(Catatan Perjalanan Holyland, 2 - 13 Maret 2016)
8 Maret 2016 kami berada
di “Ruang Perjamuan Kudus”/Caenaculum/Senakel, Yerusalem. Tempat ini diyakini
sebagai tempat Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir bersama para rasul sebelum
sengsaraNya. Ketika kami berkunjung tempat ini penuh dengan peziarah. Kelihatan
penuh karena ruang yang tidak terlalu besar itu pada saat yang bersamaan
menampung tiga kelompok peziarah. Ruang Perjamuan Kudus berada tidak jauh dari “Makam
Raja Daud” yang menjadi salah satu tempat suci Agama Yahudi, Judaisme.
Kami mengambil tempat
di pojok. Ihab – local guide selama di Israel – menerangkan tempat ini kepada
kami. Ruang tempat kami berada menjadi tempat terjadinya beberapa peristiwa
yang dicatat dalam Injil. Di sini Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir (Mat
26:26-29) dan Pembasuhan Kaki Para Murid (Yoh 13 : 1-20). Di tempat ini juga
Yesus menampakkan diriNya kepada murid-murid dan mempersilahkan Thomas
memeriksa lukaNya (Yoh 20: 26-29). Di sini juga Para Murid menerima Pencurahan
Roh Kudus pada hari Pentakosta – lima puluh hari setelah kebangkitan, sepuluh
hari setelah Kenaikan Yesus ke Surga – (Kis 2 : 1 – 11).
PEMBASUHAN KAKI
Dalam tradisi Yahudi,
pembasuhan kaki dilakukan oleh seorang budak non-Yahudi (1Sam 25:41) untuk tamu
yang berkunjung (Kej 18:4). Jika seorang murid melakukan untuk gurunya (rabi),
itu adalah simbol pengurbanan. Namun, tak pernah dilakukan oleh seorang guru
kepada muridnya. Yesus memberikan teladan yang unik dan tak biasa! Bagaikan
seorang budak, Yesus mencuci kaki para murid-Nya, tanpa mempedulikan sikap
protes Simon Petrus.
Yesus Guru dan Tuhan melakukannya
untuk menjadi tanda bahwa Dia akan mati di salib! Dengan kematian-Nya Yesus ingin
membarui kurban Paskah Perjanjian Lama, yakni anak domba jantan, tak bercacat,
dan berumur satu tahun yang dikurung dan disembelih (bdk. Kel 12:1-8) dengan
diri-Nya sendiri sebagai kurban Perjanjian Baru.
Ketika Simon Petrus menolak
dibasuh kakinya, Yesus berkata
kepadanya, "Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat
bagian dalam Aku" (Yoh 13:8b). Yesus meminta Simon Petrus mengambil bagian
dalam kurban Paskah Perjanjian Baru. Memang nantinya dia akan "dikurung"
(bdk. Yoh 21:18); dipenjarakan dan dihukum mati (ay. 19) pada sekitar tahun 67
Masehi. Dia mati disalibkan dengan posisi kepala di bawah. Seperti Yesus, dia
pun menjadi kurban Paskah bagi Tuhan (bdk. Kel 21:11). Dia mati sebagai martir.
Mahkota kemartiran Petrus adalah "bagian" yang dijanjikan Yesus.
Yesus bersabda,
"Kamu sudah bersih, hanya tidak semua" (ay. 10). Menurut Penginjil
Yohanes, kata-kata Yesus itu berarti, "Tidak semua kamu bersih" (ay.
11), untuk menyindir Yudas Iskariot sebagai murid yang tidak bersih, karena akan
menyerahkan Yesus kepada Imam-imam Kepala dan orang-orang Farisi. Dapatkah
disimpulkan bahwa pembasuhan kaki tersebut dimaksudkan untuk membersihkan dosa
pengkhianatan Yudas Iskariot? Atau, untuk menepis pengaruh Yudas Iskariot dalam
diri para murid yang lain? Akhirnya, Yesus berkata dengan tegas, "Kamu pun
wajib saling membasuh kakimu" (ay. 14).
Pesan Yesus abadi
sepanjang jaman : setiap orang yang menyebut diri murid dan pengikut Kristus
wajib berkurban, merendahkan diri dan menjadi pelayan.
EKARISTI
Di tempat ini saya
dalam hening di tengah keramaian dan suara pemandu wisata yang menjelaskan kepada
para peziarah merenung tentang imamat yang saya terima dan ekaristi yang saya
rayakan sebagai imam. Pada Perjamuan Terakhir Yesus menetapkan ekaristi :
INILAH TUBUHKU YANG DISERAHKAN BAGIMU…. INILAH DARAHKU YANG DITUMPAHKAN BAGIMU
DAN BAGI BANYAK ORANG DEMI PENGAMPUNAN DOSA. Lakukanlah ini untuk mengenangkan
Daku.
Ekaristi adalah
bersedia memecah diri untuk dibagi agar yang lain hidup: MENGAMBIL roti –
MEMECAH-MECAHKANNYA – MEMBAGI. Sebagai murid Kristus, hendaknya kita rela untuk diambil Tuhan menjadi kurban
Paskah Perjanjian Baru. Rela dipecah-pecah dan dibagikan. Bagaikan anggur
Perjanjian Baru yang dimeteraikan oleh darah Kristus (1Kor 11:23-26). Murid
Kristus yang sejati adalah "Manusia
Ekaristis" : orang-orang yang rela berbagi untuk hidup bagi orang lain.
BURUNG PELIKAN
Di bagian atas tiang
dalam ruang Perjamuan Kudus terdapat pahatan Burung Pelikan. Burung yang
menjadi “Simbol Ekaristi” : induk yang rela mengorbankan diri agar anak-anaknya
hidup.
Tentang “Burung Pelikan”,
Fr. William Saunders menulis sebagai berikut :
Simbol ibu pelikan sedang memberi makan anak-anaknya
berasal dari suatu legenda kuno sebelum masa Kristiani. Alkisah, pada masa
kelaparan, ibu pelikan melukai dirinya sendiri, merobek dadanya dengan paruhnya
untuk memberi makan anak-anaknya dengan darahnya agar mereka tidak mati
kelaparan. Versi lain dari legenda tersebut mengisahkan ibu pelikan memberi
makan anak-anaknya yang mati kelaparan dengan darahnya agar mereka pulih dan
hidup kembali, sementara ia sendiri kehilangan nyawanya.
Dari kisah ini, kita dapat dengan mudah memahami
mengapa Gereja Perdana mengambilnya sebagai lambang Tuhan kita, Yesus Kristus.
Pelikan melambangkan Yesus, Penebus kita, yang menyerahkan nyawa-Nya sendiri
sebagai silih dan tebusan atas dosa-dosa kita melalui Sengsara dan Wafat-Nya.
Kita mati terhadap dosa dan memperoleh hidup baru melalui Darah Kristus.
Lagipula, Yesus terus-menerus memberi kita makan dengan Tubuh dan Darah-Nya
dalam Ekaristi Kudus.
Tradisi di atas dan juga beberapa lainnya, dapat
ditemukan dalam Physiologus (= Legenda Binatang), suatu karya sastra Gereja
Perdana yang muncul pada abad kedua di Alexandria, Mesir. Physiologus, yang
ditulis oleh seorang pengarang anonim, menceritakan legenda-legenda binatang
dengan memberikan tafsiran alegoris (= kiasan) bagi setiap legenda. Sebagai
contoh, burung phoenix (= burung hong) yang membakar dirinya hingga mati dan bangkit
dari abu pada hari ketiga, melambangkan Kristus yang wafat bagi dosa-dosa kita
dan bangkit pada hari ketiga dengan mengaruniakan janji akan kehidupan kekal
bagi kita. Unicorn yang hanya mengijinkan dirinya ditangkap dalam pelukan
seorang gadis yang suci murni, melambangkan peristiwa inkarnasi.
Dalam Physiologus, legenda pelikan memberi makan
anak-anaknya digambarkan sebagai berikut: “Anak-anak pelikan menyerang
orangtuanya, dan orangtuanya menyerang balik, lalu membunuh mereka. Tetapi,
pada hari ketiga ibu pelikan merobek lambungnya dan mencurahkan darahnya atas
anak-anaknya yang telah mati. Dengan demikian, anak-anaknya itu dipulihkan
serta dihidupkan kembali. Demikian jugalah Tuhan kita Yesus Kristus bersabda
melalui nabi Yesaya: “Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka
memberontak terhadap Aku.” (Yesaya 1:2). Kita memberontak melawan Tuhan dengan
menyembah allah-allah lain selain dari Sang Pencipta. Sebab itu Ia rela
merendahkan diri dengan wafat di atas kayu salib, dan ketika lambung-Nya
ditikam, mengalirlah darah dan air bagi keselamatan dan kehidupan kekal bagi
kita.” Karya sastra tersebut dikenal oleh St. Epifanius, St. Basilus and St.
Petrus dari Alexandria, serta populer pada abad pertengahan dan dipakai sebagai
sumber acuan simbol-simbol yang dipakai dalam berbagai karya pahat batu dan
karya seni lainnya pada masa itu.
Pelikan telah menjadi bagian dari tradisi liturgi
kita. Gambar pelikan sedang memberi makan anak-anaknya merupakan karya seni
yang populer pada bagian depan altar. Pada masa-masa awal, ketika tabernakel
kadang-kadang ditempatkan tergantung di atas altar, tabernakel dibentuk
menyerupai seekor burung pelikan.
Yesus Sendiri menampakkan diri kepada St. Gertrude
Agung (1256 - 1301) sebagai pelikan berdarah. Ketika St. Gertrude bertanya
kepada-Nya, “Tuhanku, apa yang ingin Engkau ajarkan padaku melalui penampakan
ini?”, maka Kristus menjawab, “Aku ingin kamu memperhatikan kasih-Ku yang
meluap hingga mendorong Diri-Ku memberikan kamu kurnia ini; karena setelah Aku
memberikan Diri-Ku sendiri, seakan-akan Aku lebih suka tetap mati di makam,
daripada mencabut buah kemurahan-Ku dari jiwa yang mengasihi Aku. Pikirkan pula
seperti halnya darah yang keluar dari jantung burung pelikan memberikan
kehidupan kepada anak-anaknya, begitu pula jiwa, yang Aku beri makan dengan
Santapan sorgawi, memperoleh kehidupan yang tidak akan berakhir.”
Demikianlah, lambang pelikan menjadi tanda pengingat
akan Tuhan kita, yang menderita sengsara dan wafat demi memberikan kehidupan
kekal bagi kita, dan yang memelihara kita dalam perjalanan ziarah kita dengan
Ekaristi Kudus. Semoga lambang tersebut juga menggerakkan kita untuk
menunjukkan belas kasihan dan cinta yang rela berkurban kepada semua orang,
seperti yang diteladankan-Nya.
TIDAK ADA KASIH YANG
PALING AGUNG DARI KASIH SEORANG YANG MENYERAHKAN NYAWA BAGI ORANG YANG
DIKASIHINYA.
Selamat merayakan Kamis
Putih. Selamat merayakan Perjamuan Tuhan.
@24032016



selalu ada penyegaran bagi kami yg berziarah, trims tuang ..cokoe kreba ga salam kud tuang Blasius
BalasHapus