Oleh
Hans K Jeharut
(Komisi
Kerawam Kevikepan Bangka Belitung – Keuskupan Pangkalpinang)
“Sekarang ini proses demokrasi kita diwarnai
keterlibatan yang sangat besar dan signifikan anak-anak muda yang disebut
generasi digital”, demikian ungkap Sebastian Salang – Kordinator Forum
Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (FORMAPPI) dalam diskusi terbatas
beberapa waktu lalu di Pangkalpinang. Bangkitnya apa yang disebut “Generasi
Digital” mengingatkan kita akan fakta bahwa, pertama, teknologi komunikasi digital berperan penting mengubah
pola perilaku manusia termasuk pola perilaku berpolitik. Kedua, telah muncul generasi baru yang punya gaya sendiri dalam
berpolitik, termasuk cara mereka mengekspresikan pendapatnya. Ini menjadi ajakan
dan peringatan (warning) bagi
generasi yang lebih tua bahwa jaman telah bergerak maju dan berubah, karena itu
harus mencari dan menemukan formula baru untuk membaca tanda-tanda zaman dan
menanggapinya.
Dari sudut pandang politik sebagai upaya-upaya yang dilakukan
demi kesejahteraan umum/kebaikan bersama (bonum
communae), fenomena generasi digital ini menarik. Jagad Politik Indonesia
hampir tiga tahun terakhir memunculkan apa yang dikenal sebagai ‘relawan’ (volunteer) dengan berbagai nama dan
bendera. Mereka adalah generasi muda berusia rata-rata awal 20-an tahun sampai
30-an tahun dari beragam profesi dan latarbelakang. Mereka dipersatukan oleh
keprihatinan yang sama dan dan dipertemukan di jagad maya. Anak-anak muda ini -
yang lahir sekitar paruh kedua tahun delapanpuluhan dan awal sembilanpuluhan -
adalah generasi yang berinteraksi satu sama lain lewat jejaring sosial. Mereka
mempunyai akun facebook, tergabung di
berbagai milis group, rajin cuit di tweeter, punya grup di whatsapp dan sehari-hari berelasi,
berkomunikasi dan berinteraksi melalui media jejaring sosial dunia maya
tersebut. Salah satu ciri gaya berkomunikasi di jejaring sosial adalah
egaliter. Siapa pun yang terdaftar dan masuk di dalamnya mesti menempatkan diri
sebagai kawan setara, baik dalam diskusi dengan paham yang sama, maupun ketika
berargumentasi mempertahankan paham yang berbeda. Ciri egaliter ini
mempersatukan banyak orang, karena tidak ada yang lebih superior dan karenanya
mempunyai otoritas penuh untuk memaksakan kehendak dan sebaliknya tidak ada
yang perlu merasa anak bawang dan karenanya tidak punya hak untuk mengemukakan
pendapat, bahkan untuk mengemukakan bahwa ia berbeda pendapat. Majalah TEMPO
(19 – 21 Desember 2014) menobatkan para relawan sebagai “Tokoh Pilihan 2014”.
Pilihan yang antara lain didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka -para
relawan ini- telah memberi sumbangan yang berarti pada proses demokrasi kita,
serentak penghargaan akan kerja cerdas mereka memanfaatkan teknologi dan
jejaring social untuk mendorong perubahan politik.
Pelajaran lain yang kita petik dari kemunculan
‘Generasi Digital’ ini adalah kemampuan mereka untuk menerobos mampetnya
saluran aspirasi politik lewat saluran-saluran formal, sekaligus mengingatkan
kedaulatan yang dipunyai oleh warga negara berhadapan dengan
institusi-institusi, termasuk partai politik. Fenomena yang terakhir ini dapat
kita lihat pada sekelompok anak muda yang di media dikenal sebagai “Kawan
Ahok”. Terlepas dari pro kontra yang ditimbulkan, ‘Kawan Ahok’ menunjukkan
kemampuan mereka mengkonsolidasi dukungan melalui jejaring sosial, maupun
jejaring relawan yang bekerja dengan basis teknologi yang baik sehingga
menggalang satu juta pendukung. Kawan-kawan Ahok ini berhasil menunjukkan ke
publik bahwa masyarakat mampu mengkonsolidasikan diri dengan baik dengan
bantuan teknologi informasi untuk mendorong sebuah perubahan. Dampak politis
dari upaya anak-anak muda ini adalah kesediaan dan kerelaan partai-partai
politik untuk mendukung Ahok tanpa syarat dan tanpa mahar. Fenomena ini menunjukkan
bahwa masyarakat punya posisi tawar terhadap partai politik. Dampak lanjutan
yang lain adalah semakin murahnya secara finansial sebuah proses pertarungan politik karena para
kandidat tidak (perlu) membayar mahar kepada partai. Mahar politik yang selama
ini tak pernah terang-terangan diakui ditengarai menjadi salah satu sebab
syaratnya penyelenggaraan kekuasaan dengan proses transaksional.
Jika mau mengambil pelajaran positif dari fenomena sosial
munculnya generasi digital dalam proses partisipasi publik maka ini adalah
pelajaran penting bagi partai politik dan para calon kepala daerah. Pelajaran
pentingnya adalah, pertarungan politik bukan melulu pertarungan partai-partai
politik. Jika sebelum ini partai politik mempunyai kekuasaan yang sangat besar
dalam penentuan siapa yang diusung dan dicalonkan untuk menjadi kepala daerah,
generasi digital ini menunjukkan bahwa mereka juga punya kedaulatan yang bisa
membuat partai politik tunduk. Pelajaran lainnya adalah, partai-partai politik
mulai saat ini harus melirik dan memperhitungkan dengan serius peran serta dan
partisipasi generasi digital ini dalam kerangka membangun opini, menggalang
dukungan dan mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan serta pilihan rasional
kepada publik/pemilih. Bagi publik, pelajaran yang bisa dipetik adalah
sekaranglah saatnya teknologi komunikasi bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk mempengaruhi dan mendorong partisipasi politik dan dengan demikian ikut
berperan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang baik, berpihak kepada rakyat dan
amanah menjalankan kekuasaannya.
Pemilihan Kepala Daerah Gubernur Propinsi Bangka
Belitung 2017 telah di depan mata. Sudah banyak kandidat yang mulai
memperkenalkan diri ke publik. Para kandidat beserta pendukungnya mesti dengan
cermat memperhitungkan efek generasi digital ini bagi popularitas dan
elektabilitas mereka. Anak-anak generasi digital ini – ibarat bermain pokemon –
punya pokeball yang akan mereka pakai
dengan bantuan GPS menangkap pokemon
incaran mereka. Mereka independen dan punya kalkulasi politik sendiri yang tak
bisa diintervensi dalam menentukan pilihannya, yang pada gilirannya juga memengaruhi
orang lain dan publik menjatuhkan pilihannya.
*Dipublikasikan di Harian
“Bangka Pos”, Rabu 10 Agustus 2016, hlm 7