Minggu, 08 November 2020

Sang Relikwi Hidup (Catatan- catatan Kecil Bersama Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap)

+ Medan, 7 November 2020

Kabar duka itu tiba kira-kira pukul 18.15 : Mgr. Anicetus Sinaga meninggal di RS St. Elisabeth, Medan. Sejak 19 Oktober 2020 beliau dirawat di sana. Banyak orang bisa berkisah tentang Mgr. Anicetus. Saya bersyukur pernah mengalami dari dekat kebersamaan dengan beliau. Saya menjadi Sekretaris Mgr. Anicetus dari 12 Juli 2002 s.d 3 Januari 2004 saat beliau secara resmi diumumkan menjadi Uskup Coadjutor Keuskupan Agung Medan. Mgr. Anicetus adalah figure yang luar biasa : cerdas, saleh, rendah hati dan murah hati. Paduan yang sangat langka, membuatnya layak paripurna. Ia diangkat menjadi Perfektur Apostolik Sibolga pada 11 November 1978, pada usia tergolong muda, 37 Tahun. Ditahbiskan sebagai Uskup Keuskupan Sibolga pada 6 Januari 1981 oleh Paus Yohanes Paulus II di Vatican. Tentang ini kadang-kadang beliau berseloroh, “saya ini relikwi hidup, karena yang mentahbiskan saya Orang Kudus”. Setelah 23 tahun menjadi Uskup Sibolga, pada tanggal 3 Januari 2004 diangkat menjadi Uskup Coadjutor Keuskupan Agung Medan. Bapa Uskup sedang menjalani retret pribadi di Biara Klaris Sikeben ketika diberitahu oleh Nuncio Apostolik bahwa Sri Paus telah mengangkatnya sebagai Uskup Coadjutor KAM. Sepulang dari Sikeben beliau menyampaikan ke kalangan terbatas di Kuria. Belum diumumkan karena menunggu pengumuman resmi dari Vatican. Secara pribadi beliau juga setuju diumumkan setelah tahun baru. “kepindahan ini mungkin bukan hadiah natal dan tahun baru yang baik untuk umat”, katanya bergurau dengan tawanya yang khas. Maka sejak 2004 beliau pindah ke Medan sampai pensiun pada 8 Desember 2018 bersamaan dengan diangkatnya Mgr. Kornelis Sipayung menjadi Uskup Agung Medan. Pasca Pentahbiskan Mgr. Kornelis beliau ‘kembali’ ke Sibolga, karena sebelumnya juga sudah diangkat menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Sibolga, sepeninggal Mgr. Ludovicus Simanullang, OFMCap. Ketika bertemu dalam tawanya yang riang beliau masih bergurau, “Saya ini sudah lengkap. Jadi Perfektur Apostolik, Uskup, Uskup Coajutor, Uskup Agung dan Administrator Apostolik. Hanya jadi Kardinal dan jadi Paus yang belum pernah”.

Anak Muda di Sinilah Ruanganmu

Saya diangkat sebagai Sekretaris Uskup begitu menyelesaikan Pendidikan di STFT St. Yohanes. Tiga hari setelah menerima tahbisan Diakonat, 9Juli 2002, saya memulai tugas sebagai Sekretaris Uskup. Sekembali dari Pangaribuan tempat tahbisan diakon, tanggal 12 Juli 2002 saya mulai masuk kantor!. Sebelum saya, beberapa tahun Mgr. Sinaga tanpa sekretaris. Tugas sekretaris dirangkap. Pernah oleh Rm. Joko, OSC yang merangkap sebagaiVikjen. Maka ketika saya datang, ruang kerja sudah lama tidak ditempati. Pst. Marinus Telaumbanua,OFMCap – Vikjen waktu itu – menunjukkan ruang kerja saya, persis berhadapan dengan ruang kerja Bapa Uskup di lantai dua. Mgr. Sinaga dengan gayanya yang khas datang menghampiri kami dan berkomentar, “anak muda, di sinilah ruanganmu”. Sejak saat itu saya menjadi sekretaris Uskup.

Sebagai sekretaris tugas rutin saya berkaitan dengan surat menyurat, SK, notulensi rapat dan mengatur jadwal-jadwal pertemuan dengan tamu atau pihak-pihak yang mau bertemu dengan Uskup. Waktu itu Mgr tidak memakai handphone. Suatu waktu ketika merapikan meja kerja Uskup, saya menemukan ada kotak yang belum dibuka berisi handphone yang masih baru. Rupanya ada umat di Jakarta yang menghadiahi beliau handphone. Beliau tidak memakai dan membiarkannya saja di meja. Ketika saya bertanya, “kenapa tidak dipakai Mgr?”. “ah biarlah di situ”. Tetapi tak lama kemudian beliau mengatakan, “Nanti Vikjen saja yang pakai. Dialah mewakili kita memakai barang canggih ini”. Setelah itu handphone itupun diserahkan ke Vikjen untuk dipakai.

Polyglot & Multitasking

Jadwal harian beliau sangat teratur. Bangun subuh, lalu meditasi. Setelah itu ibadat pagi dan merayakan ekaristi Bersama di Kapel St. Kristoforus. Hari tertentu beliau merayakan misa di Kapel Susteran OSF. Setelah ekaristi harian, biasanya disusul sarapan. Lalu – kalau sedang tidak ada tugas kunjungan ke Paroki atau apat di luar kota – beliau bekerja di Kantor Keuskupan yang letaknya sekitar 50 meter dari Rumah Kediaman Uskup. Beliau kutu buku. Buku-buku bacaannya dalam berbagai Bahasa. Ia satu dari sedikit orang yang tergolong polyglot : menguasai banyak bahasa. Ia fasih berbicara Bahasa Jerman, Inggris, Italy, Belanda, Perancis (bahkan punya diploma yang katanya sambil bergurau ‘bisalah untuk jadi guru SD’). Ia berbicara dalam berbagai Bahasa daerah : Batak Toba, Simalungun, Nias, Karo. Tentu saja juga menguasai Bahasa Latin dan Bahasa Indonesia. Maka bacaannya sangat kaya. Setiap kali pulang, terutama dari luar negeri Bapa Uskup biasa membawa pulang banyak buku. Selain itu banyak buku dikirim dari mana-mana untuk beliau. Beliau juga tekun menulis. Saat itu di ruang kerjanya ada dua computer PC dan satu laptop. Tiga-tiganya berfungsi dan dipakai. PC yang satu khusus untuk menulis kamus yang tiap hari selalu diisi entry baru. Komputer satunya berisi draft buku dan makalah. Sedangkan laptop sering dipakai untuk menulis surat dan artikel-artikel pendek. Kalau masuk ke ruang kerja tiga computer ini semua ‘menyala”. Beliau bisa berpindah-pindah dari computer yang satu ke computer lain tanpa kehilangan konsentrasi. Sistem penyimpanan buku di rakpun teratur. Beliau hafal letak-letaknya. Maka kalau butuh mengecek untuk catatan kaki, cukup mudah untuk menemukan. Nah salah satu tugas saya adalah mengoreksi kesalahan ketik. Karena sering beliau bekerja sampai malam dan saya sudah pulang ke rumah, maka draft naskah biasanya diletakan di depan pintu atau dimasukan ke ruangan saya melalui celah pintu, lengkap dengan paraf. Mgr. Sinaga juga ensiklopedi berjalan. Kita bisa bertanya banyak hal dan beliau menjawab dengan runtut sering disertai sumber, entah buku atau ahli yang empunya pendapat. Ketika sedang tekun menyelesaikan kamus, beliau bisa pindah menyelesaikan tulisan dengan tema lain dengan enteng, untuk kemudian membalas email atau menulis dan mengirimkan email. Selama bersama beliau, Bapa Uskup jarang sakit. Satu-satunya keluhan adalah kalau tekanan udara berubah, beliau akan peka. Kebiasaan buruknya : merokok!. Belakangan beliau berhenti total. Soal makan minum Monsinyur tidak pilih-pilih. Setelah makan beliau biasanya minum teh tanpa gula.

Nasi Padang dan Duren

Sebagai Uskup Sibolga, Mgr. Anicetus sangat dihormati dan dituakan. Banyak tokoh yang datang entah sekedar bertamu atau meminta pendapat dan pandangan-pandangan beliau. Suatu waktu serombongan Pendeta menyatakan keinginan untuk bertemu. Mgr menerima mereka di kantor. Karena asyik ngobrol, pembicaraan baru berakhir malam. Waktu makan pun sudah lewat. Saya menelpon ke rumah dan dijawab sudah tidak ada makanan karena menyangka Bapa Uskup makan di tempat lain. Beliau lalu mengeluarkan uang dari dompet, jadilah saya membeli nasi padang untuk makan malam kami.

Waktu yang lain. Di trotoar depan Kantor selalu ramai penjual duren saat musim buah itu tiba. Kami bisa menyaksikannya dari jendela kantor di lantai dua. Suatu malam saya membeli duren dan membawa ke kantor, lalu mengajak Mgr makan. Beliau ikut menikmati duren. Setelah puas makan, bekas kulitnya saya taruh di tempat sampah. Kami pun pulang ke rumah. Besok pagi, Ketika masuk kantor, Suster ngomel- ngomel karena ruangan bau duren! Saya ditegur. Dan saya tidak mau jadi korban sendirian, “Monsinyur juga ikut makan”, dalih saya.
Masih tentang makanan. Bapa Uskup tidak menuntut banyak. Apa yang disediakan akan beliau makan. Jika dalam perjalanan, beliau mau mampir di mana saja untuk makan. Tempat yang sering disinggahi adalah di daerah Balige. Bukan rumah makan terkenal. Tetapi kedai makan biasa, tempat para sopir juga biasa singgah untuk makan. Suatu kali kami bertiga ke Medan mengantar Bapa Uskup. Bapa Uskup, saya dan Pak Sitompul (sopir). Tiba di Balige Bapa Uskup mengingatkan ayo kita makan siang dulu. Kami pun mampir makan. Porsi lengkap : saksang, sop, panggang. Setelah makan, saya menunggu tapi tidak ada tanda-tanda Bapa Uskup akan membayar.
Lalu saya tanya Pak Tompul, “adong do hepeng dilehon suster ?’.
 “Adong pastor, alai tu bensin na ma on”.
 “Cukup gak bensin kita sampai ke Siantar? 
“Sampai ke Medan pun masih cukup”. 
“Sini saya pinjam dulu uangmu kalau begitu. Saya pun tidak bawa uang”. 
Kami lalu mampir di Siantar dan saya meminjam uang ke ekonom Seminari. Tiba di Medan, saya menelpon Suster di ekonomat Keuskupan,
 “Suster, kok Bapa Uskup berangkat tidak bawa uang?”. 
“ada pastor, saya masukan di amplop!”. 
Ketika Bapa Uskup pulang Kembali dari perjalanan, saya mengecek kopernya. Amplop masih utuh dan tentu saja beberapa bungkus rokok Djarum Super 16 kesayangan beliau. Beliau hanya tertawa waktu saya cerita saya sampai pinjam uang ke ekonom Seminari, rupanya Bapa Uskup punya uang dan masih utuh di koper.

Celana, Bantal Butut dan Sepatu

Pakaian Bapa Uskup biasanya dicuci dan disetrika oleh para Suster SCMM. Pakaian kotor diambil, setelah dicuci dan disetrika dikembalikan ke Rumah Uskup. Namun Bapa Uskup punya beberapa “baju kesayangan”, yang dipakai berulang-ulang, seperti tidak ada baju lain. Suatu waktu saya dan Sr. Sesilia memanggil Ci Betty untuk mengukur baju dan celana Panjang untuk Uskup. Tak lama kemudian datang beberapa stel baju dan celana baru. Saya pun diam-diam menyingkirkan beberapa baju dan celana dari lemari karena sudah kelihatan lusuh. Rupanya Bapa Uskup tahu juga. Ketika sedang membantunya di kantor, beliau bertanya, “sepertinya ada baju saya yang belum diantar”. Saya pura-pura tidak tahu dan berjanji akan bertanya ke para suster yang biasa mengurus pakaian Bapa Uskup. Setelah itu beliau tidak pernah bertanya lagi, mungkin sudah maklum.

Bantal butut. Ini tidak persis disebut bantal. Lebih tepat kumpulan baju-baju bekas yang digulung-gulung lalu menyerupai bantal dan bisa mengganjal kepala kalua tidur. Setelah makan siang Bapa Uskup tidak selalu kembali ke rumah, tetapi langsung ke kantor melanjutkan kerja, membaca atau menulis. Di sela-sela itu beliau bisa mengambil waktu beberapa menit untuk istirahat. Nah, di situlah bantal ini sangat berjasa. Beliau berbaring saja di lantai dengan kepala diganjal bantal butut ini. Suatu kali beliau pergi agak lama. Ketika merapikan kamar kerja saya – sudah lama berniat – menyingkirkan bantal ini. Saya sembunyikan di pojok laci lemari. Ketika beliau pulang, hilangnya bantal ini tidak dibahas. Aman pikirku. Eh tak lama kemudian, saya lihat bantal butut ini sudah menempati posisinya semula.

Ketika sudah resmi diumumkan akan pindah ke Medan, saya menyampaikan ke Sr. Sesilia, “tidak ada lagi sepatu dan sandal uskup yang layak pakai”. Suster meminta saya mencarikan sepatu. Lalu kami membeli dua pasang sepatu baru dan diantar ke ruang kerja beliau. Bapa Uskup tertawa Ketika disampaikan bahwa keputusan membeli sepatu ini setelah menimbang bahwa sepatu-sepatu yang ada tidak layak dibawa ke Medan. Sepatu itu beliau pakai.

Bapa Uskup terlalu banyak untuk dikisahkan pengalaman bersamamu. Bapa Uskup orang hebat dan akan tetap dikenang sebagai orang hebat. 51 tahun hidupmu sebagai Imam. 39 tahun sebagai Uskup bukanlah waktu yang pendek. Terimakasih untuk semua teladan hidupmu. Doakan kami yang masih berziarah ini. Seperti pemazmur yang juga menjadi motto episcopatmu, “ad pasquam et aquas conducit me” (Mzm 23:2), Allah menyediakan padang rumput hijau abadi dan mata air lestari bagimu. Selamat jalan Bapa Uskup….

@Pangkalpinang, 8 November 2020

Satu-satu Daun Jatuh


Verba Volant, Exempla Manent

(In memoriam Pst. Barnabas J. Winkler, OFMCap)
+ Medan, 6 November 2020
Di sela-sela pertemuan para uskup se Sumatra bersama para pemimpin tarekat religius di Tanjung Pesona – Pulau Bangka, saya berjumpa dengan rekan sekelas – sdr. Yoseph Sinaga, Kustos Kustodia Kapusin Sibolga. Dalam suasana santai selepas sessi-sessi rapat kami bernostalgia. Tiba-tiba sdr. Yoseph mengajukan pertanyaan, atau mungkin lebih tepat pernyataan, “Hans kamu cukup dekat dengan Pastor Barnabas kan?”. “Setiap tanggal 11 Juni saya masih mengingat pesta namanya”, jawab saya. Yoseph tertawa mendengar jawaban itu. “Saya ingat ingin mengirim email kepadamu, meminta kamu menulis kesan tentang Pastor Barnabas. Kami akan merayakan 50 tahun Imamatnya bulan Juni yang akan datang”. “Dengan senang hati saya akan menulis”, jawab saya.
Tentu sangat banyak yang bisa ditulis tentang seorang yang sudah menjalani 50 Tahun Imamat dan hampir memasuki usia 80 tahun, usia tertinggi manusia menurut Kitab Mazmur : delapan puluh jika kuat.
Interaksi saya dengan beliau pada awal-awal yakni kurun waktu 1994 – 2002 tidak terlalu intens. Masa itu adalah masa studi di seminari Tinggi/STFT. Perjumpaan dengan beliau sangat jarang. Namun dalam percakapan nama beliau sering sekali disebut. Saya baru sering berjumpa beliau sejak diangkat menjadi sekretaris Keuskupan Sibolga bulan Juli 2002. Ketika diangkat menjadi Sekretaris Keuskupan, di kuria keuskupan sudah ada Pst. Marinus Telaumbanua, OFMCap (alm) sebagai Vikjen dan P. Barnabas sebagai Ekonom merangkap Komisi Pembangunan Keuskupan. Di ekonomat – Bagian K dalam kode surat Keuskupan - beliau dibantu oleh Sr. Sesilia OSF dan beberapa pegawai.
Rapi Sederhana dan Teratur
Inilah kesan saya tentang Pst. Barnabas. Kerapian beliau dapat dilihat dalam seluruh aspek. Rambut selalu tersisir rapi dengan model yang nyaris tidak berubah. Dalam hal berpakaian pun beliau rapi, dengan pilihan warna yang selalu terlihat apik dan serasi. Sederhana dan elegan. Bagi saya ini bukan semata-mata karena keelokan lahiriah, beliau gagah secara fisik, tapi terlebih adalah pancaran dari keelokan batin . Pst. Barnabas tidak banyak bicara. Kesan pendiam akan langsung kelihatan bagi yang baru pertama bertemu beliau. Namun jika sudah mengenal lebih dekat akan terasa beliau adalah pribadi yang hangat. Tentang keteraturan, saya terkesan akan satu hal : beliau teratur menulis catatan harian. Seingat saya beliau menulis catatan harian dua kali sehari, pagi hari dan malam sebelum tidur. Menulis catatan harian secara teratur tentu menuntut disiplin tinggi. Selain itu ini juga menunjukkan kerendahan hati untuk ‘mendokumentasikan’ dan merekam peristiwa-peristiwa agar tidak berlalu begitu saja. Soal kedisiplinan Pst. Barnabas adalah teladan ‘par exelence” : masuk kapel untuk ibadat harian dan ekaristi, berangkat dan pulang kantor, hadir di meja makan, mengikuti rekreasi bersama.
Arsitek Multi Talenta
Salah satu yang paling dikenal dari Pst. Barnabas adalah kehandalannya dalam pembangunan. Ada banyak bangunan di wilayah Keskupan Sibolga karya Pst. Barnabas. Beliau tidak ‘menggambar’ secara utuh, namun dalam bentuk sketsa dengan coretan-coretan dan garis-garis sederhana. Bangunan-bangunan rancangan beliau mempunyai ciri khas: selaras alam – bangunan menyesuaikan dengan kontur dan struktur tanah, kokoh. Sehingga ketika gempa bumi Nias – 28 Maret 2005 – bangunan-bangunan karya tangan beliau tetap kokoh berdiri. Dalam salah satu acara jamuan makan malam di pendopo rumah dinas Bupati Nias di Gunungsitoli, Bapak Binahati Baeha, Bupati Nias waktu itu, menyampaikan bahwa rumah Dinas Bupati Nias pun hasil rancangan dan kerja pst. Barnabas. Yang istimewa, sudah membangun sesuai spek, Pst. Barnabas masih mengembalikan sisa dana yang jumlahnya belasan juta kepada pemerintah. Uang yang seharusnya menjadi hak beliau sebagai kontraktor yang membangun.
Selain arsitek brilian dalam hal bangunan fisik, Pst. Barnabas juga adalah seorang arsitek: konseptor dan perancang pastoral. Beliau berpikir dan menganjurkan cara-cara untuk menyediakan tenaga pastoral bagi keuskupan, baik tenaga pastoral tertahbis maupun tenaga pastoral awam. Semuanya dilakukan dengan tenang, tanpa riuh rendah. Tak berlebihan jika beliau disebut “Arsitek Multi Talenta”, dia merancang banyak hal!
Bencana dan Tahta Lowong
Bulan Februari 2004, Mgr. Anicetus resmi menjadi Uskup Coadjutor Keuskupan Agung Medan. Pst. Barnabas dalam rapat Dewan Imam yang dipimpin Pst. Mathias Kuppens, OSC – imam tertua dalam tahbisan yang menjadi anggota Dewan Imam Keuskupan Sibolga waktu itu – dipilih sebagai Administrator Diosesan. Sebuah pilihan – yang post factum – diakui tepat. Orang yang tepat pada tempat yang tepat di waktu yang tepat. Acara pelantikan dan perkenalan Administrator Diosesan diadakan dalam misa meriah di halaman SMP Fatima, Sibolga. Administrator Diosesan tentulah masa jabatan sementara. Hanya seberapa lama sementaranya tak seorang pun yang tahu. Karena sementara, hanya mengisi tahta lowong dan menanti uskup definitif, maka kewenangan Administrator Diosesan sangat terbatas. Pst Barnabas tidak canggung menjalankan tugas sebagai administrator diosesan. Beliau menguasai dengan baik apa yang harus dikerjakan. Lebih dari itu beliau punya kapasitas kepemimpinan. Setelah resmi menjadi Administrator Dosesan, beliau meminta saya untuk menjadi sekretaris. Saya menjadi sekretaris sampai bulan Agustus 2005 saat saya dipindah ke paroki St. Maria Bunda Para Bangsa, Gunungsitoli.
Akhir 2004 – 26 Desember 2004 – terjadi bencana tsunami di Aceh. Beberapa wilayah Keuskupan Sibolga, terutama Paroki Nias Barat, Alasa, Lahewa dan beberapa daerah lain terkena dampaknya. Perhatian pemerintah dan lembaga-lembaga internasional terfokus di Aceh. Keuskupan Sibolga, terutama Dekanat Nias, khususnya Paroki Nias Barat dan daerah terdampak lainnya harus bekerja keras. Tahap tanggap darurat dan pemulihan pasca banana tsunami dijalankan di bawah kepemimpinan Pst. Barnabas sebagai administrator.

Belum tuntas menangani dampak bencana tsunami, keuskupan Sibolga mengalami bencana dahsyat: Gempa Bumi Nias, Senin 28 Maret 2005. Gempa Bumi berkekuatan 8,7 SR memporakporandakan sebagian besar Pulau Nias. Saat gempa tejadi Pst. Barnabas sedang berada di Gunungsitoli, karena sebelumnya beliau merayakan Pekan Suci di sana. Beliau ikut menjadi korban. Tembok kamar tidur beliau roboh dan menimpanya. Beberapa jam beliau terkurung dalam reruntuhan. Pst. Barnabas berhasil dievakuasi setelah para pastor anggota komunitas st. Maria dan beberapa pastor yang kebetulan menginap di st. Maria ‘turun’ dari Biara Claris setelah sebelumnya masing-masing menyelamatkan diri menghindari tsunami. Setelah diperiksa ditemukan luka di kepala dan retak pada tulang kaki. Pada awalnya beliau berkeras untuk tetap tinggal di Gunungsitoli dan dirawat di sana. Namun karena situasi chaos dan sarana pengobatan terbatas akhirnya beliau dibawa ke Medan. Situasi benar-benar darurat: letak geografis sulit, ketersediaan sarana transportasi (kapal, mobil) sangat terbatas, sumberdaya manusia minim, dan kordinasi yang sulit. Itulah sekelumit kesulitan yang dirasakan di awal-awal bencana. Namun – Puji Tuhan – situasi chaotic perlahan-lahan bisa diatasi. Dalam hal kepemimpinan keuskupan, saat itu adalah masa “Tahta Lowong” (sede vacante). Ditambah lagi dengan cedera dan harus dirawatnya Administrator maka kepemimpinan Keuskupan Sibolga benar-benar lowong. Dalam situasi seperti itu Julius Kardinal Darmaatmaja – Uskup Agung Jakarta/Ketua KWI waktu itu – melalui sekretaris beliau Rm. Padmo menelpon saya sebagai sekretaris dan bertanya apa bantuan yang dibutuhkan. Secara khusus beliau bertanya siapa imam anggota konsultores yang bisa dihubungi dengan cepat sebagai rekan diskusi kalau ada hal-hal yang dibutuhkan. Setelah tahu bahwa sebagian besar anggota konsultores sulit dihubungi, Romo Padmo menyampaikan pesan, “..kalau ada hal yang sangat penting romo jangan segan-segan untuk menyampaikan ke Bapa Kardinal. Nanti beliau bisa membantu menginformasikan kepada para Uskup atau pihak lain terkait”. Saya menyampaikan ini ke Pst. Barnabas. Beliau tidak mau terlalu lama di RS Elisabeth. Setelah merasa agak baik, beliau kembali ke Sibolga. Dalam kondisi belum terlalu fit pasca cedera, beliau langsung memantau proses penanganan tanggap darurat. Gempa Nias menghancurkan secara fisik. Dampak lain yang tidak telalu diantisipasi adalah ‘gempa sosial’. Gempa sosial yang terjadi adalah mengalirnya jumlah bantuan ke Nias dan banyaknya Lembaga baik dalam negeri maupun luar negeri yang dating dan bekerja di Nias. Kehadiran lembaga-lembaga ini seperti dua sisi mata uang: mereka membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi di satu sisi. Di sisi lain mereka juga mengubah cara hidup dan gaya hidup masyarakat. Tentang ini para saudara pasti punya refleksi dan pengamatan masing-masing. Dalam situasi seperti itu Pst. Barnabas ‘membidani’ lahirnya Caritas Keuskupan Sibolga. Lembaga yang kemudian terlibat pada masa tanggap darurat dan penanganan pasca bencana sampai saat ini.

Sebagai Administrator Diosesan beliau berharap agar Keuskupan Sibolga segera mendapat uskup definitif. Saat beliau menjabat proses terna – tahapan memilih uskup baru – sudah berlangsung. Sampai akhir tahun 2006 belum juga ada pengumuman uskup baru. Bulan Desember 2006 dalam masa adven, Mgr. Leopoldo Girelli- Nuncio Apostolic – mengadakan kunjungan ‘incognito’ ke Nias. Kunjungan ini ‘tidak resmi’ karena dilangsungkan tanpa protokoler pemerintahan. Selain meninjau beberapa proyek pasca gempa, kesempatan ini juga dipakai untuk berbicara secara pribadi dengan Administrator dan beberapa pihak lain berkaitan dengan terna yang sedang berlangsung. Tiga bulan setelah kunjungan Nuntius, tanggal 14 Maret 2007 Vatican mengumumkan pengangkatan Pst. Ludovikus Simanullang, OFMCap sebagai Uskup Sibolga. Tanggal 20 Mei 2007 Pst. Ludovicus ditahbiskan sebagai Uskup di Lapangan Simaremare, Sibolga. Masa kepemimpinan Pst. Barnabas sebagai Administrator berlangsung kurang lebih dua tahun tiga bulan. Waktu yang tergolong singkat. Namun kurun waktu tersebut adalah masa yang tidak mudah terutama karena bencana beruntun yang terjadi. Beliau menunjukkan kualitas kepemimpinannya bisa memimpin melewati saat-saat penuh kesulitan itu. Tak banyak kata, tapi memberi contoh dengan keteladanan. Verba volant, exempla manent. Kata-kata berlalu, teladan akan tinggal tetap.
Nikon F55
Ketika akan pindah ke Gunungsitoli bulan Agustus 2005, saya menghadap beliau di ruang kerja. Saya bermaksud mengembalikan kamera Nikon F55 milik beliau yang sejak Desember 2004 saya pakai. Kamera itu saya pakai antara lain memotret beberapa moment pasca tsunami di Nias Barat dan Kondisi Nias pasca gempa 2005. Kamera Nikon ini tidak sering beliau pakai, karena Pst. Baenabas lebih suka memakai kamera sony digital yang lebih canggih, lebih kecil dan mudah dibawa bawa. Ketika menyampaikan maksud mengembalikan kamera, beliau dengan senyumnya yang khas – sedikit menedipkan mata – mengatakan ‘Hans pakai saja’. Kamera itu saya pakai dan simpan sampai sekarang, walaupun sudah sulit mendapatkan roll film. Kamera Nikon itu mengingatkan saya pada pemiliknya : seorang yang mempunyai memory fotografik dan pandangan yang jauh depan focus yang tepat.
Selamat ulang tahun emas imamat Pater. Ad multos annos. Tu es sacerdos in aeternam.

Pangkalpinang, April 2018
Hans K. Jeharut, Pr
*tulisan ini sudah dimuat dalam buku kenangan 50 Tahun Imamat Pst. Barnabas Winkler, OFMCap
[Siang ini saya dapat kabar kepergianmu. Selamat jalan Pastor. Terimakasih untuk kebaikanmu, untuk teladan hidupmu, untuk cintamu. Berbahagialah bersama Para Kudus di Surga. Sampai ketemu lagi...]




Kamis, 29 Oktober 2020

Selamat Jalan Pst. Theophil Odenthal, OFMCap

Selamat Jalan Pst. Theophil Odenthal, OFMCap
(+ Medan, 29 Oktober 2020)
Kabar duka datang lagi : Pst. Theopil Odenthal, OFMCap meninggal. Berita ini tersebar cepat melalui media social facebook dan berbagai WA grup. Beliau dikabarkan meninggal di RS Elisabeth, Medan pada Kamis 29 Oktober 2020.
Ingatanku kembali ke puluhan tahun silam. Tahun 1999 – 2000 saya menjalani tahun orientasi pastoral di Paroki St. Hilarius, Tarutung Bolak – Kecamatan Sorkam, Tapanuli Tengah Keuskupan Sibolga. Pastor pendamping saya adalah Pst. Adifeti yang setahun sebelumnya menjadi pastor rekan Pst. Theopil di Tumbajae – Manduamas. Semasa saya berkomunitas di Tarutung Bolak, pst. Theopil sering singgah di Pastoran. Biasanya dalam perjalanan ke Sibolga atau sebaliknya kembali dari Sibolga menuju Manduamas. Beliau membawa snack sendiri. Seingat saya yang paling sering dibawa adalah biscuit astor, yang bentuknya seperti tongkat. Singgah untuk ngopi ini tidak lama. Sambil ngopi kami ngobrol. Sebagai Frater saya lebih banyak mendengar. Beliau selalu berbicara dalam Bahasa Batak. Uniknya, setiap kali selesai minum kopi, astornya dibawa pulang. Tidak ditinggalkan untuk kami. Selalu begitu.
Secara periodik ada Pertemuan Pastoral Dekanat. Dua bintang yang selalu jadi perhatian : Pst. Theophil dari Manduamas dan Pst. Leonhard dari Pangaribuan. Kami, Frater – frater TOP, senang menggoda dua Saudara Tua ini. Mereka orang yang sangat menghargai pertemuan dan pendapat-pendapat, walaupun seringkali itu membosankan. Biasanya Pst. Theophil mengatasi kebosanan dengan mencoret-coret membuat sketsa di buku tulisnya. Terbanyak sketsa bangunan. Pst. Leo dengan gayanya yang khas tiba-tiba nyeletuk – datar saja – tapi membuat kita terpingkal-pingkal. Pst. Leo punya selera humor yang baik. Pst. Theophil pemikir yang serius. Pst. Theophil akan ‘cair’ kalau diajak main pingpong. Ini olahraga kegemarannya. Banyak masalah bisa selesai melalui dialog meja pingpong ini. Kalau tidak ada lawan main, ia akan mencari dan mengajak siapa pun yang bisa. Suster-suster OSF yang menjadi tetangganya di Tumba pernah kebingungan mencari Pak Manurung, sopir susteran. Rupanya Manurung diajak Pst. Theophil main pingpong dan mereka berdua main pingpong di garasi yang pintunya sengaja ditutup supaya tidak ketahuan.
Rapi, Disiplin dan Hemat
Penampilan Pst. Theophil rapi. Necis. Rambut, kumis dan jenggotnya selalu dipangkas rapi. Tukang pangkas langganannya orang Minang, di pojok dekat Mesjid Agung Sibolga. Jika mengenakan kemeja lengan panjang, dia memakai suspender. Hubert Nyoman bisa memberi kesaksian, suatu Ketika Pst. Theophil – Ketika masih sebagai Pastor paroki Padangsidempuan - diajak main sinetron oleh salah satu produser TV Nasional. Dia diminta memerankan tokoh administrator Perkebunan Belanda. Dialognya tidak Panjang. Beliau berlatih serius untuk itu. Berbicara di depan cermin dan melatih cara berjalan. Tiap kali selesai berlatih peran, beliau akan bertanya, ‘boha menurutmuna, nga mantap?’(bagaimana menurutmu sudah mantap?). Pertanyaan ini selalu dijawab, “mantap Pastor. Ai holan hamu do pastor di seluruh keuskupan na hea main film”(mantap Pastor. Hanya Pastorlah di seluruh Keuskupan ini yang pernah main film). Wajahnya sumringah dengan senyum yang khas. Saya tidak ingat apakah sinetron itu jadi ditayangkan atau tidak.
Pst. Theophil disiplin. Jadwal-jadwalnya tersusun dengan rapi dan teratur. Bahkan jam-jamnya juga sudah ditata sedemikian rupa. Kalau berangkat ke Sibolga dari Manduamas dia sudah menghitung dengan cermat waktu yang dibutuhkan, sehingga bisa mengatur di mana akan singgah untuk minum dan di mana akan makan siang. Begitu juga kalau berangkat dari Sibolga ke Medan : minum di Novisiat Parapat, makan siang di jalan Medan dan makan malam di Medan. Tentang ini selalu ada kejadian lucu. Saya mendengar kisah ini dari Pst. Boni Simanullang, OFMCap (mantan Provincial Capusin Sibolga/Dosen Kitab suci di STFT St. Yohanes, Pematangsiantar). Suatu kali pst. Theophil mengundang Pst. Boni untuk memberi Khursus Kitab Suci di Tumbajae. Pst. Theophil menjemputnya ke Siantar. Pst. Boni punya kebiasaan pribadi untuk puasa. Jadwal puasanya tepat bersamaan dengan jadwal keberangkatan ke Sibolga. Karena sudah tahu akan mengadakan perjalanan jauh, maka Pst. Boni memajukan jadwal puasanya. Dan Pst. Theophil?? Pst. Theophil tahu juga jadwal puasa Pst. Boni , dan karena itu dia mengatur hari keberangkatan pada hari puasa itu. Maksudnya jelas : tidak perlu menambah pos pengeluaran untuk makan di jalan. Masalah timbul Ketika sudah saatnya makan siang dan tidak ada tanda-tanda untuk berhenti makan. Pst. Boni bertanya, “bah, ai ndang mangan hita?" (apakah kita tidak makan?). Pst. Theophil : ‘bah ndang puasa hamu?’(=Bah kamu tidak puasa rupanya?).. hahaha akhirnya mereka mencari makan siang, bukan di kedai atau warung makan tetapi di Pastoran terdekat!! Soal hemat ini dari perspektif lain bisa berarti pelit. Saya sendiri pernah mengalaminya. Setelah ditahbiskan saya bertugas di Kuria keuskupan dan membantu di Paroki Katedral Sibolga. Suatu kali beliau datang ke ruang kerja saya. “Horas. Songon on, adong dua jadwal nuaeng na so tarisi dope. Jadi maksudku urupi hamu ma ahu. Buat ma sada di hamu”(Horas. Begini, ada dua jadwal misa yang belum terisi. maksudku, bantulah saya. Kamu ambil satu yang belum terisi itu). “Jadi Pastor”, jawabku. “las roha. Alai padaohu hamu molo marborngin di Tumba. Ninna rohakku umdenggan ma molo di pangaribuan hamu marborngin”. (=Senang hatiku kalo begitu. Tetapi terlalu jauh kalau kamu menginap di Tumba. Menurutku lebih baik kamu menginap di pangaribuan). Begitulah kemudian saya menginap di Pastoran Pangaribuan. Pst. Norbert menyambut dengan gembira. Kami menghabiskan beberapa gelas tuak berdua. Yang bikin saya tertawa, komentar Pst. Norbert, “hebat kali Theophil ini. Dimintanya kau membantu, tapi tidak ada pengeluarannya. Kau makan dan tidur di sini. Dia yang enak”. Kami sama-sama tertawa. Keesokan harinya setelah misa, pengurus stasi menyampaikan, “pastor, ndang pola taruhon hamu hepeng kolekte tu Tumba. Adong pengurus gereja marsogot tu Tumba, nasida ma pasahaton tu Paroki” (Pastor, gak perlu pastor sendiri mengantar kolekte ke Tumba. Besok ada pengurus Gereja yang ke Paroki. Biarlah mereka yang mengantar ke Paroki). “Denggan molo songoni”(=Baiklah kalau begitu). Saya pulang ke Sibolga.
Tak sampai sebulan berlalu, beliau datang lagi. “Horas di hamu. Bah las hian rohani ruas i mambege jamittamu. Sai diingot nasida. Jadi boha ma, marsiurupan ma hita. Maksudku molo boi nian hamu ma misa di Tumba”(Horas. Wah senang sekali hati umat mendengar kotbahmu. Masih mereka ingat. Jadi, bagaimana. saling membantulah kita. Kalau bisa kamu misa di Tumba). Sangat sulitlah menolak permintaan ini. Saya pun memenuhi permintaannya. Setelah misa saya ke Paroki, membawa surat-surat administrative pembaptisan dan kolekte. Begitu tiba di Pastoran dan menyampaikan ke beliau, Pst. Theophil membuka percakapan, “bereng hamuma. Songon i ma situasi ta. Apala parsibensin mu pe terbatas. Alai adong do nian madu sabotol”(Kamu bisa lihat, begitulah situasi kita. Untuk uang bensinmu pun terbatas. Tapi ada madu satu botol). Tiba-tiba, Melda (karyawan rumah tangga pastoran) nyeletuk dari dapur, “adong dope tolu botol nai pastor” (masih ada tiga lagi Pastor). Saya pun segera menyambar, “dia ma Melda, asa huboan mulak”(=Mana Melda, biar saya bawa pulang). Jadilah saya pulang ke Sibolga membawa empat botol madu, ganti stipendium. Madu-madu itu saya bagi ke Komunitas keuskupan dan Wisma Kristoforus. Saya cerita ke Pst. Barnabas Winkler bagaimana proses mendapatkan madu-madu tersebut. “Kamu hebat bisa mengalahkan Theophil. Kalau menghadapi Theophil kamu mesti cerdik”. Entah karena madu itu atau karena memang ada yang selalu bisa membantu, saya tidak pernah lagi diminta membantu di stasi. Pst. Gusti Pardi – waktu itu masih frater di Katedral – juga pernah mengalami pengalaman berhubungan dengan sikap “hemat” pst. Theophil. Pst. Theophil meminta ijin ke saya supaya membolehkan Fr. Gusti menemaninya ke Sidempuan. Saya lalu menyampaikan ke Fr. Gusti, “makan enak kalian nanti di Angin Berhembus”. Malamnya sepulang ke rumah, saya tanya Fr. Gusti, “bagaimana?”. “Ai ka’e menderita jalan dengan Pst. Theophil. Singgah minum kopi pun tidak. Kupikir kami akan makan di restoran, rupanya tidak. Untung kami ditawari makan di rumah umat. Pulangnya pun begitu, “Wah pas pula sudah waktunya makan malam. Jadi di pastoran sajalah kita makan ya”.
Bereng Ma Silang I dan Boha ma hita Katolik on!!
Ini adalah dua frase yang selalu diulang, nyaris menjadi refren dan identic dengan Pst. Theophil. Bereng Ma Silang I (Pandanglah kayu Salib!) inilah kata-kata yang selalu keluar tiap kali beliau berkotbah. Sering jadi bahan yang membuat tawa. Namun inilah salah satu dasar iman Kristiani : Salib Kristus. Pst. Theophil setia pada salib dan setia memikul salibnya sampai akhir. Walaupun banyak kisah lucu juga seputar ini. Tiap kali menyebut “bereng ma silang i”, mata Pst. Theophil selalu mengarah ke dinding panti Imam tempat Salib bergantung. Suatu kali di stasi rupanya salib diturunkan dan dipindah ke sakristi karena sedang ada renovasi. Ketika beliau dengan mantap berkata, “bereng ma silang i!”, umat ada yang spontan menjawab, “ndang di si be Pastor!”(=sudah tidak ada di situ Pastor). Tanpa kehabisan akal beliau cepat menukas, “manang bereng hamuma Inanta Maria I”(=atau pandanglah Bunda Maria). Malang tak dapat ditolak Patung Maria pun sudah ikut pindah pula. Dengan gusar Pst. Theophil bertanya, “bah nga tu dia Inanta i?”(Wah ke mana pergi Ibu kita itu?)
Boha ma hita Katolik on (Bagaimana kita orang katolik ini?) adalah ungkapan ‘kekesalan’ beliau terhadap hidup umat sehari-hari yang sering bertolak belakang dengan iman. Beliau punya pengalaman buruk : sepatunya hilang dicuri!. Pst. Theophil melapor ke polisi. Polisi menerima laporan dan berjanji akan mengusut. Namun tak kunjung ada titik terang. Sepatu itu akhirnya ditemukan dengan cara yang unik. Ketika sermon (=pertemuan para pengurus gereja separoki), Pst. Theophil menemukan sepatunya di antara tumpukan sepatu para peserta yang berjejer di depan pintu. Beliau membawa sepatu masuk ruang pertemuan dan bertanya ke yang hadir, “sepatu ni ise on?’(=sepatu siapa ini?). “sepatuku Pastor”, jawab salah seorang. “Panako ho. Sepatu ni Pastor do on”(kamu pencuri. Ini sepatu Pastor). Tentu saja yang dituduh tidak terima. Usut punya usut dia membeli sepatu itu dari seseorang tanpa tahu kalau itu hasil curian. Setelah jelas duduk perkara, pst. Theophil dengan kesal berkata, “boha ma hita Katolik on. Polisi Katolik. Panako Katolik. Na manuhor pe Katolik”(Bagaimana kita katolik ini. Polisi Katolik, pencuri katolik. Yang membeli sepatu curian Katolik). Kekesalan bermakna. Harusnya kekatolikan mempengaruhi dan terwujud dalam hidup, bukan hanya dalam status dan penanda identitas.
Pastor selamat jalan. Bahagia di Surga. Terimakasih untuk kasih kegembalaanmu, kesederhanaanmu, kesetiaanmu. Ad vitam aeternam, RIP
@Pkpinang, 29 Oktober 2020

Jumat, 18 September 2020

Ama Lina & Katekumen

Hari dan tanggalnya saya lupa. Tahunnya pun tidak ingat persis, mungkin sekitar tahun 2006. Yang masti malam hari, di pendopo pastoran St. Maria BPB, Gunungsitoli - Pulau Nias. Saya dan Pst. Michael sedang ngobrol ketika seorang anak muda datang. Setelah salaman dan bertegur sapa, dia memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya. Dia datang untuk mengucapkan terimakasih karena berkat doa pastor telah sembuh dari sakit. Sebagai ucapan terima kasih dia mempersembahkan seekor anak babi (lomok - lomok). Tak lama kemudia dia pamit.
Tinggallah saya dan pst. Michael yang kebingungan : mau ditaruh di mana anak babi ini. Kami tidak punya kandang babi. Yang punya kandang adalah para suster yang masih satu kompleks dengan kami. Tapi ini sudah malam. Mereka sudah tidur. Tidak elok rasanya membangunkan hanya untuk "menitipkan" babi di kandang. Lalu kami ingat : Ama Lina. Ini Katekis, Sekretaris Paroki dan mengemban banyak tugas lain lagi. Beliau beternak babi dan punya kandang. Saya menelpon Ama Lina :
RH : Ya'ahowu Ama Lina
AL : Ya'ahowu Ama. Ada apa? Apa yang bisa saya bantu.
RH : Ama Lina bisa ke pastoran sekarang? Ada sedikit masalah "KATEKUMEN"
AL : baik Ama. Kalo soal katekumen itu urusan saya.
(Ama Lina pamit ke Ina Lina karena dipanggil pastor dan segera berangkat dari Lasara ke Pastoran)
Ketika tiba, Ama Lina agak terkejut karena hanya ada saya dan Pst. Michael. "Di mana katekumennya Ama?". "Itu, di situ", jawab saya menunjuk ke lantai tempat anak babi diletakkan. Ama Lina tertawa terbahak-bahak. Singkat kata, anak babi segera dievakuasi ke Lasara untuk dikandangkan.
Keesokan harinya gantian saya yang terbahak-bahak mendengar cerita Ama Lina. Semalam begitu tiba di rumah, beliau langsung ke kandang dan setelahnya masuk rumah. Tentu orang rumah heran, kok langsung ke kandang. "Bagaimana katekumennya?". "Sudah aman di kandang"
Beberapa bulan kemudian...
Datang seseorang memperkenalkan diri sebagai katekumen, baru pindah tugas dari Medan. Di Medan dia sudah sempat belajar sebagai katekumen. Dia membawa surat pengantar dari Pastor dan bermaksud melanjutkan pelajaran persiapan baptis di Gunung Sitoli. Setelah bicara dan membaca surat pengantar, saya katakan, "saya tanya dulu ke Katekis ya, pelajaran katekumen sudah sampai di mana, supaya bisa putuskan apakah kamu tinggal melanjutkan atau harus menambah pelajaran".
Saya menelpon Ama Lina.
RH : Ya'ahowu Ama Lina? Di mana posisi?
AL : di Binaka Ama
RH : Ooh. Ada KATEKUMEN di sini.... (belum dilanjutkan)...
AL : Ama IKAT saja dulu, pulang dari Binaka saya ambil
RH : 🀣🀣🀣🀣🀣🀣🀣

Jumat, 21 Agustus 2020

Ronald Koeman : Johan Cruyff dan Jejak Total Football

Pertandingan memasuki menit ke 116 ketika wasit Howard Webb meniup pluit setelah sesaat sebelumnya Alexander Iniesta berhasil mencetak gol ke gawang Belanda yang dikawal Marteen Stekelenburg. 1 – 0 Spanyol unggul yang bertahan sampai peluit akhir dibunyikan. Waka-waka soundtrack resmi Piala Dunia menggema di seantero stadion menyambut kehadiran Sang Juara Dunia Baru : Spanyol!

Spanyol patut jumawa. Dua tahun sebelumnya mereka sukses merajai Eropa dan saat ini menjadi kampiun Piala Dunia. Dan Belanda? Lagi-lagi belum berhasil meruntuhkan mitos sebagai tim spesialis Runner Up, seperti halnya dua perhelatan Piala Dunia sebelumnya, 1974 dikalahkan Jerman Barat dan 1978 takluk dari Argentina. Weslei Sneijder, dkk menangis pilu.

Ronald Koeman – yang baru saja ditunjuk sebagai pelatih anyar Barcelona, tim raksasa La Liga, tidak ada di Tim Belanda saat itu. Seperti jutaan pendukungBelanda lainnya Koeman kecewa. Mimpi melihat negaranya untuk pertamakali mengangkat trophy Piala Dunia kandas. Pupus dihadapan sederetan  “Generasi Emas” Spanyol. Timnas Spanyol yang datang ke Afrika Selatan adalah sekumpulan pemain yang digadang-gadang sebagai generasi emas. Hasil didikan akademi-akademi klub dan ditempa dalam kompetisi yang menduduki kasta tertinggi Eropa, setelah sebelumnya jaman keemasan Serie A Italia dan Premiere League Inggris. Dua tim La Liga – Real Madrid dan Barcelona – merajai Eropa dalam kurun waktu itu. Pemain dari kedua klub ini juga mendominasi tim nasional. Tiki taka, memainkan bola dengan cepat dan mengandalkan penguasaan bola, menjadi tontonan menarik dan menghibur. Di kaki Iniesta dan tandemnya di Barcelona maupun tim nasional Xavi Hernandes, aliran bola tiki taka bak sebuah orchestra yang indah.

Kesuksesan Spanyol berturut-turut merajai Eropa dan menjadi Juara Dunia seperti  keniscayaan melihat bagaimana klub-klub peringkat atas liga mereka bermain, terutama Barcelona dan Real Madrid. Barcelona mendapat kredit khusus karena menularkan tiki-taka. Ironisnya negara yang menjadi korbannya di Final Piala Dunia adalah Belanda. Negara tempat salah satu peletak dasar tiki taka di Barcelona berasal, Johan Cruyff.. Cruyff datang ke Barcelona pada pertengahan 1973 setelah sebelumnya bermain untuk Ajax dan memenangi banyak trophy. Ia dibayar dua juta dollar, yang membuatnya menjadi pemain termahal saat itu. Kehadiran Cruyff mendatangkan berkah bagi Barcelona. Mereka menjuarai La Liga untuk pertama kali. Cruyff meninggalkan Barcelona sebagai pemain tahun 1978. Setelahnya ia masih bermain bola dan melanglang buana ke berbagai liga sepakbola sampai akhirnya pension di Feyenoord, tim di Eredivisie Belanda. Karir kepelatihannya dimulai dengan menangani tim muda Ajax. Tahun 1988 ia Kembali ke Barcelona, kali ini sebagai pelatih tim utama. Bersama Cruyff Barcelona mengalami masa kejayaan. Dalam kurun waktu 1989 – 1994 Ia berhasil mempersembahkan Juara Piala Winners dan Juara Piala Champions dari empat kali keikutsertaan di final. Nama-nama beken seperti Guardiola – yang kelak menjadi Pelatih Barcelona – Romario, Ronald Koeman, Michael Laudrup, George Hagi, Hristo Stoickhov adalah Sebagian dari anak didik lelaki yang bernama lengkap Hendrik Johannes Cruyff ini.

Bukan hanya gelar juara yang dikenang. Johan Cruyff berhasil meletakan fundasi sepakbola yang menjadi identitas Barcelona lewat Akademi La Massia, kawah candradimuka penggodokan bibit-bibit pemain muda Barcelona. Cruyff adalah murid terbaik Bapak “Total Football” Rinus Michael. Gaya ini dia terapkan di Barcelona hingga sukses meraih 11 trophy. Raihan yang hanya bisa dikalahkan oleh salah seorang anak didiknya – Joseph Guardiola – yang berhasil menyumbang 15 gelar bagi Barcelona selama karir kepelatihannya.

Kenangan manis era Cruyff yang berlanjut di bawah Pep Guardiola menjadi sirna seketika saat menyaksikan Lionel Messi, dkk dibantai Bayern Munchen dengan skor telak 2 – 8! Kekalahan ini seolah menjadi pertanda berakhirnya era generasi emas Barcelona. Beberapa pemain  telah lama pension dan yang masih bermain pun sudah berada di penghujung masa keemasan. Saatnya untuk memulai lagi. Tak lama setelah kekalahan memalukan Presiden Klub langsung mengumumkan pengangkatan Ronald Koeman sebagai pelatih. Koeman bukanlah wajah asing bagi Barca. Selepas menjuarai Piala Eropa 1988 bersama Belanda, Koeman direkrut Barcelona dan menjadi salah satu yang mengharumkan nama Barcelona di La Liga dan Eropa. Pemain yang ketika aktif menempati posisi libero dan memilik tendangan geledek ini adalah anak kandung total football. Apakah ia akan mengikuti jejak suskses mentornya Johan Cruyff atau bisa sesukses rekannya yang telah terlebih dahulu sebagai pelatih, Pep Guardiola? Yang pasti Koeman datang bukan pada saat kejayaan, Ia harus mengembalikan harga diri tim dan membangunnya kembali menjadi tim yang disegani dan ditakuti di Eropa. Akankah kita menyaksikan tiki taka kembali atau tidak, kita tunggu kiprah Meneer Koeman.

