17 Agustus datang lagi. Baris-berbaris.Karnaval. Lomba-lomba. Hiburan rakyat. Apel bendera. Selalu begitu setiap tahun, tapi tetap dirayakan. Meriah itu relatif.
Saya hanya ingat satu sosok, Ame Juman. Kecintaannya pada republik ini tidak diragukan. Ia Indonesia sampai ke sumsumnya. NKRI harga mati. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945 (sebelum diamandemen, maupun pasca amandemen). Dia membatalkan semua agenda pribadi tiap kali menjelang ulang tahun kemerdekaan - 17 Agustus. Satu lagi perhelatan besar yang bisa membuat dia membatalkan seluruh rencana yang lain adalah Pekan Suci menjelang Hari Raya Paskah Umat Katolik. Ini karena ada pertandingan sepakbola antar stasi. Ada kemiripan dua perayaan ini. 17 Agustus adalah Hari Proklamasi Kemerdekaan. Moment Pembebasan. Paskah juga adalah Hari Raya Pembebasan. Orang Israel mengenang sebagai saat pembebasan dari perbudakan di Mesir. Mereka merdeka dari perbudakan di bawah pimpinan Musa. Ah ini sudah menyimpang terlalu jauh.
Soal pokoknya itu tadi, Ame Juman memandang istimewa dua hari ini. Dia akan sangat serius memperhatikan anak-anak sekolah yang latihan baris berbaris. Kadang-kadang maksud baiknya mengacaukan. Itu karena dia punya PLUIT sendiri. Pluit ini dibunyikan kapan saja dia mau. Bunyi pluit yang keluar sembarang waktu inilah yang mengacaukan. Anak-anak sering bingung : ada yang tiba-tiba berhenti bergerak, padahal komandan regu belum mengeluarkan perintah berhenti. Itu gara-gara pluit Ame Juman. Atau sebaliknya, sedang istirahat di tempat tiba-tiba segera siap sempurna. lagi-lagi karena bunyi pluit tidak resmi Ame Juman.
Untuk kami di rumah - Ame Juman ini tamu tetap - pluit ini punya arti lain. Kalau sudah mendengar pluit dari radius tertentu itu pertanda Ame Juman sudah dekat. Artinya sudah bisa dibikinkan kopi, tanpa menunggu dia tiba di ruang tamu rumah. Tentang ini ada insiden kecil. Akhir tahun 1990-an Bapa dan mama pindah tugas. Rumah dinas bertetangga dengan Kantor Camat. suatu hari menjelang 17 Agustus, mama saya mendengar bunyi pluit. Ah Ame Juman pasti. Anak yang membantu di rumah disuruh membuat kopi. Kopi sudah siap. dihidangkan di meja. menunggu sekian lama Ame Juman tak muncul. Mama keluar ke halaman. Tidak ada siapa pun. Mama ke kantor Camat dan bertanya pada hansip-hansip yang sedang latihan berbaris, "Nana, cala ita Amed Juman tite?". "Toe manga ta Mama". "Hae bao main laku dengen runing pluit ghia". "Darat Mama, pluit ghami ghitu"*. Pluit Amed Juman makan korban. Tapi 17 Agustus tetap meriah.
Sore tadi aku dengar bunyi pluit. Pluit yag memanggil pulang kenangan. Priiiiit. Merdeka.
*"Nana, apakah kamu melihat Ame Juman?". "Saya tidak melihatnya Mama". "Lho, sejak tadi saya sudah mendengar bunyi pluitnya". "Aduh Mama, itu bunyi pluit kami".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar