya; mereka percaya, dan Engkau meluputkan mereka.
Kepada-Mu mereka berseru-seru, dan mereka terluput; kepada-Mu mereka percaya, dan mereka tidak mendapat malu.
Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dihina oleh orang banyak.
Semua yang melihat aku mengolok-olok aku, mereka mencibirkan bibirnya, menggelengkan kepalanya:
"Ia menyerah kepada TUHAN; biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?"
Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku.
Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku.
Janganlah jauh dari padaku, sebab kesusahan telah dekat, dan tidak ada yang menolong.
Banyak lembu jantan mengerumuni aku; banteng-banteng dari Basan mengepung aku;
mereka mengangakan mulutnya terhadap aku seperti singa yang menerkam dan mengaum.
Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku;
kekuatanku kering seperti beling, lidahku melekat pada langit-langit mulutku; dan dalam debu maut Kauletakkan aku.
Sebab anjing-anjing mengerumuni aku, gerombolan penjahat mengepung aku, mereka menusuk tangan dan kakiku.
Segala tulangku dapat kuhitung; mereka menonton, mereka memandangi aku.
Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku.
Tetapi Engkau, TUHAN, janganlah jauh; ya kekuatanku, segeralah menolong aku!
Lepaskanlah aku dari pedang, dan nyawaku dari cengkeraman anjing.
Selamatkanlah aku dari mulut singa, dan dari tanduk banteng. Engkau telah menjawab aku!
Aku akan memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaah:
kamu yang takut akan TUHAN, pujilah Dia, hai segenap anak cucu Yakub, muliakanlah Dia, dan gentarlah terhadap Dia, hai segenap anak cucu Israel!
Sebab Ia tidak memandang hina ataupun merasa jijik kesengsaraan orang yang tertindas, dan Ia tidak menyembunyikan wajah-Nya kepada orang itu, dan Ia mendengar ketika orang itu berteriak minta tolong kepada-Nya.
Karena Engkau aku memuji-muji dalam jemaah yang besar; nazarku akan kubayar di depan mereka yang takut akan Dia.
Orang yang rendah hati akan makan dan kenyang, orang yang mencari TUHAN akan memuji-muji Dia; biarlah hatimu hidup untuk selamanya!
Segala ujung bumi akan mengingatnya dan berbalik kepada TUHAN; dan segala kaum dari bangsa-bangsa akan sujud menyembah di hadapan-Nya.
Sebab Tuhanlah yang empunya kerajaan, Dialah yang memerintah atas bangsa-bangsa.
Ya, kepada-Nya akan sujud menyembah semua orang sombong di bumi, di hadapan-Nya akan berlutut semua orang yang turun ke dalam debu, dan orang yang tidak dapat menyambung hidup.
Anak-anak cucu akan beribadah kepada-Nya, dan akan menceritakan tentang TUHAN kepada angkatan yang akan datang.
Mereka akan memberitakan keadilan-Nya kepada bangsa yang akan lahir nanti, sebab Ia telah melakukannya.

Mazmur ini, yang paling banyak dikutip dalam PB disebut "mazmur salib" karena begitu rinci melukiskan penderitaan berat Kristus di salib.  Ini adalah seruan penderitaan dan kesedihan dari seorang penderita saleh yang belum dibebaskan dari pencobaan dan penderitaan. Kita semua orang beriman  yang menderita dapat menyatukan dirinya dengan kata-kata dalam doa ini.  Kata-kata dalam mazmur ini mengungkapkan suatu pengalaman yang jauh melebihi pengalaman manusia biasa. Dengan ilham Roh Kudus, pemazmur menubuatkan penderitaan Yesus Kristus ketika disalib dan menunjuk kepada pembenaran diri-Nya tiga hari kemudian.

