Jumat, 05 Agustus 2016

Pilkada Dan Generasi Pokemon


Oleh Hans K Jeharut
(Komisi Kerawam Kevikepan Bangka Belitung – Keuskupan Pangkalpinang)

“Sekarang ini proses demokrasi kita diwarnai keterlibatan yang sangat besar dan signifikan anak-anak muda yang disebut generasi digital”, demikian ungkap Sebastian Salang – Kordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (FORMAPPI) dalam diskusi terbatas beberapa waktu lalu di Pangkalpinang. Bangkitnya apa yang disebut “Generasi Digital” mengingatkan kita akan fakta bahwa, pertama, teknologi komunikasi digital berperan penting mengubah pola perilaku manusia termasuk pola perilaku berpolitik. Kedua, telah muncul generasi baru yang punya gaya sendiri dalam berpolitik, termasuk cara mereka  mengekspresikan pendapatnya. Ini menjadi ajakan dan peringatan (warning) bagi generasi yang lebih tua bahwa jaman telah bergerak maju dan berubah, karena itu harus mencari dan menemukan formula baru untuk membaca tanda-tanda zaman dan menanggapinya.

Dari sudut pandang politik sebagai upaya-upaya yang dilakukan demi kesejahteraan umum/kebaikan bersama (bonum communae), fenomena generasi digital ini menarik. Jagad Politik Indonesia hampir tiga tahun terakhir memunculkan apa yang dikenal sebagai ‘relawan’ (volunteer) dengan berbagai nama dan bendera. Mereka adalah generasi muda berusia rata-rata awal 20-an tahun sampai 30-an tahun dari beragam profesi dan latarbelakang. Mereka dipersatukan oleh keprihatinan yang sama dan dan dipertemukan di jagad maya. Anak-anak muda ini - yang lahir sekitar paruh kedua tahun delapanpuluhan dan awal sembilanpuluhan - adalah generasi yang berinteraksi satu sama lain lewat jejaring sosial. Mereka mempunyai akun facebook, tergabung di berbagai milis group, rajin cuit di tweeter, punya grup di whatsapp dan sehari-hari berelasi, berkomunikasi dan berinteraksi melalui media jejaring sosial dunia maya tersebut. Salah satu ciri gaya berkomunikasi di jejaring sosial adalah egaliter. Siapa pun yang terdaftar dan masuk di dalamnya mesti menempatkan diri sebagai kawan setara, baik dalam diskusi dengan paham yang sama, maupun ketika berargumentasi mempertahankan paham yang berbeda. Ciri egaliter ini mempersatukan banyak orang, karena tidak ada yang lebih superior dan karenanya mempunyai otoritas penuh untuk memaksakan kehendak dan sebaliknya tidak ada yang perlu merasa anak bawang dan karenanya tidak punya hak untuk mengemukakan pendapat, bahkan untuk mengemukakan bahwa ia berbeda pendapat. Majalah TEMPO (19 – 21 Desember 2014) menobatkan para relawan sebagai “Tokoh Pilihan 2014”. Pilihan yang antara lain didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka -para relawan ini- telah memberi sumbangan yang berarti pada proses demokrasi kita, serentak penghargaan akan kerja cerdas mereka memanfaatkan teknologi dan jejaring social untuk mendorong perubahan politik.

Pelajaran lain yang kita petik dari kemunculan ‘Generasi Digital’ ini adalah kemampuan mereka untuk menerobos mampetnya saluran aspirasi politik lewat saluran-saluran formal, sekaligus mengingatkan kedaulatan yang dipunyai oleh warga negara berhadapan dengan institusi-institusi, termasuk partai politik. Fenomena yang terakhir ini dapat kita lihat pada sekelompok anak muda yang di media dikenal sebagai “Kawan Ahok”. Terlepas dari pro kontra yang ditimbulkan, ‘Kawan Ahok’ menunjukkan kemampuan mereka mengkonsolidasi dukungan melalui jejaring sosial, maupun jejaring relawan yang bekerja dengan basis teknologi yang baik sehingga menggalang satu juta pendukung. Kawan-kawan Ahok ini berhasil menunjukkan ke publik bahwa masyarakat mampu mengkonsolidasikan diri dengan baik dengan bantuan teknologi informasi untuk mendorong sebuah perubahan. Dampak politis dari upaya anak-anak muda ini adalah kesediaan dan kerelaan partai-partai politik untuk mendukung Ahok tanpa syarat dan tanpa mahar. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat punya posisi tawar terhadap partai politik. Dampak lanjutan yang lain adalah semakin murahnya secara finansial  sebuah proses pertarungan politik karena para kandidat tidak (perlu) membayar mahar kepada partai. Mahar politik yang selama ini tak pernah terang-terangan diakui ditengarai menjadi salah satu sebab syaratnya penyelenggaraan kekuasaan dengan proses transaksional.

Jika mau mengambil pelajaran positif dari fenomena sosial munculnya generasi digital dalam proses partisipasi publik maka ini adalah pelajaran penting bagi partai politik dan para calon kepala daerah. Pelajaran pentingnya adalah, pertarungan politik bukan melulu pertarungan partai-partai politik. Jika sebelum ini partai politik mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam penentuan siapa yang diusung dan dicalonkan untuk menjadi kepala daerah, generasi digital ini menunjukkan bahwa mereka juga punya kedaulatan yang bisa membuat partai politik tunduk. Pelajaran lainnya adalah, partai-partai politik mulai saat ini harus melirik dan memperhitungkan dengan serius peran serta dan partisipasi generasi digital ini dalam kerangka membangun opini, menggalang dukungan dan mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan serta pilihan rasional kepada publik/pemilih. Bagi publik, pelajaran yang bisa dipetik adalah sekaranglah saatnya teknologi komunikasi bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mempengaruhi dan mendorong partisipasi politik dan dengan demikian ikut berperan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang baik, berpihak kepada rakyat dan amanah menjalankan kekuasaannya.

Pemilihan Kepala Daerah Gubernur Propinsi Bangka Belitung 2017 telah di depan mata. Sudah banyak kandidat yang mulai memperkenalkan diri ke publik. Para kandidat beserta pendukungnya mesti dengan cermat memperhitungkan efek generasi digital ini bagi popularitas dan elektabilitas mereka. Anak-anak generasi digital ini – ibarat bermain pokemon – punya pokeball yang akan mereka pakai dengan bantuan GPS menangkap pokemon incaran mereka. Mereka independen dan punya kalkulasi politik sendiri yang tak bisa diintervensi dalam menentukan pilihannya, yang pada gilirannya juga memengaruhi orang lain dan publik menjatuhkan pilihannya.

*Dipublikasikan di Harian “Bangka Pos”, Rabu 10 Agustus 2016, hlm 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

π‘π”πŒπ€π‡ 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, ππ”πŠπ€π π‘π”πŒπ€π‡ πƒπ”πŠπ€

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...