(Catatan
Perjalanan Holyland 2 - 13 Maret 2016)
Jumat, 4 Maret 2016 – pukul 19.00 waktu setempat –
kami tiba di St. Catherine, di kaki Gunung Sinai. Setelah menempuh perjalanan
kurang lebih empat jam dari Sharm El Sheikh, Kota Pantai indah yang dijuluki
Bali-nya Mesir. Tempat ini diberi nama sesuai nama biara tua yang dibangun tepat
di kaki Gunung Sinai, yang dikenal sebagai Tanah Midian – di mana Musa
menggembalakan kambing domba Yitro, mertuanya – dalam Kitab Suci. Hawa dingin
segera menyergap begitu turun dari bus. Tak butuh waktu lama, segera setelah menurunkan koper kecil
masing-masing bergegas ke dinning
room untuk merayakan ekaristi.
Sekarang bergabung dua grup, totalnya 49 orang. Perayaan ekaristi dipimpin Rm.
Terry Ponomban – imam Keuskupan Manado. Perayaan ekaristi ini istimewa karena
bertepatan dengan dimulainya ’24 Jam Bagi Tuhan’ untuk Gereja Sejagad. Jadi 24
jam bagi Tuhan ini akan kami rayakan di Gunung Sinai, tempat Allah berjumpa
Musa. Tempat Allah mengikat perjanjian dengan Bangsa Israel. Istimewa.
Setelah perayaan ekaristi dilanjutkan dengan makan
malam. Hidangan khususnya: kalkun. Usai makan malam langsung masuk kamar
karena Amir – tour guide – memberi instruksi pukul 22.30 yang mau mendaki
Gunung Sinai berkumpul di lobby. Saya kembali ke kamar mempersiapkan diri :
mandi – cek perlengkapan dan tidur. Tahun lalu, Maret 2015, saya sudah pernah
mendaki juga. Tapi tahun lalu tidak sampai ke puncak. Hanya beberapa puluh
meter sebelum puncak kami berlima memutuskan turun. Waktu itu selain faktor
fisik, kami memutuskan turun karena rombongan lain menunggu di Sharm El Sheikh.
Semoga kali ini bisa sampai ke puncak. Sepatu gunung, kaos kaki, jaket tebal,
sweater, syal, topi kupluk, sarung tangan, senter, masker, botol minum dan kamera
semua siap. Saya sempat terlelap sebentar sampai alarm berbunyi pukul 22.30.
Saya segera ke luar kamar menuju lobby. Udara dingin pegunungan terasa menusuk
meskipun sudah berpakaian tebal. Sebelum masuk bus, saya memilih stik yang
disediakan gratis pihak hotel untuk melengkapi peralatan mendaki. Peralatan
lengkap.
Di dalam bus saya menyaksikan wajah-wajah penuh
semangat walau dua hari kurang tidur sejak penerbangan panjang Jakarta – Abu
Dhabi - Cairo – Sharm El Sheikh. Niat
ziarah mampu menghalau keletihan fisik. Setelah dihitung, yang ikut mendaki 30
orang. Berarti 19 lainnya memutuskan beristirahat di hotel. Jumlah ini enam
kali lipat rombongan tahun lalu.
Di dalam bus, Ahmed – guide local – sekali lagi
memberi penjelasan tentang proses pendakian :
1] Bus akan menghantar rombongan
menuju titik pertama yaitu tempat parkir, selanjutnya rombongan akan naik bus
yang lebih kecil menuju titik kedua.
2]
Titik kedua adalah tempat onta-onta menunggu. Dari pemberhentian mobil harus
berjalan sekitar 10 menit
3]
Dari titik kedua dengan menunggang onta sekitar 1,5 jam. Dan akan turun di “Sinai
Starbucks” – warung kopi hehehe. Ini titik ketiga
4]
Dari “Sinai Starbucks” berjalan kaki dengan meniti batu-batu menyerupai anak
tangga tak beraturan sekitar 750 anak tangga ( gimana hitungnya ya hehehe)
Bagi yang fisiknya kuat silahkan sampai ke puncak.
Bagi yang ragu-ragu silahkan menunggu di warung kopi.
Penjelasan Ahmed diterima dengan jelas. Semua
bertekad sampai ke puncak.
Onta
Auto Pilot, Nabi Musa dan Oma Erik…
Petualangan sebenarnya dimulai. Tigapuluh orang di
atas 30 ekor Onta. Menunggang Onta bukanlah pekerjaan nyaman, apalagi bagi
sebagian besar yang bahkan menunggang kuda saja pun belum pernah. Struktur fisik
onta sudah jadi kesulitan tersendiri, begitu juga aroma tubuh onta yang bikin
mual. Tapi apa boleh buat sekali layar terbentang, pantang mundur ke tepian.
Sebagai penanda, Ahmed menginstruksikan supaya semua menghafal password : Teriakan
“HOLLY GLOBAL”, dijawab “ALLELUYA”. Siap!
Menit menit pertama teriakan “holy global” masih
dijawab ‘alleluya” dengan lantang. Semakin lama semakin sayup-sayup.
Masing-masing tenggelam dalam keheningan pribadi. Ada yang berdoa. Ada yang
bernyanyi. Keingintahuan bercampur aduk dengan ketakutan. Kerinduan berada di
Puncak Sinai bertemu dengan kegentaran. Setelah satu setengah jam yang
menegangkan akhirnya tiba juga di “Titik Ketiga” : Sinai Starbucks. Ini kata
lain untuk kios sederhana milik orang Baduin yang menjajakan minuman dan
makanan ringan. Di tengah udara dingin 5֯ C, teh hangat dan kopi jadi minuman
favorit. Di sini kami beristirahat
sebentar sambil menunggu semua berkumpul dan memberi kesempatan bagi yang mau
ke ‘toilet’. Untuk mencairkan suasana saya bertanya dan mengajak cerita
pengalaman menunggang Onta.
Oma Musa – ini nama yang kemudian menjadi terkenal –
bercerita. Ketika pertama kali menunggang Onta ketakutan setengah mati. Apalagi
setelah melihat sekeliling tak ada siapa-siapa. Dia mencoba memanggil teman-teman tapi
tak ada yang menyahut. Semua juga dalam ketegangannya sendiri. Dalam ketakutan
dia ingat, ‘di atas puncak Gunung sana ada Musa yang bertemu Tuhan’. Maka
dengan irama yang tidak jelas keluarlah lagu ini ;
Nabi
Musa engkau yang ada di atas sana
Tolong
saya Bilang pada Onta ini
Dia
jangan cepat – cepat
Karena
dia sudah capek
Ini
mungkin salah satu Mazmur paling indah yang tercipta di Gurun Sinai.
Oma
Erik lain lagi. Mula-mula onta yang dia tunggangi masih ada yang memegang
talinya. Lama-lama si penarik Onta – karena harus mengawasi dua onta yang lain –
membiarkan ontanya berjalan sendiri – auto pilot!! Ketika melihat tak ada kawan
yang berada di dekatnya, Oma ingat password. Tapi karena tegang paswordnya jadi
tidak lengkap. “Hollllly”…holllyyyyyy…. Hollyyyy. Malang tak dapat ditolak.
Untung tak dapat diraih : tak seorang pun menyahut. Dalam keheningan akhirnya
Oma memberi berkat : “Hollyyyy God Bless you”. Tapi Oma tak kehabisan akal. Di
awal-awal ketika baru jalan, dia mendengar penarik ontanya sesekali berteriak, “
riik, riiiik, riiiik”. Kesimpulan Oma : onta ini namanya pasti “ERIK”!!. Maka
setiap kali ontanya mulai nakal, Oma segera bilang, “Eriiik, eriiik jangan
nakal dong. Nanti Mama jatuh”. Dan Erik patuh. Oma resmi menjadi Oma Erik.
Perjalanan
ke puncak dari titik ketiga juga menegangkan. Belum satu kilometer berjalan,
beberapa orang memutuskan untuk tidak melanjutkan ke puncak dan memilih
menunggu di warung kopi. Setelah Ahmed menghitung kini tinggal 22 orang. Delapan
menunggu di warkop. Jalur yang dilewati cukup sempit dan curam. Medan yang
berbatu-batu dan menanjak membuat pendakian tidak mudah, apalagi bagi sebagian
rombongan yang tidak bisa dikategorikan muda lagi. Sekitar jam 3.30 waktu
Sinai rombongan pertama tiba di Puncak Sinai, lalu menyusul satu demi satu
sampai akhirnya dua puluh dua orang berkumpul di Puncak Sinai.
Dalam
keheningan di tengah udara dingin Puncak Sinai, saya mengajak kami membentuk
lingkaran, bergandengan tagan dan berdoa :
Allah Bapa Maha Pengasih, Maha Rahim dan
Penyayang
Engkau telah menghantar kami ke Gunung
Suci ini
Tempat Engkau bertemu dengan Musa,
leluhur kami dalam Iman
Tempat Engkau memberikan Hukum-MU kepada
Bangsa Israel
Terimakasih karena kami juga kau ijinkan
menginjakkan kaki di sini
Boleh seperti Musa mengalami perjumpaan
pribadi denganMU
Dalam ketidakpantasan kami
Dalam keberdosaan kami
Dalam kehinaan kami
Di waktu yang istimewa ini
Saat kami secara khusus bersama seluruh
GerejaMU
Merayakan Tahun Kerahiman Ilahi
Hari istimewa ketika kami diajak 24 jam
bersamaMU dalam doa
Kami berada di sini
Maha Besar Engkau Tuhan
Tak terbatas KuasaMU
Maha Rahim Engkau Tuhan
Tak terbatas CintaMU bagi kami
Selanjutnya
saya mengajak untuk hening… merasakan kehadiran Tuhan. Setelah hening dan
pemeriksaan batin kami sama-sama mengucapkan Doa Tobat. Lalu saya mengajak Romo
Hendrik (Imam Projo Keuskupan Atambua) memberi berkat dan absolusi umum. Doa
singkat di puncak gunung. Lalu kami berfoto bersam dan bersiap turun. Di langit
fajar mulai merekah.
Tremendum
et Fascinosum
Di
Gurun Sinai, dalam perjalanan ke puncak saya merasakan apa yang oleh
Rudolf Otto – Filsuf-Teolog dan Sosiolog – pengalaman tremendum et fascinosum :
rasa gentar dan terpukau sekaligus. Gentar karena merasa kecil, rendah dan tak
ada apa – apanya. Di hadapan semesta yang maha luas dan seperti tak berbatas
manusia begitu kecil. Seperti butiran debu di ujung timbangan. Tak ada arti.
Namun pada ketika yang sama ada keterpukauan yang luar biasa. Terpukau pada
semesta. Pada Yang Menjadikan Langit dan Bumi beserta seluruh isisnya. Di titik
ini aku ingat motto tahbisanku tiga belas tahun lalu “Siapakah aku ini sehingga Engkau
perhatikan”.
Dalam
perjalanan turun aku ingat di gurun ini janji dan ingkar berkelindan. Di sini
setia dan khianat bertemu. Manusia yang begitu mudah bilang cinta dan begitu
gampang untuk lupa berhadapan dengan Kasih dan Kerahiman Allah YANG MAHA SETIA.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar