Rabu, 23 Maret 2016

SINAI : Mudahnya Bilang Cinta

(Catatan Perjalanan Holyland 2 - 13 Maret 2016)

Jumat, 4 Maret 2016 – pukul 19.00 waktu setempat – kami tiba di St. Catherine, di kaki Gunung Sinai. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam dari Sharm El Sheikh, Kota Pantai indah yang dijuluki Bali-nya Mesir. Tempat ini diberi nama sesuai nama biara tua yang dibangun tepat di kaki Gunung Sinai, yang dikenal sebagai Tanah Midian – di mana Musa menggembalakan kambing domba Yitro, mertuanya – dalam Kitab Suci. Hawa dingin segera menyergap begitu turun dari bus. Tak butuh waktu lama, segera setelah menurunkan koper kecil  masing-masing bergegas ke dinning room untuk merayakan  ekaristi. Sekarang bergabung dua grup, totalnya 49 orang. Perayaan ekaristi dipimpin Rm. Terry Ponomban – imam Keuskupan Manado. Perayaan ekaristi ini istimewa karena bertepatan dengan dimulainya ’24 Jam Bagi Tuhan’ untuk Gereja Sejagad. Jadi 24 jam bagi Tuhan ini akan kami rayakan di Gunung Sinai, tempat Allah berjumpa Musa. Tempat Allah mengikat perjanjian dengan Bangsa Israel. Istimewa.

Setelah perayaan ekaristi dilanjutkan dengan makan malam. Hidangan khususnya: kalkun. Usai makan malam langsung masuk kamar karena Amir – tour guide – memberi instruksi pukul 22.30 yang mau mendaki Gunung Sinai berkumpul di lobby. Saya kembali ke kamar mempersiapkan diri : mandi – cek perlengkapan dan tidur. Tahun lalu, Maret 2015, saya sudah pernah mendaki juga. Tapi tahun lalu tidak sampai ke puncak. Hanya beberapa puluh meter sebelum puncak kami berlima memutuskan turun. Waktu itu selain faktor fisik, kami memutuskan turun karena rombongan lain menunggu di Sharm El Sheikh. Semoga kali ini bisa sampai ke puncak. Sepatu gunung, kaos kaki, jaket tebal, sweater, syal, topi kupluk, sarung tangan, senter, masker, botol minum dan kamera semua siap. Saya sempat terlelap sebentar sampai alarm berbunyi pukul 22.30. Saya segera ke luar kamar menuju lobby. Udara dingin pegunungan terasa menusuk meskipun sudah berpakaian tebal. Sebelum masuk bus, saya memilih stik yang disediakan gratis pihak hotel untuk melengkapi peralatan mendaki. Peralatan lengkap.

Di dalam bus saya menyaksikan wajah-wajah penuh semangat walau dua hari kurang tidur sejak penerbangan panjang Jakarta – Abu Dhabi  - Cairo – Sharm El Sheikh. Niat ziarah mampu menghalau keletihan fisik. Setelah dihitung, yang ikut mendaki 30 orang. Berarti 19 lainnya memutuskan beristirahat di hotel. Jumlah ini enam kali lipat rombongan tahun lalu.
Di dalam bus, Ahmed – guide local – sekali lagi memberi penjelasan tentang proses pendakian : 
1] Bus akan menghantar rombongan menuju titik pertama yaitu tempat parkir, selanjutnya rombongan akan naik bus yang lebih kecil menuju titik kedua.
2] Titik kedua adalah tempat onta-onta menunggu. Dari pemberhentian mobil harus berjalan sekitar 10 menit
3] Dari titik kedua dengan menunggang onta sekitar 1,5 jam. Dan akan turun di “Sinai Starbucks” – warung kopi hehehe. Ini titik ketiga
4] Dari “Sinai Starbucks” berjalan kaki dengan meniti batu-batu menyerupai anak tangga tak beraturan sekitar 750 anak tangga ( gimana hitungnya ya hehehe)
Bagi yang fisiknya kuat silahkan sampai ke puncak. Bagi yang ragu-ragu silahkan menunggu di warung kopi.
Penjelasan Ahmed diterima dengan jelas. Semua bertekad sampai ke puncak.

Onta Auto Pilot, Nabi Musa dan Oma Erik…

Petualangan sebenarnya dimulai. Tigapuluh orang di atas 30 ekor Onta. Menunggang Onta bukanlah pekerjaan nyaman, apalagi bagi sebagian besar yang bahkan menunggang kuda saja pun belum pernah. Struktur fisik onta sudah jadi kesulitan tersendiri, begitu juga aroma tubuh onta yang bikin mual. Tapi apa boleh buat sekali layar terbentang, pantang mundur ke tepian. Sebagai penanda, Ahmed menginstruksikan supaya semua menghafal password : Teriakan “HOLLY GLOBAL”, dijawab “ALLELUYA”. Siap!
Menit menit pertama teriakan “holy global” masih dijawab ‘alleluya” dengan lantang. Semakin lama semakin sayup-sayup. Masing-masing tenggelam dalam keheningan pribadi. Ada yang berdoa. Ada yang bernyanyi. Keingintahuan bercampur aduk dengan ketakutan. Kerinduan berada di Puncak Sinai bertemu dengan kegentaran. Setelah satu setengah jam yang menegangkan akhirnya tiba juga di “Titik Ketiga” : Sinai Starbucks. Ini kata lain untuk kios sederhana milik orang Baduin yang menjajakan minuman dan makanan ringan. Di tengah udara dingin 5֯ C, teh hangat dan kopi jadi minuman favorit.  Di sini kami beristirahat sebentar sambil menunggu semua berkumpul dan memberi kesempatan bagi yang mau ke ‘toilet’. Untuk mencairkan suasana saya bertanya dan mengajak cerita pengalaman menunggang Onta.

