Senin, 15 Agustus 2016

17 Agustus & Pluit Amed Juman




17 Agustus datang lagi. Baris-berbaris.Karnaval. Lomba-lomba. Hiburan rakyat. Apel bendera. Selalu begitu setiap tahun, tapi tetap dirayakan. Meriah itu relatif.

Saya hanya ingat satu sosok, Ame Juman. Kecintaannya pada republik ini tidak diragukan. Ia Indonesia sampai ke sumsumnya. NKRI harga mati. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945 (sebelum diamandemen, maupun pasca amandemen). Dia membatalkan semua agenda pribadi tiap kali menjelang ulang tahun kemerdekaan - 17 Agustus. Satu lagi perhelatan besar yang bisa membuat dia membatalkan seluruh rencana yang lain adalah Pekan Suci menjelang Hari Raya Paskah Umat Katolik. Ini karena ada pertandingan sepakbola antar stasi. Ada kemiripan dua perayaan ini. 17 Agustus adalah Hari Proklamasi Kemerdekaan. Moment Pembebasan. Paskah juga adalah Hari Raya Pembebasan. Orang Israel mengenang sebagai saat pembebasan dari perbudakan di Mesir. Mereka merdeka dari perbudakan di bawah pimpinan Musa. Ah ini sudah menyimpang terlalu jauh.

Soal pokoknya itu tadi, Ame Juman memandang istimewa dua hari ini. Dia akan sangat serius memperhatikan anak-anak sekolah yang latihan baris berbaris. Kadang-kadang maksud baiknya mengacaukan. Itu karena dia punya PLUIT sendiri. Pluit ini dibunyikan kapan saja dia mau. Bunyi pluit yang keluar sembarang waktu inilah yang mengacaukan. Anak-anak sering bingung : ada yang tiba-tiba berhenti bergerak, padahal komandan regu belum mengeluarkan perintah berhenti. Itu gara-gara pluit Ame Juman. Atau sebaliknya, sedang istirahat di tempat tiba-tiba segera siap sempurna. lagi-lagi karena bunyi pluit tidak resmi Ame Juman.

Untuk kami di rumah - Ame Juman ini tamu tetap - pluit ini punya arti lain. Kalau sudah mendengar pluit dari radius tertentu itu pertanda Ame Juman sudah dekat. Artinya sudah bisa dibikinkan kopi, tanpa menunggu dia tiba di ruang tamu rumah. Tentang ini ada insiden kecil. Akhir tahun 1990-an Bapa dan mama pindah tugas. Rumah dinas bertetangga dengan Kantor Camat. suatu hari menjelang 17 Agustus, mama saya mendengar bunyi pluit. Ah Ame Juman pasti. Anak yang membantu di rumah disuruh membuat kopi. Kopi sudah siap. dihidangkan di meja. menunggu sekian lama Ame Juman tak muncul. Mama keluar ke halaman. Tidak ada siapa pun. Mama ke kantor Camat dan bertanya pada hansip-hansip yang sedang latihan berbaris, "Nana, cala ita Amed Juman tite?". "Toe manga ta Mama". "Hae bao main laku dengen runing pluit ghia". "Darat Mama, pluit ghami ghitu"*. Pluit Amed Juman makan korban. Tapi 17 Agustus tetap meriah.

Sore tadi aku dengar bunyi pluit. Pluit yag memanggil pulang kenangan. Priiiiit. Merdeka.

*"Nana, apakah kamu melihat Ame Juman?". "Saya tidak melihatnya Mama". "Lho, sejak tadi saya sudah mendengar bunyi pluitnya". "Aduh Mama, itu bunyi pluit kami".

Jumat, 05 Agustus 2016

IDUL FITRI DAN KERAHIMAN ALLAH

(Memaknai Pesan Idul Fitri 1437 Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama)

Oleh RD. Hans K Jeharut
Pastor, Ketua Komisi Kepemudaan Keuskupan Pangkalpinang

Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue) di Vatikan menerbitkan pesan Ramadhan dan Idul Fitri 1437 Hijriah kepada umat Islam di seluruh dunia. Pesan yang dikeluarkan di Vatikan tanggal 10 Juni 2016  ditandatangani Kardinal Jean-Louis Tauran  dan Uskup Miguel รngel Ayuso Guixot, M.C.C.I., masing-masing Presiden dan Sekretaris Dewan diberi judul Christians and Muslims: Beneficieries and Instruments of Divine Mercy (Orang Kristen dan Muslim: Pembawa Sukacita dan Instrumen Kerahiman Ilahi)

Ucapan selamat ini menjadi tradisi Vatikan, yang menegaskan kembali sikap Gereja Katolik terhadap saudara-saudari Muslim seperti terungkap dalam  Nostra Aetate (Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristiani) buah Konsili Vatikan II limapuluh tahun silam. Nostra Aetate secara khusus menyapa kaum muslim : “Gereja [juga] menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan hari pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa.  Memang benar, disepanjang zaman cukup sering timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan. (NA, art. 3)

Ungkapan dan pengakuan yang tulus ini lahir dari kesadaran baru setelah melihat, mengalami dan merefleksikan perjalanan panjang peradaban manusia dengan segala dinamikanya. Perjalanan yang di beberapa titiknya juga menampilkan episode konflik, bahkan perang. Kesadaran yang membuat Gereja Katolik mendefinisikan kembali keberadaannya di antara sesama insan beriman dan merumus ulang cara pandangnya terhadap kaum beriman dari agama lain.

Wajah Belaskasih, Wajah Kerahiman

Pesan Idul Fitri kali ini menjadi semakin istimewa karena Gereja Katolik sedang merayakan Yubileum Luar Biasa Kerahiman Ilahi (Extraordinary Jubilee of Mercy ), yang berlangsung 8 Desember 2015 – 20 November 2016. Yubileum Kerahiman Ilahi ini mengambil tema “Bermurah Hati Seperti Bapa”.  Umat Katolik diundang untuk mengikuti teladan Bapa yang murah hati, yang tidak menghakimi atau menghukum tetapi mengampuni serta memberi kasih dan pengampunan tanpa batas. Undangan untuk berbelaskasih dan memiliki semangat pengampunan ditegaskan kembali dalam pesan Idul Fitri 2016 (1437 H) nomor kedua, “… Sebuah tema yang sangat dekat di hati umat Kristen dan Muslim adalah “Rahmat”. Kita tahu bahwa Orang Kristen dan Islam percaya kepada Allah yang berbelas kasih, yang menunjukkan kasih sayang-Nya kepada semua makhluk ciptaan-Nya, secara khusus kepada manusia. Allah menciptakan kita dengan kasih yang begitu besar. Ia menjaga dan merawat kita dengan penuh belas kasih, menganugerahkan kepada kita rahmat yang dibutuhkan dalam hidup sehari-hari seperti makanan, tempat tinggal dan keamanan. Belas kasih Allah sungguh-sungguh dinyatakan melalui cara tertentu, melalui pengampunan atas segala dosa kita; Ia maha pengampun (Al-Ghรกfir) dan Ia terus bahkan selalu mengampuni (Al-Ghafour)”.

Belaskasih dan pengampunan menjadi tema sentral dan pesan utama. Belaskasih yang jauh dari sekedar rasa iba dan kasihan yang sentimentil. Belaskasih adalah identitas Allah. Allah adalah kasih.  Belaskasih membawa pengampunan. Pengampunan menghasilkan kedamaian. Vatikan mendorong umat Kristiani dan Islam untuk memberi perhatian terhadap mereka yang kondisinya terpuruk dalam konflik dan peperangan, korban perdagangan manusia, kaum miskin, penderita sakit, korban bencana alam serta pengangguran yang diakibatkan oleh ketidakadilan sosial. Inilah wajah kita, wajah dunia dewasa ini. Kita dipanggil untuk menjawab dan mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Persoalan-persoalan yang sedemikian pelik tidak mungkin bisa diatasi hanya dengan kekuatan satu kelompok, betapapun besar dan kuatnya kelompok tersebut. Persoalan-persoalan ini hanya bisa dijawab dengan kerjasama yang tulus dan jujur melampaui sekat-sekat apa pun, termasuk agama. Ketika itu terjadi maka ,” kita memenuhi ajaran penting dalam agama kita masing-masing dan menunjukkan kasih dan kebaikan Tuhan, menjadi saksi akan keyakinan iman kita masing-masing baik terhadap setiap orang maupun komunitas yang dijumpai”, demikian bagian akhir Pesan Idulfitri ini.
Tantangan bagi kaum beragama dewasa ini melampaui tuntutan-tuntutan kesalehan ritual. Karena pada saat yang sama kesalehan ritual dipanggil untuk berhadapan dengan kenyataan sosial yang mempertontonkan secara gamblang penderitaan dalam aneka wajahnya. Tugas kitalah mewujudkan pesan ini dalam kehidupan nyata. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 H. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat kembali ke fitrah, selamat berbagi cinta kasih.
*Dipublikasikan di “Bangka Pos”, Selasa 5 Juli 2016



