Rabu, 23 Maret 2016

SENAKEL: Pembasuhan Kaki, Ekaristi dan Burung Pelikan

(Catatan Perjalanan Holyland, 2 - 13 Maret 2016)

8 Maret 2016 kami berada di “Ruang Perjamuan Kudus”/Caenaculum/Senakel, Yerusalem. Tempat ini diyakini sebagai tempat Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir bersama para rasul sebelum sengsaraNya. Ketika kami berkunjung tempat ini penuh dengan peziarah. Kelihatan penuh karena ruang yang tidak terlalu besar itu pada saat yang bersamaan menampung tiga kelompok peziarah. Ruang Perjamuan Kudus berada tidak jauh dari “Makam Raja Daud” yang menjadi salah satu tempat suci Agama Yahudi, Judaisme.

Kami mengambil tempat di pojok. Ihab – local guide selama di Israel – menerangkan tempat ini kepada kami. Ruang tempat kami berada menjadi tempat terjadinya beberapa peristiwa yang dicatat dalam Injil. Di sini Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir (Mat 26:26-29) dan Pembasuhan Kaki Para Murid (Yoh 13 : 1-20). Di tempat ini juga Yesus menampakkan diriNya kepada murid-murid dan mempersilahkan Thomas memeriksa lukaNya (Yoh 20: 26-29). Di sini juga Para Murid menerima Pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta – lima puluh hari setelah kebangkitan, sepuluh hari setelah Kenaikan Yesus ke Surga – (Kis 2 : 1 – 11).

PEMBASUHAN KAKI

Dalam tradisi Yahudi, pembasuhan kaki dilakukan oleh seorang budak non-Yahudi (1Sam 25:41) untuk tamu yang berkunjung (Kej 18:4). Jika seorang murid melakukan untuk gurunya (rabi), itu adalah simbol pengurbanan. Namun, tak pernah dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya. Yesus memberikan teladan yang unik dan tak biasa! Bagaikan seorang budak, Yesus mencuci kaki para murid-Nya, tanpa mempedulikan sikap protes Simon Petrus.
Yesus Guru dan Tuhan melakukannya untuk menjadi tanda bahwa Dia akan mati di salib! Dengan kematian-Nya Yesus ingin membarui kurban Paskah Perjanjian Lama, yakni anak domba jantan, tak bercacat, dan berumur satu tahun yang dikurung dan disembelih (bdk. Kel 12:1-8) dengan diri-Nya sendiri sebagai kurban Perjanjian Baru.

Ketika Simon Petrus menolak  dibasuh kakinya, Yesus berkata kepadanya, "Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku" (Yoh 13:8b). Yesus meminta Simon Petrus mengambil bagian dalam kurban Paskah Perjanjian Baru. Memang nantinya dia akan "dikurung" (bdk. Yoh 21:18); dipenjarakan dan dihukum mati (ay. 19) pada sekitar tahun 67 Masehi. Dia mati disalibkan dengan posisi kepala di bawah. Seperti Yesus, dia pun menjadi kurban Paskah bagi Tuhan (bdk. Kel 21:11). Dia mati sebagai martir. Mahkota kemartiran Petrus adalah "bagian" yang dijanjikan Yesus.

Yesus bersabda, "Kamu sudah bersih, hanya tidak semua" (ay. 10). Menurut Penginjil Yohanes, kata-kata Yesus itu berarti, "Tidak semua kamu bersih" (ay. 11), untuk menyindir Yudas Iskariot sebagai murid yang tidak bersih, karena akan menyerahkan Yesus kepada Imam-imam Kepala dan orang-orang Farisi. Dapatkah disimpulkan bahwa pembasuhan kaki tersebut dimaksudkan untuk membersihkan dosa pengkhianatan Yudas Iskariot? Atau, untuk menepis pengaruh Yudas Iskariot dalam diri para murid yang lain? Akhirnya, Yesus berkata dengan tegas, "Kamu pun wajib saling membasuh kakimu" (ay. 14).

Pesan Yesus abadi sepanjang jaman : setiap orang yang menyebut diri murid dan pengikut Kristus wajib berkurban, merendahkan diri dan menjadi pelayan.

EKARISTI

Di tempat ini saya dalam hening di tengah keramaian dan suara pemandu wisata yang menjelaskan kepada para peziarah merenung tentang imamat yang saya terima dan ekaristi yang saya rayakan sebagai imam. Pada Perjamuan Terakhir Yesus menetapkan ekaristi : INILAH TUBUHKU YANG DISERAHKAN BAGIMU…. INILAH DARAHKU YANG DITUMPAHKAN BAGIMU DAN BAGI BANYAK ORANG DEMI PENGAMPUNAN DOSA. Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.

Ekaristi adalah bersedia memecah diri untuk dibagi agar yang lain hidup: MENGAMBIL roti – MEMECAH-MECAHKANNYA – MEMBAGI. Sebagai murid Kristus, hendaknya  kita rela untuk diambil Tuhan menjadi kurban Paskah Perjanjian Baru. Rela dipecah-pecah dan dibagikan. Bagaikan anggur Perjanjian Baru yang dimeteraikan oleh darah Kristus (1Kor 11:23-26). Murid Kristus yang sejati adalah  "Manusia Ekaristis" : orang-orang yang rela berbagi untuk hidup bagi orang lain.

BURUNG PELIKAN

Di bagian atas tiang dalam ruang Perjamuan Kudus terdapat pahatan Burung Pelikan. Burung yang menjadi “Simbol Ekaristi” : induk yang rela mengorbankan diri agar anak-anaknya hidup.
Tentang “Burung Pelikan”, Fr. William Saunders menulis sebagai berikut :

Simbol ibu pelikan sedang memberi makan anak-anaknya berasal dari suatu legenda kuno sebelum masa Kristiani. Alkisah, pada masa kelaparan, ibu pelikan melukai dirinya sendiri, merobek dadanya dengan paruhnya untuk memberi makan anak-anaknya dengan darahnya agar mereka tidak mati kelaparan. Versi lain dari legenda tersebut mengisahkan ibu pelikan memberi makan anak-anaknya yang mati kelaparan dengan darahnya agar mereka pulih dan hidup kembali, sementara ia sendiri kehilangan nyawanya. 

Dari kisah ini, kita dapat dengan mudah memahami mengapa Gereja Perdana mengambilnya sebagai lambang Tuhan kita, Yesus Kristus. Pelikan melambangkan Yesus, Penebus kita, yang menyerahkan nyawa-Nya sendiri sebagai silih dan tebusan atas dosa-dosa kita melalui Sengsara dan Wafat-Nya. Kita mati terhadap dosa dan memperoleh hidup baru melalui Darah Kristus. Lagipula, Yesus terus-menerus memberi kita makan dengan Tubuh dan Darah-Nya dalam Ekaristi Kudus.

Tradisi di atas dan juga beberapa lainnya, dapat ditemukan dalam Physiologus (= Legenda Binatang), suatu karya sastra Gereja Perdana yang muncul pada abad kedua di Alexandria, Mesir. Physiologus, yang ditulis oleh seorang pengarang anonim, menceritakan legenda-legenda binatang dengan memberikan tafsiran alegoris (= kiasan) bagi setiap legenda. Sebagai contoh, burung phoenix (= burung hong) yang membakar dirinya hingga mati dan bangkit dari abu pada hari ketiga, melambangkan Kristus yang wafat bagi dosa-dosa kita dan bangkit pada hari ketiga dengan mengaruniakan janji akan kehidupan kekal bagi kita. Unicorn yang hanya mengijinkan dirinya ditangkap dalam pelukan seorang gadis yang suci murni, melambangkan peristiwa inkarnasi.

Dalam Physiologus, legenda pelikan memberi makan anak-anaknya digambarkan sebagai berikut: “Anak-anak pelikan menyerang orangtuanya, dan orangtuanya menyerang balik, lalu membunuh mereka. Tetapi, pada hari ketiga ibu pelikan merobek lambungnya dan mencurahkan darahnya atas anak-anaknya yang telah mati. Dengan demikian, anak-anaknya itu dipulihkan serta dihidupkan kembali. Demikian jugalah Tuhan kita Yesus Kristus bersabda melalui nabi Yesaya: “Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku.” (Yesaya 1:2). Kita memberontak melawan Tuhan dengan menyembah allah-allah lain selain dari Sang Pencipta. Sebab itu Ia rela merendahkan diri dengan wafat di atas kayu salib, dan ketika lambung-Nya ditikam, mengalirlah darah dan air bagi keselamatan dan kehidupan kekal bagi kita.” Karya sastra tersebut dikenal oleh St. Epifanius, St. Basilus and St. Petrus dari Alexandria, serta populer pada abad pertengahan dan dipakai sebagai sumber acuan simbol-simbol yang dipakai dalam berbagai karya pahat batu dan karya seni lainnya pada masa itu.

Pelikan telah menjadi bagian dari tradisi liturgi kita. Gambar pelikan sedang memberi makan anak-anaknya merupakan karya seni yang populer pada bagian depan altar. Pada masa-masa awal, ketika tabernakel kadang-kadang ditempatkan tergantung di atas altar, tabernakel dibentuk menyerupai seekor burung pelikan.

Yesus Sendiri menampakkan diri kepada St. Gertrude Agung (1256 - 1301) sebagai pelikan berdarah. Ketika St. Gertrude bertanya kepada-Nya, “Tuhanku, apa yang ingin Engkau ajarkan padaku melalui penampakan ini?”, maka Kristus menjawab, “Aku ingin kamu memperhatikan kasih-Ku yang meluap hingga mendorong Diri-Ku memberikan kamu kurnia ini; karena setelah Aku memberikan Diri-Ku sendiri, seakan-akan Aku lebih suka tetap mati di makam, daripada mencabut buah kemurahan-Ku dari jiwa yang mengasihi Aku. Pikirkan pula seperti halnya darah yang keluar dari jantung burung pelikan memberikan kehidupan kepada anak-anaknya, begitu pula jiwa, yang Aku beri makan dengan Santapan sorgawi, memperoleh kehidupan yang tidak akan berakhir.”

Demikianlah, lambang pelikan menjadi tanda pengingat akan Tuhan kita, yang menderita sengsara dan wafat demi memberikan kehidupan kekal bagi kita, dan yang memelihara kita dalam perjalanan ziarah kita dengan Ekaristi Kudus. Semoga lambang tersebut juga menggerakkan kita untuk menunjukkan belas kasihan dan cinta yang rela berkurban kepada semua orang, seperti yang diteladankan-Nya.

TIDAK ADA KASIH YANG PALING AGUNG DARI KASIH SEORANG YANG MENYERAHKAN NYAWA BAGI ORANG YANG DIKASIHINYA.

Selamat merayakan Kamis Putih. Selamat merayakan Perjamuan Tuhan.

@24032016

1 komentar:

  1. selalu ada penyegaran bagi kami yg berziarah, trims tuang ..cokoe kreba ga salam kud tuang Blasius

    BalasHapus

π‘π”πŒπ€π‡ 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, ππ”πŠπ€π π‘π”πŒπ€π‡ πƒπ”πŠπ€

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...