Yesus mengucapkan seruan, “ALLAHKU, ALLAHKU, MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU?” di salib ketika kehadiran Bapa-Nya yang memelihara dan melindungi ditarik (Yes 53:10-12; 2Kor 5:21; lih. Mat 27:46). Yesus ditinggalkan oleh Allah karena Ia menderita sebagai pengganti orang berdosa, yaitu menjadi kutuk karena kita (Gal 3:13). Dengan mengutip ayat ini, Yesus juga mengacu kepada seluruh mazmur ini sebagai gambaran diri-Nya.
Kami mengakhiri doa dengan bernyanyi Mengampuni, mengasihi lebih sungguh. Yang hadir bersama keluarga masing diminta berdiri dekat dengan anggota keluarganya. Lalu kami saling memberikan salam damai. Rombongan peziarah lain sudah menunggu giliran untuk berdoa juga.

GOLGOTA :  Via Crucis, Via Dolorosa


Kubah Gereja Golgotha

8 Maret 2016. Rencana semula kami akan memulai Jalan Salib pukul 08.00, lalu merayakan ekaristi Pukul 10.00 di Gereja Makam Tuhan. Namun karena kemacetan rencana berubah. Kami merayakan misa sebelum Jalan Salib. Di tempat di mana dua ribuan tahun yang lalu Yesus diadili kami merayakan Ekaristi. Dia yang tak mengenal dosa dihukum seperti orang berdosa.
Via Dolorosa saat ini adalah pasar yang ramai. Jalan yang riuh dengan bermacam-macam manusia, dagangan, suara hiruk pikuk, restoran serta aneka pernak-pernik. Di jalan ini Yesus diludahi, diejek, dicemooh. Di sini juga Dia jatuh, bertemu Maria ibunya. Berjumpa dengan Simon dari Kirene. Menasehati wanita-wanita yang menangis. Sungguh jalan yang seperti kita lalui dalam kehidupan kita. Jalan Salib bukanlah jalan sepi di ruang hampa. Jalan salib adalah jalan kita : hidup dengan segala suka dukanya. Hidup dengan segala riuh rendahnya. Hidup dengan segala kesakitannya. Tawa. Tangis. Canda dan air mata ada di sana.


Memasuki pelataran Golgotha dari kejauhan sudah terlihat kubah Gereja dengan Salib di puncaknya. Masuk ke tempat ini harus melewati pintu yang sangat rendah. Siapa pun harus menunduk, membungkukkan badan supaya bisa masuk. Pintu ini disebut “PINTU KERENDAHAN HATI”. Hanya orang-orang yang rendah hati yang mampu melihat dan mengalami Kemuliaan Salib Kristus. Kami beruntung hanya butuh waktu sekitar satu jam antri dan bisa masuk ke dalam Makam Yesus. Tahun lalu – 2015 – saya dan rombongan tidak bisa masuk karena peziarah yang begitu ramai. Di Makam Yesus aku bersyukur akan Tuhan yang pernah mengalami kegelapan makam namun serentak juga mengalahkannya dan Bangkit dengan Mulia. Semoga segala kegelapan hidup juga dikalahkan, kita bangkit bersama Dia.


Makam Yesus

@25052016 – Jumat Agung

Rabu, 23 Maret 2016

SENAKEL: Pembasuhan Kaki, Ekaristi dan Burung Pelikan

(Catatan Perjalanan Holyland, 2 - 13 Maret 2016)

8 Maret 2016 kami berada di “Ruang Perjamuan Kudus”/Caenaculum/Senakel, Yerusalem. Tempat ini diyakini sebagai tempat Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir bersama para rasul sebelum sengsaraNya. Ketika kami berkunjung tempat ini penuh dengan peziarah. Kelihatan penuh karena ruang yang tidak terlalu besar itu pada saat yang bersamaan menampung tiga kelompok peziarah. Ruang Perjamuan Kudus berada tidak jauh dari “Makam Raja Daud” yang menjadi salah satu tempat suci Agama Yahudi, Judaisme.

Kami mengambil tempat di pojok. Ihab – local guide selama di Israel – menerangkan tempat ini kepada kami. Ruang tempat kami berada menjadi tempat terjadinya beberapa peristiwa yang dicatat dalam Injil. Di sini Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir (Mat 26:26-29) dan Pembasuhan Kaki Para Murid (Yoh 13 : 1-20). Di tempat ini juga Yesus menampakkan diriNya kepada murid-murid dan mempersilahkan Thomas memeriksa lukaNya (Yoh 20: 26-29). Di sini juga Para Murid menerima Pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta – lima puluh hari setelah kebangkitan, sepuluh hari setelah Kenaikan Yesus ke Surga – (Kis 2 : 1 – 11).