Oma Musa – ini nama yang kemudian menjadi terkenal – bercerita. Ketika pertama kali menunggang Onta ketakutan setengah mati. Apalagi setelah melihat sekeliling tak ada siapa-siapa. Dia mencoba memanggil teman-teman tapi tak ada yang menyahut. Semua juga dalam ketegangannya sendiri. Dalam ketakutan dia ingat, ‘di atas puncak Gunung sana ada Musa yang bertemu Tuhan’. Maka dengan irama yang tidak jelas keluarlah lagu ini ;
            Nabi Musa engkau yang ada di atas sana
            Tolong saya Bilang pada Onta ini
            Dia jangan cepat – cepat
            Karena dia sudah capek

Ini mungkin salah satu Mazmur paling indah yang tercipta di Gurun Sinai.

Oma Erik lain lagi. Mula-mula onta yang dia tunggangi masih ada yang memegang talinya. Lama-lama si penarik Onta – karena harus mengawasi dua onta yang lain – membiarkan ontanya berjalan sendiri – auto pilot!! Ketika melihat tak ada kawan yang berada di dekatnya, Oma ingat password. Tapi karena tegang paswordnya jadi tidak lengkap. “Hollllly”…holllyyyyyy…. Hollyyyy. Malang tak dapat ditolak. Untung tak dapat diraih : tak seorang pun menyahut. Dalam keheningan akhirnya Oma memberi berkat : “Hollyyyy God Bless you”. Tapi Oma tak kehabisan akal. Di awal-awal ketika baru jalan, dia mendengar penarik ontanya sesekali berteriak, “ riik, riiiik, riiiik”. Kesimpulan Oma : onta ini namanya pasti “ERIK”!!. Maka setiap kali ontanya mulai nakal, Oma segera bilang, “Eriiik, eriiik jangan nakal dong. Nanti Mama jatuh”. Dan Erik patuh.  Oma resmi menjadi Oma Erik.


Perjalanan ke puncak dari titik ketiga juga menegangkan. Belum satu kilometer berjalan, beberapa orang memutuskan untuk tidak melanjutkan ke puncak dan memilih menunggu di warung kopi. Setelah Ahmed menghitung kini tinggal 22 orang. Delapan menunggu di warkop. Jalur yang dilewati cukup sempit dan curam. Medan yang berbatu-batu dan menanjak membuat pendakian tidak mudah, apalagi bagi sebagian rombongan yang tidak bisa dikategorikan muda lagi. Sekitar jam 3.30 waktu Sinai rombongan pertama tiba di Puncak Sinai, lalu menyusul satu demi satu sampai akhirnya dua puluh dua orang berkumpul di Puncak Sinai.

Dalam keheningan di tengah udara dingin Puncak Sinai, saya mengajak kami membentuk lingkaran, bergandengan tagan dan berdoa :

Allah Bapa Maha Pengasih, Maha Rahim dan Penyayang
Engkau telah menghantar kami ke Gunung Suci ini
Tempat Engkau bertemu dengan Musa, leluhur kami dalam Iman
Tempat Engkau memberikan Hukum-MU kepada Bangsa Israel

Terimakasih karena kami juga kau ijinkan menginjakkan kaki di sini
Boleh seperti Musa mengalami perjumpaan pribadi denganMU
Dalam ketidakpantasan kami
Dalam keberdosaan kami
Dalam kehinaan kami

Di waktu yang istimewa ini
Saat kami secara khusus bersama seluruh GerejaMU
Merayakan Tahun Kerahiman Ilahi
Hari istimewa ketika kami diajak 24 jam bersamaMU dalam doa
Kami berada di sini
Maha Besar Engkau Tuhan
Tak terbatas KuasaMU
Maha Rahim Engkau Tuhan
Tak terbatas CintaMU bagi kami

Selanjutnya saya mengajak untuk hening… merasakan kehadiran Tuhan. Setelah hening dan pemeriksaan batin kami sama-sama mengucapkan Doa Tobat. Lalu saya mengajak Romo Hendrik (Imam Projo Keuskupan Atambua) memberi berkat dan absolusi umum. Doa singkat di puncak gunung. Lalu kami berfoto bersam dan bersiap turun. Di langit fajar mulai merekah.


Tremendum et Fascinosum

Di Gurun Sinai, dalam perjalanan ke puncak saya merasakan apa yang oleh Rudolf Otto – Filsuf-Teolog dan Sosiolog – pengalaman tremendum et fascinosum : rasa gentar dan terpukau sekaligus. Gentar karena merasa kecil, rendah dan tak ada apa – apanya. Di hadapan semesta yang maha luas dan seperti tak berbatas manusia begitu kecil. Seperti butiran debu di ujung timbangan. Tak ada arti. Namun pada ketika yang sama ada keterpukauan yang luar biasa. Terpukau pada semesta. Pada Yang Menjadikan Langit dan Bumi beserta seluruh isisnya. Di titik ini aku ingat motto tahbisanku tiga belas tahun lalu “Siapakah aku ini sehingga Engkau perhatikan”.


Dalam perjalanan turun aku ingat di gurun ini janji dan ingkar berkelindan. Di sini setia dan khianat bertemu. Manusia yang begitu mudah bilang cinta dan begitu gampang untuk lupa berhadapan dengan Kasih dan Kerahiman Allah YANG MAHA SETIA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...