Pilkada Dan Generasi Pokemon


Oleh Hans K Jeharut
(Komisi Kerawam Kevikepan Bangka Belitung – Keuskupan Pangkalpinang)

“Sekarang ini proses demokrasi kita diwarnai keterlibatan yang sangat besar dan signifikan anak-anak muda yang disebut generasi digital”, demikian ungkap Sebastian Salang – Kordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (FORMAPPI) dalam diskusi terbatas beberapa waktu lalu di Pangkalpinang. Bangkitnya apa yang disebut “Generasi Digital” mengingatkan kita akan fakta bahwa, pertama, teknologi komunikasi digital berperan penting mengubah pola perilaku manusia termasuk pola perilaku berpolitik. Kedua, telah muncul generasi baru yang punya gaya sendiri dalam berpolitik, termasuk cara mereka  mengekspresikan pendapatnya. Ini menjadi ajakan dan peringatan (warning) bagi generasi yang lebih tua bahwa jaman telah bergerak maju dan berubah, karena itu harus mencari dan menemukan formula baru untuk membaca tanda-tanda zaman dan menanggapinya.

Dari sudut pandang politik sebagai upaya-upaya yang dilakukan demi kesejahteraan umum/kebaikan bersama (bonum communae), fenomena generasi digital ini menarik. Jagad Politik Indonesia hampir tiga tahun terakhir memunculkan apa yang dikenal sebagai ‘relawan’ (volunteer) dengan berbagai nama dan bendera. Mereka adalah generasi muda berusia rata-rata awal 20-an tahun sampai 30-an tahun dari beragam profesi dan latarbelakang. Mereka dipersatukan oleh keprihatinan yang sama dan dan dipertemukan di jagad maya. Anak-anak muda ini - yang lahir sekitar paruh kedua tahun delapanpuluhan dan awal sembilanpuluhan - adalah generasi yang berinteraksi satu sama lain lewat jejaring sosial. Mereka mempunyai akun facebook, tergabung di berbagai milis group, rajin cuit di tweeter, punya grup di whatsapp dan sehari-hari berelasi, berkomunikasi dan berinteraksi melalui media jejaring sosial dunia maya tersebut. Salah satu ciri gaya berkomunikasi di jejaring sosial adalah egaliter. Siapa pun yang terdaftar dan masuk di dalamnya mesti menempatkan diri sebagai kawan setara, baik dalam diskusi dengan paham yang sama, maupun ketika berargumentasi mempertahankan paham yang berbeda. Ciri egaliter ini mempersatukan banyak orang, karena tidak ada yang lebih superior dan karenanya mempunyai otoritas penuh untuk memaksakan kehendak dan sebaliknya tidak ada yang perlu merasa anak bawang dan karenanya tidak punya hak untuk mengemukakan pendapat, bahkan untuk mengemukakan bahwa ia berbeda pendapat. Majalah TEMPO (19 – 21 Desember 2014) menobatkan para relawan sebagai “Tokoh Pilihan 2014”. Pilihan yang antara lain didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka -para relawan ini- telah memberi sumbangan yang berarti pada proses demokrasi kita, serentak penghargaan akan kerja cerdas mereka memanfaatkan teknologi dan jejaring social untuk mendorong perubahan politik.

Pelajaran lain yang kita petik dari kemunculan ‘Generasi Digital’ ini adalah kemampuan mereka untuk menerobos mampetnya saluran aspirasi politik lewat saluran-saluran formal, sekaligus mengingatkan kedaulatan yang dipunyai oleh warga negara berhadapan dengan institusi-institusi, termasuk partai politik. Fenomena yang terakhir ini dapat kita lihat pada sekelompok anak muda yang di media dikenal sebagai “Kawan Ahok”. Terlepas dari pro kontra yang ditimbulkan, ‘Kawan Ahok’ menunjukkan kemampuan mereka mengkonsolidasi dukungan melalui jejaring sosial, maupun jejaring relawan yang bekerja dengan basis teknologi yang baik sehingga menggalang satu juta pendukung. Kawan-kawan Ahok ini berhasil menunjukkan ke publik bahwa masyarakat mampu mengkonsolidasikan diri dengan baik dengan bantuan teknologi informasi untuk mendorong sebuah perubahan. Dampak politis dari upaya anak-anak muda ini adalah kesediaan dan kerelaan partai-partai politik untuk mendukung Ahok tanpa syarat dan tanpa mahar. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat punya posisi tawar terhadap partai politik. Dampak lanjutan yang lain adalah semakin murahnya secara finansial  sebuah proses pertarungan politik karena para kandidat tidak (perlu) membayar mahar kepada partai. Mahar politik yang selama ini tak pernah terang-terangan diakui ditengarai menjadi salah satu sebab syaratnya penyelenggaraan kekuasaan dengan proses transaksional.

Jika mau mengambil pelajaran positif dari fenomena sosial munculnya generasi digital dalam proses partisipasi publik maka ini adalah pelajaran penting bagi partai politik dan para calon kepala daerah. Pelajaran pentingnya adalah, pertarungan politik bukan melulu pertarungan partai-partai politik. Jika sebelum ini partai politik mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam penentuan siapa yang diusung dan dicalonkan untuk menjadi kepala daerah, generasi digital ini menunjukkan bahwa mereka juga punya kedaulatan yang bisa membuat partai politik tunduk. Pelajaran lainnya adalah, partai-partai politik mulai saat ini harus melirik dan memperhitungkan dengan serius peran serta dan partisipasi generasi digital ini dalam kerangka membangun opini, menggalang dukungan dan mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan serta pilihan rasional kepada publik/pemilih. Bagi publik, pelajaran yang bisa dipetik adalah sekaranglah saatnya teknologi komunikasi bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mempengaruhi dan mendorong partisipasi politik dan dengan demikian ikut berperan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang baik, berpihak kepada rakyat dan amanah menjalankan kekuasaannya.

Pemilihan Kepala Daerah Gubernur Propinsi Bangka Belitung 2017 telah di depan mata. Sudah banyak kandidat yang mulai memperkenalkan diri ke publik. Para kandidat beserta pendukungnya mesti dengan cermat memperhitungkan efek generasi digital ini bagi popularitas dan elektabilitas mereka. Anak-anak generasi digital ini – ibarat bermain pokemon – punya pokeball yang akan mereka pakai dengan bantuan GPS menangkap pokemon incaran mereka. Mereka independen dan punya kalkulasi politik sendiri yang tak bisa diintervensi dalam menentukan pilihannya, yang pada gilirannya juga memengaruhi orang lain dan publik menjatuhkan pilihannya.

*Dipublikasikan di Harian “Bangka Pos”, Rabu 10 Agustus 2016, hlm 7

Mgr. Hilarius : Sang Gembala Pembangun Jembatan

(mengenang 100 hari Meninggalnya YM Mgr.Hilarius Moa Nurak, SVD)

Kabar duka itu datang dari negeri di seberang laut, Ruang ICU Mount Alvernia Hospital, Singapore. Jumat 29 April 2016, pukul 13.15 WIB (14.15 Waktu Singapore), “Bapa Uskup telah meninggalkan kita”. Pesan itu tiba di tengah suasana yang kalut setelah sebelumnya sudah beredar kabar melalui media sosial bahwa Bapa Uskup Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD sudah meninggal. Berita yang menyebar dengan cepat dan dengan segera pula disebarkan ke berbagai pihak. Padahal ketika itu Bapa Uskup sedang ‘on dying’, sebuah proses melewati titian tipis batas antara kehidupan dan kematian, batas yang seperti titian serambut dibelah tujuh. Mgr. Hilarius meninggal setelah mengalami koma selama kurang lebih sepuluh hari.

Ada banyak hal yang dikenang dari seorang tokoh yang meninggal, apalagi ketika itu adalah tokoh spiritual sekaliber uskup. Namun ketokohan yang disematkan pada beliau dalam banyak hal memunculkan paradoks. Paradoks yang kontradiksinya semakin menguat manakala ditempatkan dalam konteks kekinian berkaitan dengan kepemimpinan dan relasi-relasi yang terjalin di dalamnya. Post factum kita kemudian menemukan butir-butir mutiara yang bisa menjadi pelajaran berharga.

Uskup ‘Sang Gembala’

Umat Katolik menyapa para pemimpin rohani tertahbisnya dengan sebutan ‘pastor’, kata Latin yang berarti gembala. Secara hirarkis seorang uskup adalah Gembala Utama. Gembala - analogi yang diambil dari relasi yang lazim dalam kehidupan budaya petani-peternak - menggambarkan relasi yang khas, pun ketika itu ditempatkan dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaan. Seorang gembala adalah seorang pemimpin. Sebagai pemimpin gembala harus memenuhi beberapa karakter khas yang secara “conditio sine qua non’ wajib ada. 

Pertama, mengenal kawanannya. Pengenalan dalam pengertian biblis alkitabiah tidak hanya berkaitan dengan kemamuan memori untuk mengingat seseorang atau peristiwa dan kemudian merekamnya dalam kesadaran untuk sesewaktu muncul kembali ketika dibutuhkan. Mengenal artinya mengetahui dengan baik seluruh aspek, terikat secara emosional dalam relasi yang akrab dan tahu apa yang dibutuhkan dengan segala cita rasa dari kawanan yang dipimpin. Mengenal adalal kualitas yang wajib dimiliki seorang gembala. Mgr. Hilarius dalam konteks sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik di wilayah keuskupan Pangkalpinang propinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Propinsi Kepulauan Riau) menunjukkan secara sangat baik – par exelence – pengenalan ini. Proses pengenalan yang dimulai secara sangat harafiah dan sederhana : mempelajari peta wilayah Bangka, Belitung dan Kepulauan Riau segera setelah beliau diumumkan secara resmi menjadi Uskup Keuskupan Pangkalpinang pada 2 Mei 1987 oleh Sri Paus Yohanes Paulus II. 2 Mei yang kemudian menjadi sejarah, karena dua puluh Sembilan tahun kemudian, 2 Mei 2016 raga Mgr. Hilarius dimakamkan di tanah Bangka, tempat yang selama hampir dua puluh sembilan tahun dilayaninya. Pengenalan itu secara kualitatif meningkat seiring kedatangannya ke Pangkalpinang dan interaksi intensif dengat umat, masyarakat umum, maupun dengan alam geografis keuskupan Pangkalpinang. Mgr. Hilarius mengenal kawanannya. Beliau menyelami, mendengar, menyerap kisah mereka untuk kemudian bersama-sama mereka merefleksikan dan mencari jawab dalam terang iman berbagai problem kehidupan. Beliau menyebut itu “Gereja Partisipatif”, gereja yang memberi ruang untuk semua anggota kawanannya ambil bagian dalam kehidupan menggereja dan menyumbang hal-hal baik demi mutu hidup bersama baik secara jasmani, maupun mutu hidup rohani. Keberanian untuk melibatkan orang untuk ambil bagian dalam kepemimpinan hanya mungkin jika Sang Pemimpin mengenal orang-orang yang dipimpinnya dan percaya bahwa mereka punya potensi yang bisa disumbangkan untuk kehidupan bersama. Di sini wajah kepemimpinan tidak lagi melulu soal siapa paling tinggi dan berkuasa, tetapi kepemimpinan adalah gerak bersama menuju kesejahteraan dan kebaikan bersama, pro bonum commmunae. 

Kedua, tahu arah yang tepat untuk mengarahkan kawanannya. Kualitas ini menuntut kemampuan direktif seorang pemimpin. Kemampuan direktif yang menuntut seorang tidak saja duduk dibelakang meja direktur dan dari belakang mejanya ia menyampaikan perintah-perintah untuk dilaksanakan, melainkan pemimpin yang terlibat dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan kawanan gembalaannya. Analogi pemazmur tentang seorang gembala yang menuntun kawanan dombanya ke padang rumput yang hijau dan membimbing domba-domba ke sumber air secara sangat indah mendeskripsikan pemimpin umat (gembala) seperti apa yang dibutuhkan. Dalam berbagai kesempatan Mgr. Hilarius mengungkapkan petuah dengan membandingan analogi ini. Sebagai uskup saya harus tahu di mana ada padang rumput hijau yang baik. Saya juga harus tahu di mana ada sumber air yang baik. Hanya dengan demikian saya bisa mengarahkan umat (kawanan) supaya mereka menikmati ‘rumput’ yang baik dan minum dari sumber air yang baik, demikian kata beliau pada satu ketika di hadapan imam-imam Keuskupan Pangkalpinang. Kualitas ini juga secara sangat menonjol kita temukan dalam diri gembala bersahaja ini. Kunjungan-kunjungan kegembalaan beliau sebagai Pemimpin Gereja tidak pernah dihabiskan untuk seremonial basa basi yang kemudian dipublikasikan untuk mendapat puja puji dan pengakuan. Beliau datang menyapa. Mendengar kisah. Berpikir untuk mencari jalan keluar. Kebijakan-kebijakan yang lahir kemudian adalah jawaban setelah refleksi mendalam apa persis yang dialami umat dan tanggapan pastoral seperti apa yang ditawarkan kepada mereka.

Ketiga, mampu menjaga kawanannya. Seorang gembala adalah seorang ‘guardian’. Ia mesti menjaga kawanannya dan memastikan bahwa mereka aman dalam penjagaannya. Kualitas ini bukan saja perlu untuk menciptakan rasa aman, tetapi terutama dibutuhkan untuk memberi jaminan bahwa kawanan yang dipimpinnya terlindung dari serangan-serangan dari luar. Sistem proteksi yang dibangun seorang gembala tentu tidaklah sama dengan prajurit tentara yang menjaga dengan kekuatan senjata. Proteksi utama adalah ‘rasa aman’ : rasa yang membuat orang merasa damai dan tidak takut menghadapi badai kehidupan yang tidak pasti ini. Mgr. Hilarius – yang juga dijuluki Uskup Samudra, Bishop of the Sea – dalam kunjungan-kunjungannya ke umat, apalagi yang tinggal di pulau-pulau di wilayah Laut Cina Selatan yang ganas pernah merasakan hantaman gelombang dahsyat yang membahayakan kapalnya dan hampir merenggut nyawa. Namun beliau selamat. Ia menghadapi badai. Ia menenangkan orang-orang yang ada bersamanya. Ia membawa rasa aman. Dalam situasi kaotik karena badai persoalan yang tiba-tiba muncul, seorang gembala, seorang pemimpin, harus bisa memberi rasa aman. Mgr. Hilarius memiliki kualifikasi itu.

Uskup Pembangun Jembatan

Seorang pemimpin spiritual adalah ‘pembangun jembatan’ (pontifex) : seorang yang mejembatani hidup surga akhirat dan hidup dunia saat ini. Namun pembangun jembatan sejatinya mengingatkan tugas panggilan dan tanggung jawab seorang pemimpin, apalagi pemimpin spiritual, sebagai orang yang mesti bisa menghubungkan bermacam-macam orang apa pun latar belakang suku, bahasa, agama, afiliasi politik, ideologinya. Di tengah semangat jaman yang lebih mudah mendirikan tembok pembatas, orang diundang untuk merobohkannya untuk lalu membangun jembatan penghubung. Adegan – adegan dalam foto yang tersebar di berbagai media cetak maupun online, yang direkam secara pribadi dan dibagi kepada sesama pengguna media soial menunjukkan betapa Mgr. Hilarius adalah seorang “Pembangun Jembatan”. Yang hadir dan menunjukkan duka mendalam bukan hanya umat Katolik. Berbagai kelompok hadir, secara pribdi, sebagai kelompok, atas nama organisasi baik organisasi keagaamaan maupun kemasyarakan, tidak saja menunjukkan betapa luasnya spektrum pergaulan Mgr. Hilarius. Kereta jenasahnya ditarik oleh saudara-saudara bukan Katolik. Peti jenasahnya tidak saja diusung oleh keluarga dan pastor-pastornya, tetapi juga diusung oleh anak-anak muda Banser Nahdatul Ulama dan Gerakan Pemuda Anshor Bangka Belitung. Mgr. Hilarius bersahabat dengan banyak orang. Ia mencintai mereka dengan tulus. Cinta yang tulus adalah bahasa hati. Bahasa yang lahir dari kebeningan budi. Di sini wajah agama – yang direpresentasikan oleh pemimpin-pemimpinnya – menunjukkan wajah yang teduh. Jauh dari kekerasan yang mematikan. Karena yang dibangun bukan tembok pemisah, tapi jembatan penghubung.

Selamat jalan Bapa Uskup. Selamat pulang ke rumah abadimu. Berdoalah untuk kami seperti selalu engkau ingatkan “EGO AUTEM ROGAVI PRO TE” : aku telah berdoa untuk engkau. Berdoalah untuk kami semua. 


Dimuat di Harian Bangka Pos, Rabu, 4 Mei 2016 hlm. 7

๐‘๐”๐Œ๐€๐‡ ๐“๐€๐๐†๐†๐€, ๐๐”๐Š๐€๐ ๐‘๐”๐Œ๐€๐‡ ๐ƒ๐”๐Š๐€

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...