PEMBASUHAN KAKI

Dalam tradisi Yahudi, pembasuhan kaki dilakukan oleh seorang budak non-Yahudi (1Sam 25:41) untuk tamu yang berkunjung (Kej 18:4). Jika seorang murid melakukan untuk gurunya (rabi), itu adalah simbol pengurbanan. Namun, tak pernah dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya. Yesus memberikan teladan yang unik dan tak biasa! Bagaikan seorang budak, Yesus mencuci kaki para murid-Nya, tanpa mempedulikan sikap protes Simon Petrus.
Yesus Guru dan Tuhan melakukannya untuk menjadi tanda bahwa Dia akan mati di salib! Dengan kematian-Nya Yesus ingin membarui kurban Paskah Perjanjian Lama, yakni anak domba jantan, tak bercacat, dan berumur satu tahun yang dikurung dan disembelih (bdk. Kel 12:1-8) dengan diri-Nya sendiri sebagai kurban Perjanjian Baru.

Ketika Simon Petrus menolak  dibasuh kakinya, Yesus berkata kepadanya, "Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku" (Yoh 13:8b). Yesus meminta Simon Petrus mengambil bagian dalam kurban Paskah Perjanjian Baru. Memang nantinya dia akan "dikurung" (bdk. Yoh 21:18); dipenjarakan dan dihukum mati (ay. 19) pada sekitar tahun 67 Masehi. Dia mati disalibkan dengan posisi kepala di bawah. Seperti Yesus, dia pun menjadi kurban Paskah bagi Tuhan (bdk. Kel 21:11). Dia mati sebagai martir. Mahkota kemartiran Petrus adalah "bagian" yang dijanjikan Yesus.

Yesus bersabda, "Kamu sudah bersih, hanya tidak semua" (ay. 10). Menurut Penginjil Yohanes, kata-kata Yesus itu berarti, "Tidak semua kamu bersih" (ay. 11), untuk menyindir Yudas Iskariot sebagai murid yang tidak bersih, karena akan menyerahkan Yesus kepada Imam-imam Kepala dan orang-orang Farisi. Dapatkah disimpulkan bahwa pembasuhan kaki tersebut dimaksudkan untuk membersihkan dosa pengkhianatan Yudas Iskariot? Atau, untuk menepis pengaruh Yudas Iskariot dalam diri para murid yang lain? Akhirnya, Yesus berkata dengan tegas, "Kamu pun wajib saling membasuh kakimu" (ay. 14).

Pesan Yesus abadi sepanjang jaman : setiap orang yang menyebut diri murid dan pengikut Kristus wajib berkurban, merendahkan diri dan menjadi pelayan.

EKARISTI

Di tempat ini saya dalam hening di tengah keramaian dan suara pemandu wisata yang menjelaskan kepada para peziarah merenung tentang imamat yang saya terima dan ekaristi yang saya rayakan sebagai imam. Pada Perjamuan Terakhir Yesus menetapkan ekaristi : INILAH TUBUHKU YANG DISERAHKAN BAGIMU…. INILAH DARAHKU YANG DITUMPAHKAN BAGIMU DAN BAGI BANYAK ORANG DEMI PENGAMPUNAN DOSA. Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.

Ekaristi adalah bersedia memecah diri untuk dibagi agar yang lain hidup: MENGAMBIL roti – MEMECAH-MECAHKANNYA – MEMBAGI. Sebagai murid Kristus, hendaknya  kita rela untuk diambil Tuhan menjadi kurban Paskah Perjanjian Baru. Rela dipecah-pecah dan dibagikan. Bagaikan anggur Perjanjian Baru yang dimeteraikan oleh darah Kristus (1Kor 11:23-26). Murid Kristus yang sejati adalah  "Manusia Ekaristis" : orang-orang yang rela berbagi untuk hidup bagi orang lain.

BURUNG PELIKAN

Di bagian atas tiang dalam ruang Perjamuan Kudus terdapat pahatan Burung Pelikan. Burung yang menjadi “Simbol Ekaristi” : induk yang rela mengorbankan diri agar anak-anaknya hidup.
Tentang “Burung Pelikan”, Fr. William Saunders menulis sebagai berikut :

Simbol ibu pelikan sedang memberi makan anak-anaknya berasal dari suatu legenda kuno sebelum masa Kristiani. Alkisah, pada masa kelaparan, ibu pelikan melukai dirinya sendiri, merobek dadanya dengan paruhnya untuk memberi makan anak-anaknya dengan darahnya agar mereka tidak mati kelaparan. Versi lain dari legenda tersebut mengisahkan ibu pelikan memberi makan anak-anaknya yang mati kelaparan dengan darahnya agar mereka pulih dan hidup kembali, sementara ia sendiri kehilangan nyawanya. 

Dari kisah ini, kita dapat dengan mudah memahami mengapa Gereja Perdana mengambilnya sebagai lambang Tuhan kita, Yesus Kristus. Pelikan melambangkan Yesus, Penebus kita, yang menyerahkan nyawa-Nya sendiri sebagai silih dan tebusan atas dosa-dosa kita melalui Sengsara dan Wafat-Nya. Kita mati terhadap dosa dan memperoleh hidup baru melalui Darah Kristus. Lagipula, Yesus terus-menerus memberi kita makan dengan Tubuh dan Darah-Nya dalam Ekaristi Kudus.

Tradisi di atas dan juga beberapa lainnya, dapat ditemukan dalam Physiologus (= Legenda Binatang), suatu karya sastra Gereja Perdana yang muncul pada abad kedua di Alexandria, Mesir. Physiologus, yang ditulis oleh seorang pengarang anonim, menceritakan legenda-legenda binatang dengan memberikan tafsiran alegoris (= kiasan) bagi setiap legenda. Sebagai contoh, burung phoenix (= burung hong) yang membakar dirinya hingga mati dan bangkit dari abu pada hari ketiga, melambangkan Kristus yang wafat bagi dosa-dosa kita dan bangkit pada hari ketiga dengan mengaruniakan janji akan kehidupan kekal bagi kita. Unicorn yang hanya mengijinkan dirinya ditangkap dalam pelukan seorang gadis yang suci murni, melambangkan peristiwa inkarnasi.

Dalam Physiologus, legenda pelikan memberi makan anak-anaknya digambarkan sebagai berikut: “Anak-anak pelikan menyerang orangtuanya, dan orangtuanya menyerang balik, lalu membunuh mereka. Tetapi, pada hari ketiga ibu pelikan merobek lambungnya dan mencurahkan darahnya atas anak-anaknya yang telah mati. Dengan demikian, anak-anaknya itu dipulihkan serta dihidupkan kembali. Demikian jugalah Tuhan kita Yesus Kristus bersabda melalui nabi Yesaya: “Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku.” (Yesaya 1:2). Kita memberontak melawan Tuhan dengan menyembah allah-allah lain selain dari Sang Pencipta. Sebab itu Ia rela merendahkan diri dengan wafat di atas kayu salib, dan ketika lambung-Nya ditikam, mengalirlah darah dan air bagi keselamatan dan kehidupan kekal bagi kita.” Karya sastra tersebut dikenal oleh St. Epifanius, St. Basilus and St. Petrus dari Alexandria, serta populer pada abad pertengahan dan dipakai sebagai sumber acuan simbol-simbol yang dipakai dalam berbagai karya pahat batu dan karya seni lainnya pada masa itu.

Pelikan telah menjadi bagian dari tradisi liturgi kita. Gambar pelikan sedang memberi makan anak-anaknya merupakan karya seni yang populer pada bagian depan altar. Pada masa-masa awal, ketika tabernakel kadang-kadang ditempatkan tergantung di atas altar, tabernakel dibentuk menyerupai seekor burung pelikan.

Yesus Sendiri menampakkan diri kepada St. Gertrude Agung (1256 - 1301) sebagai pelikan berdarah. Ketika St. Gertrude bertanya kepada-Nya, “Tuhanku, apa yang ingin Engkau ajarkan padaku melalui penampakan ini?”, maka Kristus menjawab, “Aku ingin kamu memperhatikan kasih-Ku yang meluap hingga mendorong Diri-Ku memberikan kamu kurnia ini; karena setelah Aku memberikan Diri-Ku sendiri, seakan-akan Aku lebih suka tetap mati di makam, daripada mencabut buah kemurahan-Ku dari jiwa yang mengasihi Aku. Pikirkan pula seperti halnya darah yang keluar dari jantung burung pelikan memberikan kehidupan kepada anak-anaknya, begitu pula jiwa, yang Aku beri makan dengan Santapan sorgawi, memperoleh kehidupan yang tidak akan berakhir.”

Demikianlah, lambang pelikan menjadi tanda pengingat akan Tuhan kita, yang menderita sengsara dan wafat demi memberikan kehidupan kekal bagi kita, dan yang memelihara kita dalam perjalanan ziarah kita dengan Ekaristi Kudus. Semoga lambang tersebut juga menggerakkan kita untuk menunjukkan belas kasihan dan cinta yang rela berkurban kepada semua orang, seperti yang diteladankan-Nya.

TIDAK ADA KASIH YANG PALING AGUNG DARI KASIH SEORANG YANG MENYERAHKAN NYAWA BAGI ORANG YANG DIKASIHINYA.

Selamat merayakan Kamis Putih. Selamat merayakan Perjamuan Tuhan.

@24032016

SINAI : Mudahnya Bilang Cinta

(Catatan Perjalanan Holyland 2 - 13 Maret 2016)

Jumat, 4 Maret 2016 – pukul 19.00 waktu setempat – kami tiba di St. Catherine, di kaki Gunung Sinai. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam dari Sharm El Sheikh, Kota Pantai indah yang dijuluki Bali-nya Mesir. Tempat ini diberi nama sesuai nama biara tua yang dibangun tepat di kaki Gunung Sinai, yang dikenal sebagai Tanah Midian – di mana Musa menggembalakan kambing domba Yitro, mertuanya – dalam Kitab Suci. Hawa dingin segera menyergap begitu turun dari bus. Tak butuh waktu lama, segera setelah menurunkan koper kecil  masing-masing bergegas ke dinning room untuk merayakan  ekaristi. Sekarang bergabung dua grup, totalnya 49 orang. Perayaan ekaristi dipimpin Rm. Terry Ponomban – imam Keuskupan Manado. Perayaan ekaristi ini istimewa karena bertepatan dengan dimulainya ’24 Jam Bagi Tuhan’ untuk Gereja Sejagad. Jadi 24 jam bagi Tuhan ini akan kami rayakan di Gunung Sinai, tempat Allah berjumpa Musa. Tempat Allah mengikat perjanjian dengan Bangsa Israel. Istimewa.

Setelah perayaan ekaristi dilanjutkan dengan makan malam. Hidangan khususnya: kalkun. Usai makan malam langsung masuk kamar karena Amir – tour guide – memberi instruksi pukul 22.30 yang mau mendaki Gunung Sinai berkumpul di lobby. Saya kembali ke kamar mempersiapkan diri : mandi – cek perlengkapan dan tidur. Tahun lalu, Maret 2015, saya sudah pernah mendaki juga. Tapi tahun lalu tidak sampai ke puncak. Hanya beberapa puluh meter sebelum puncak kami berlima memutuskan turun. Waktu itu selain faktor fisik, kami memutuskan turun karena rombongan lain menunggu di Sharm El Sheikh. Semoga kali ini bisa sampai ke puncak. Sepatu gunung, kaos kaki, jaket tebal, sweater, syal, topi kupluk, sarung tangan, senter, masker, botol minum dan kamera semua siap. Saya sempat terlelap sebentar sampai alarm berbunyi pukul 22.30. Saya segera ke luar kamar menuju lobby. Udara dingin pegunungan terasa menusuk meskipun sudah berpakaian tebal. Sebelum masuk bus, saya memilih stik yang disediakan gratis pihak hotel untuk melengkapi peralatan mendaki. Peralatan lengkap.

Di dalam bus saya menyaksikan wajah-wajah penuh semangat walau dua hari kurang tidur sejak penerbangan panjang Jakarta – Abu Dhabi  - Cairo – Sharm El Sheikh. Niat ziarah mampu menghalau keletihan fisik. Setelah dihitung, yang ikut mendaki 30 orang. Berarti 19 lainnya memutuskan beristirahat di hotel. Jumlah ini enam kali lipat rombongan tahun lalu.
Di dalam bus, Ahmed – guide local – sekali lagi memberi penjelasan tentang proses pendakian : 
1] Bus akan menghantar rombongan menuju titik pertama yaitu tempat parkir, selanjutnya rombongan akan naik bus yang lebih kecil menuju titik kedua.
2] Titik kedua adalah tempat onta-onta menunggu. Dari pemberhentian mobil harus berjalan sekitar 10 menit
3] Dari titik kedua dengan menunggang onta sekitar 1,5 jam. Dan akan turun di “Sinai Starbucks” – warung kopi hehehe. Ini titik ketiga
4] Dari “Sinai Starbucks” berjalan kaki dengan meniti batu-batu menyerupai anak tangga tak beraturan sekitar 750 anak tangga ( gimana hitungnya ya hehehe)
Bagi yang fisiknya kuat silahkan sampai ke puncak. Bagi yang ragu-ragu silahkan menunggu di warung kopi.
Penjelasan Ahmed diterima dengan jelas. Semua bertekad sampai ke puncak.

Onta Auto Pilot, Nabi Musa dan Oma Erik…

Petualangan sebenarnya dimulai. Tigapuluh orang di atas 30 ekor Onta. Menunggang Onta bukanlah pekerjaan nyaman, apalagi bagi sebagian besar yang bahkan menunggang kuda saja pun belum pernah. Struktur fisik onta sudah jadi kesulitan tersendiri, begitu juga aroma tubuh onta yang bikin mual. Tapi apa boleh buat sekali layar terbentang, pantang mundur ke tepian. Sebagai penanda, Ahmed menginstruksikan supaya semua menghafal password : Teriakan “HOLLY GLOBAL”, dijawab “ALLELUYA”. Siap!
Menit menit pertama teriakan “holy global” masih dijawab ‘alleluya” dengan lantang. Semakin lama semakin sayup-sayup. Masing-masing tenggelam dalam keheningan pribadi. Ada yang berdoa. Ada yang bernyanyi. Keingintahuan bercampur aduk dengan ketakutan. Kerinduan berada di Puncak Sinai bertemu dengan kegentaran. Setelah satu setengah jam yang menegangkan akhirnya tiba juga di “Titik Ketiga” : Sinai Starbucks. Ini kata lain untuk kios sederhana milik orang Baduin yang menjajakan minuman dan makanan ringan. Di tengah udara dingin 5֯ C, teh hangat dan kopi jadi minuman favorit.  Di sini kami beristirahat sebentar sambil menunggu semua berkumpul dan memberi kesempatan bagi yang mau ke ‘toilet’. Untuk mencairkan suasana saya bertanya dan mengajak cerita pengalaman menunggang Onta.

Oma Musa – ini nama yang kemudian menjadi terkenal – bercerita. Ketika pertama kali menunggang Onta ketakutan setengah mati. Apalagi setelah melihat sekeliling tak ada siapa-siapa. Dia mencoba memanggil teman-teman tapi tak ada yang menyahut. Semua juga dalam ketegangannya sendiri. Dalam ketakutan dia ingat, ‘di atas puncak Gunung sana ada Musa yang bertemu Tuhan’. Maka dengan irama yang tidak jelas keluarlah lagu ini ;
            Nabi Musa engkau yang ada di atas sana
            Tolong saya Bilang pada Onta ini
            Dia jangan cepat – cepat
            Karena dia sudah capek

Ini mungkin salah satu Mazmur paling indah yang tercipta di Gurun Sinai.

Oma Erik lain lagi. Mula-mula onta yang dia tunggangi masih ada yang memegang talinya. Lama-lama si penarik Onta – karena harus mengawasi dua onta yang lain – membiarkan ontanya berjalan sendiri – auto pilot!! Ketika melihat tak ada kawan yang berada di dekatnya, Oma ingat password. Tapi karena tegang paswordnya jadi tidak lengkap. “Hollllly”…holllyyyyyy…. Hollyyyy. Malang tak dapat ditolak. Untung tak dapat diraih : tak seorang pun menyahut. Dalam keheningan akhirnya Oma memberi berkat : “Hollyyyy God Bless you”. Tapi Oma tak kehabisan akal. Di awal-awal ketika baru jalan, dia mendengar penarik ontanya sesekali berteriak, “ riik, riiiik, riiiik”. Kesimpulan Oma : onta ini namanya pasti “ERIK”!!. Maka setiap kali ontanya mulai nakal, Oma segera bilang, “Eriiik, eriiik jangan nakal dong. Nanti Mama jatuh”. Dan Erik patuh.  Oma resmi menjadi Oma Erik.


Perjalanan ke puncak dari titik ketiga juga menegangkan. Belum satu kilometer berjalan, beberapa orang memutuskan untuk tidak melanjutkan ke puncak dan memilih menunggu di warung kopi. Setelah Ahmed menghitung kini tinggal 22 orang. Delapan menunggu di warkop. Jalur yang dilewati cukup sempit dan curam. Medan yang berbatu-batu dan menanjak membuat pendakian tidak mudah, apalagi bagi sebagian rombongan yang tidak bisa dikategorikan muda lagi. Sekitar jam 3.30 waktu Sinai rombongan pertama tiba di Puncak Sinai, lalu menyusul satu demi satu sampai akhirnya dua puluh dua orang berkumpul di Puncak Sinai.

Dalam keheningan di tengah udara dingin Puncak Sinai, saya mengajak kami membentuk lingkaran, bergandengan tagan dan berdoa :

Allah Bapa Maha Pengasih, Maha Rahim dan Penyayang
Engkau telah menghantar kami ke Gunung Suci ini
Tempat Engkau bertemu dengan Musa, leluhur kami dalam Iman
Tempat Engkau memberikan Hukum-MU kepada Bangsa Israel

Terimakasih karena kami juga kau ijinkan menginjakkan kaki di sini
Boleh seperti Musa mengalami perjumpaan pribadi denganMU
Dalam ketidakpantasan kami
Dalam keberdosaan kami
Dalam kehinaan kami

Di waktu yang istimewa ini
Saat kami secara khusus bersama seluruh GerejaMU
Merayakan Tahun Kerahiman Ilahi
Hari istimewa ketika kami diajak 24 jam bersamaMU dalam doa
Kami berada di sini
Maha Besar Engkau Tuhan
Tak terbatas KuasaMU
Maha Rahim Engkau Tuhan
Tak terbatas CintaMU bagi kami

Selanjutnya saya mengajak untuk hening… merasakan kehadiran Tuhan. Setelah hening dan pemeriksaan batin kami sama-sama mengucapkan Doa Tobat. Lalu saya mengajak Romo Hendrik (Imam Projo Keuskupan Atambua) memberi berkat dan absolusi umum. Doa singkat di puncak gunung. Lalu kami berfoto bersam dan bersiap turun. Di langit fajar mulai merekah.


Tremendum et Fascinosum

Di Gurun Sinai, dalam perjalanan ke puncak saya merasakan apa yang oleh Rudolf Otto – Filsuf-Teolog dan Sosiolog – pengalaman tremendum et fascinosum : rasa gentar dan terpukau sekaligus. Gentar karena merasa kecil, rendah dan tak ada apa – apanya. Di hadapan semesta yang maha luas dan seperti tak berbatas manusia begitu kecil. Seperti butiran debu di ujung timbangan. Tak ada arti. Namun pada ketika yang sama ada keterpukauan yang luar biasa. Terpukau pada semesta. Pada Yang Menjadikan Langit dan Bumi beserta seluruh isisnya. Di titik ini aku ingat motto tahbisanku tiga belas tahun lalu “Siapakah aku ini sehingga Engkau perhatikan”.


Dalam perjalanan turun aku ingat di gurun ini janji dan ingkar berkelindan. Di sini setia dan khianat bertemu. Manusia yang begitu mudah bilang cinta dan begitu gampang untuk lupa berhadapan dengan Kasih dan Kerahiman Allah YANG MAHA SETIA.

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...