Jumat, 14 Agustus 2020

A(nd)REA PIRLO

Dalam percakapan tentang sepakbola pasca 2000-an kita mengenal terminologi "Area Pirlo". Istilah ini merujuk ke posisi yang dimainkan Andrea Pirlo terutama sejak ia merumput bersama AC Milan. Pirlo - di tim nasional Italia dan klub - bermain sebagai gelandang. Namun Pirlo bukanlah tipe gelandang pengatur serangan (play maker) yang memadukan kecepatan dan visi bermain. Sebagai play maker ia cenderung lambat. AC Milan punya play maker yang cepat, seperti Boban, Kaka atau Rui Costa. Namun demikian Pirlo memiliki kelebihan lain. Ia piawai mengatur tempo, memiliki umpan wilayah dengan presisi mengagumkan dan jago dalam eksekusi bola mati, baik tendangan dua belas pas maupun tendangan bebas dari luar kotak penalti. Tendangan Penalti a la panenka ke gawang Perancis di final Piala Dunia 2006 menjadi salah satu tendangan penalti terbaik yang pernah ada.
Dengan talenta ciamik seperti itu, Pirlo kemudian diberi posisi unik : deeplying play maker, pengatur serangan yang bermain lebih dalam dekat area pertahanan sendiri. Posisinya jauh berada di belakang penyerang atau striker. Dia berada di posisi yang biasa ditempati oleh seorang gelandang bertahan konvensional. Ia nyaris berada dekat bek tengah. Namun semua orang mengakui itulah posisi terbaik Pirlo dan mungkin hanya dia yang bisa bermain di posisi itu secara sempurna. Dari sepertiga wilayah lapangan ia bisa menjadi pengatur serangan dan mengirim umpan-umpan yang memanjakan para penyerang dan mematikan pemain bertahan lawan. Sepertiga lapangan itulah yang dikenal sebagai "Area Pirlo", daerah dan wilayah kekuasaan Pirlo. Pirlo memperlihatkan sepakbola yang indah dan menarik.
Bersama AC Milan saja, yang dibelanya dari 2001 - 2011, ia telah memenangkan dua gelar Liga Champions (2003 dan 2007), dua Piala Super Eropa (2003 dan 2007), dua titel Serie A (2004 dan 2011), satu Piala Dunia Antarklub FIFA (2007), dan Coppa Italia (2003).
Selain AC Milan, Pirlo tercatat pernah memperkuat Brescia, Reginna, Inter Milan dan Juventus di Serie A dan mengakiri karirnya di New York City FC.
Berada di lapangan sebagai pemain dan berdiri di pinggir lapangan sebagai pelatih tentulah berbeda. Kini Pirlo dipercaya menukangi Juara Serie A sembilan kali berturut-turut: Juventus. Banyak yang meragukan kemampuannya sebagai pelatih mengingat pengalamannya minim. Bahkan sertifikat sebagai pelatih pun secara resmi baru akan diperoleh Oktober mendatang. Kompetisi serie A 2020/2021 akan menjadi ajang pembuktian apakah dia memang layak diperhitungkan, seperti pelatih-pelatih yang sebelumnya cemerlang sebagai pemain: Carlos Alberto di Brazil, Franz Beckenbauer di Jerman, Didier Deschamps di Perancis pada level tim nasional. Atau Zidane bersama Real Madrid Guardiola bersama Barcelona dan Diego Simeone di Athletico Madrid. Sekarang "Area Pirlo" berada di ruang ganti dan kotak putih dekat bench pemain cadangan di pinggir lapangan. Akankah bertuah? Kita tunggu..
@Semabung, 12.08.2020

Selasa, 09 Juni 2020

Albina dan Patung Maria

Di rumah, tiga puluhan tahun lalu. Hampir setiap hari perjalanan diakhiri dengan doa malam bersama. Struktur ibadat malam ini biasanya : pembukaan - doa rosario (tidak selalu lengkap 5 peristiwa, umumnya dua atau tiga peristiwa saja) - Doa (sembayang) Malam - Pemeriksaan Batin - Doa Tobat - Malaikat Tuhan - Penutup. Bulan Mei dan Oktober doa rosarionya lengkap.
Peserta doa adalah seluruh anggota penghuni rumah. Saat itu di rumah ada dua ODGJ. Mereka berdua bagian utuh dari keluarga kami. Ine Lukas yang sudah cukup tua dan Albina, waktu itu usianya dua puluhan. Dalam keterbatasan mereka berdua juga beraktivitas seturut kemampuan dan 'kemauannya'. Dalam hal doa dua-duanya aktif, sangat aktif malah. Misalnya, lagu wajib Ave-ave Maria harus dinyanyikan. Lalu Doa spontan yang biasanya panjang dan mencakup seluas segala kenyataan dalam satu doa (untuk Paus, Uskup, Pater Alan, Bapa, mama, anak sekolah, petani, sopir, dll).
Suatu ketika, rumah kami didatangi Pastor Paroki - Pater Alan, SVD, Imam berkebangsaan Irlandia - yang tergopoh-gopoh bertanya ke Mama saya. "Mama (hampir semua orang kampung menyapa ibu saya 'mama') apakah Albina ada bawa patung Bunda Maria ke sini? Patung Maria di Gereja hilang!". "Tidak ada Pater", jawab Mama. "Pater tunggu saja, sebentar saya tanya".
Malam ketika hendak berdoa malam, mama menyiapkan meja doa dengan lilin yang lumayan besar dan patung Maria yang sangat kecil. Ketika semua sudah berkumpul, Albina spontan komentar, "daraaaad sui tara koen koe ata tu'a ine gho'o" (wuaaaduh kenapa 'ibu tua' - Bunda Maria - ini kecil sekali). Mama dengan tenang menjawab, "iti koe ata mangan. A leng manga ata mehen ko?" (hanya itu yang ada. Atau apakah ada (patung) yang besar?"). "Eme nggiti gereng nang", kata Albina. ("Kalau begitu tunggu sebentar"). Dia lalu pergi dan tidak lama kemudian pulang membawa Patung Maria yang tingginya sekitar 1 m, yang ternyata disembunyikan di kebun. Doa berjalan seperti biasa. Setelah doa mama bicara, "mehe bail ata tu'a ine gho'o ai koen koe meja dite. Cocok gho'o na'a eta Gereja, eta Pater Alan" (ibu ini terlalu besar kalau ditempatkan di sini karena meja kita kecil. Cocoknya ditaruh di Gereja di tempatnya Pater Alan). "Daraad ina ata tako ghia gho'o rebaong" (aduh ini kan tadi saya curi dari dia (Pater Alan).
Besoknya patung dikembalikan. Pater Alan berterimakasih ke Albina karena sudah ajak Bunda Maria ke kebun

Senin, 25 Mei 2020

SIAP SIAP MENGHIDUPI NORMALITAS BARU (dari helm ke cuci tangan dan wajib masker)

Syahdan awal 1970-an masyarakat Indonesia mulai banyak menggunakan sepeda motor. Yang terkenal - karena bentuknya - adalah motor bebek, bermesin 70 cc.
Di Jakarta saja ada 98.202 buah sepeda motor, tulis Ekspres, 23 Agustus 1971. Sayang peningkatan jumlah pengguna sepeda motor tidak dibarengi dengan kesadaran menggunakan "topi pengaman" (helm). Helm masih sesuatu yang aneh waktu itu. Orang biasa memakai peci atau kopiah. Setelah diskusi panjang akhirnya Kapolri mengeluarkan Maklumat kewajiban pemakaian helm yang mulai berlaku pada 1 November 1971. Maklumat ini ditanggapi macam-macam, bahkan ada yang mencibir.
Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Meski dicibir lambat laun orang akhirnya menerima. Helmpun menjadi perlengkapan wajib pengendara sepeda motor. Apa yang dulu aneh sekarang diterima. Malah - sekarang - naik motor tanpa helm dianggap aneh.

Saat ini - di tengah pandemi covid19 - ada hal-hal baru yang coba diterapkan : cuci tangan, jaga jarak, memakai masker, dll. Ada yang patuh, ada yang tidak. Ada yang menerima, ada yang mencibir. Butuh waktu menjadikan sesuatu yang baru, belum lazim jadi kebiasaan, habitus.
Mudah-mudahan apa-apa yang selama pandemi Covid19 ini dijalankan sebagai bagian dari prosedur akan jadi "kebiasaan", suatu normalitas baru.
(Facebook, 18 Mei 2020)

Minggu, 24 Mei 2020

HIDUP ADALAH CERITA

H i d u p  M e n j a d i  C e r i t a  adalah tema Hari Komunikasi Sosial Sedunia yang ke-54, Minggu 24 Mei 2020.  Paus Fransiskus dalam pesannya mengatakan, “Manusia adalah makhluk pencerita. Sejak kecil tanpa disadari kita “lapar” akan cerita sebagaimana lapar akan makanan.  Entah itu dongeng, novel, film, lagu, maupun berita; Inilah cerita-cerita yang mempengaruhi kehidupan. Kita sering memutuskan apa yang benar atau apa yang salah berdasarkan karakter/tokohtokoh dan cerita-cerita yang terekam. Cerita-cerita tersebut membekas dan mempengaruhi keyakinan serta perilaku kita. Lewat cerita-cerita itu, kita juga terbantu memahami dan mengetahui siapa diri kita sesungguhnya.” Manusia pada dasarnya adalah pencerita. Penenun kata. “Ini karena sesungguhnya, kemampuan manusiawi untuk “menenun” (Latin: texere) tidak hanya mengacu pada kata “tekstil”, tetapi juga “teks”, kata Paus Fransiskus.

Saya percaya kekuatan cerita. Suatu kali dalam kesempatan mengenang seorang ponakan yang telah berpulang, kami keluarga besar beserta sejumlah kerabat dan kenalan merayakan ekaristi. Apa yang selalu – sejak ponakan terkasih kami ini meninggal – setiap tahun kami lakukan. Dalam kesempatan itu saya bertanya, tepatnya merefleksikan, “apakah yang mempersatukan kami - satu keluarga - bersama dengan sahabat kenalan dalam kenangan akan kematian ini?” Kematian?. Tentu saja. Ini satu paradoks : kematian memisahkan, namun kematian pula yang mengumpulkan dan mempersatukan. Namun, untuk apa berkumpul dan bertemu? : C e r i t a!! Inilah kekuatan yang mendorong kami – dan kita – berkumpul dan bertemu. Kita ingin bercerita. Cerita tentang masa yang sudah lampau, tentang kita dan tentang yang meninggal. Cerita tentang kita saat ini yang kehilangan, namun bersatu karena kenangan yang sama. Juga cerita tentang esok, lusa dan seterusnya tentang bagaimana kita akan berjalan terus dengan segala kenangan yang kita (pernah) miliki Bersama. Dan dia yang kita kenang menjadi ‘tetap hidup’ karena cerita kita, narasi kita.

Beberapa tahun yang lalu saya memulai sebuah blog. Secara spontan – tanpa melewati pertimbangan yang panjang – saya memilih tagline-nya “h i d u p  adalah c e r i t a. Sejak awal saya bermaksud memanfaatkannya sebagai media bercerita, tentang apa saja, terutama tentang apa yang saya alami, lihat dan rasakan. Cerita memiliki kekuatan menggugah dan mengubah. Saya sering mendengar atau membaca cerita. Bahkan salah satu genre buku yang paling saya sukai adalah buku-buku yang berisi cerita hidup orang-orang maupun pelaku sejarah, entah biografi, otobiografi, maupun memoir. Tanggal 24 April 2020 saya dikirimi buku “Romantisme Tahun Kekerasan : sebuah memoar Martin Aleida”. Saya berteman dengan sang penulis memoar di facebook. Tetapi lebih dari itu, sebelum berteman di media sosial, saya pembaca setia cerita-cerita pendek yang dia tulis. Larik-larik yang seperti endapan dari gabungan kenangan panjang akan keindahan dan pahitnya hidup sekaligus. Di memoar yang terakhir ini, Martin bertutur tentang luka dan kekalahan sekaligus. Namun tidak meratap. Kita tak pernah bisa mengubah jalannya sejarah. Yang sudah berlalu menjadi kenangan, memori. Namun ia mengendap di ingatan. Tempat di mana Sebagian orang menguburkannya dalam diam dan tak pernah mau menggalinya lagi. Sebagian bersedia membukanya dan mengisahkannya. Hanya para pemberani yang dapat melakukan hal demikian : mengisahkan luka dengan gagah agar siapa pun dapat berkaca dan belajar. Sebelumnya saya membaca “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”-nya Pramoedya. Saat-saat kelam yang menyakitkan. Tapi Pram memilih untuk menuliskannya, menceritakannya kepada khalayak. Saya kira Pram tidak mengharapkan iba. Dia tidak minta dikasihani. Hersri Setiawan dalam ‘Memoar Pulau Buru juga bercerita ingatannya akan sepenggal sejarah kelam bangsa ini. Apa yang ia alami sendiri. Masih banyak memoar dan kisah yang sudah saya baca, tidak melulu tentang mereka yang kalah atau dikalahkan. Ada memoar  para jendral yang dengan gagah mengenang heroism dan kemenangan di berbagai palagan tempur. Para Politisi. Orang Suci. Pemain Sepak Bola, dan banyak lagi. Saya membaca biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams. “Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya”-nya Soeharto yang ditulis Ramadhan KH, “Biografi Gus Dur” yang ditulis Greg Barton. Juga tentang Benny Moerdani yang ditulis Julius Pour. Yoga Soegama, M. Jusuf, dan lain-lain. Satu lagi adalah cerita para sahabat tentang sesorang. Tentang ini terakhir saya baca “Arief Budiman (Soe Hok Djin) : melawan tanpa kebencian”, buku yang ditulis untuk hadiah ulang tahun ke-77 Arief Budiman, intelektual dan aktivis. YB Mangunwijaya pernah mendapat hadiah sejenis saat berulangtahun ke-65 di bawah judul, “Mendidik Manusia Merdeka”. “Ia Tak Pernah Pergi”, tulis sahabat-sahabat Rendra, setelah sang sastrawan dan dramawan ini berpulang. Di kisah-kisah itu – sekali lagi – saya menemukan kekuatan cerita. Manusia – dalam episode-episode hidupnya – seperti membawa benang-benang yang harus ditenun untuk membentuk satu kisah utuh. Yang, lagi – lagi jadi paradoks, bagaimanapun ‘tak pernah utuh’, karena ada bagian yang mesti orang lainlah yang mengisahkannya.

Sebagai orang Katolik, Alkitab – bagi saya - adalah c e r i t a paling i n d a h! Bertahun-tahun, bahkan sebelum mengenal aksara saya sudah mendengar kisah-kisah alkitab. Sejarah para tokoh, sejarah bangsa Israel, kisah-kisah mujizat yang mengagumkan. Semua itu menjadi satu c e r i t a  k e s e l a m a t a n : cerita cinta Allah pada manusia. Cerita yang ditulis, “Supaya Engkau Dapat Menceritakan Kepada Anak Cucumu” (Kel 10:2)

Semabung, 24 Mei 2020
@hansjeharut

Sabtu, 16 Mei 2020

GEREJA DI TENGAH PANDEMI COVID19 : beberapa paradoks

Pandemi ini datang seperti pencuri. Pun ketika sudah ada peringatan, tetap saja banyak yang gagap menanggapinya. Ketika sudah ada yang terjangkit, efek penularannya seperti bola salju. Kehidupan dipaksa berhenti. Orang-orang harus menjaga jarak. Pusat-pusat keramaian ditutup. Institusi-institusi gamang. Kantor meliburkan karyawan. Orang bekerja dari rumah. Universitas dan sekolah-sekolah merumahkan mahasiswa dan para pelajar. Tempat-tempat yang sering jadi titik kumpulnya manusia menjadi sepi, tak terkecuali tempat Ibadah.
Refleksi ini hanya catatan pendek dari apa yang saya amati, secara khusus di kalangan Gereja,yang terpaksa melarang umatnya berkumpul di (Gedung – Gedung) Gereja.


1) Gereja Perdana (dari rumah ke rumah) dan Gereja Covid19 (Gereja di rumah rumah)

Tanggal 19 Maret - bertepatan dengan Pesta St. Joseph pelindung Keluarga Beriman - untuk pertamakali di linimasa saya muncul pengumuman dan surat edaran bahwa tidak ada lagi peribadatan (misa) di Gereja. Himbauan ini lengkap dengan catatan-catan lain seputar aturan ibadat dan pedoman berkumpul selama Pandemi Covid19. Semua ini dilakukan karena otoritas pemerintahan dan otoritas kesehatan menetapkan "social distancing". Pembatasan yang tidak memungkinkan berkumpulnya manusia dalam jumlah besar. Beragam reaksi muncul, ada yang menerima ada yang menolak. Yang menerima umumnya mengikuti argument otoritas pemerindah dan badan-badan kesehatan bahwa pandemi ini – salah satunya – bisa dicegah bila tidak ada mobilitas manusia secara massal. Yang menolak, umumnya karena alasan, “mengapa harus takut?, bahkan seringkali dengan argumentasi ‘teologis’ toh Tuhan lebih berkuasa dari corona.

Tanggal 22 Maret, saya menulis di halaman facebook :

Ecclesia Domestica


Sebagai Pastor dalam berbagai kesempatan Misa Pemberkatan Pernikahan saya sering mengingatkan bahwa keluarga/Rumah Tangga Katolik adalah "Ecclesia Domestica". Keluarga adalah gereja kecil. Secara analogis rumah adalah paroki. Suami istri adalah 'pastor' (gembala) yang memimpin, menjaga, dan mengarahkan kawanan kecil yang disebut keluarga. 
Hari ini - Minggu 22 Maret 2020 - secara liturgis adalah Minggu Prapaskah IV Tahun A, disebut Minggu Laetere - Minggu Sukacita. Di hampir semua keuskupan di Indonesia ada himbauan dan instruksi untuk mengikuti misa dari rumah, via live streaming. Beragam reaksi muncul. Yang dominan rasa sedih tidak bisa merayakan ekaristi seperti biasa. Kita bisa memaknainya secara berbeda : ini adalah ajakan sukacita mewujudkan secara konkrit GEREJA RUMAH TANGGA, Rumah sebagai Gereja Sejati. Bagi yang tidak terjangkau teknologi internet, kita bisa merayakan Ibadat Sabda di rumah. "Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam NamaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Mat 18:20)


@hansjeharut

22.03.2020

Jika Jemaat Gereja Perdana dua ribu tahun lalu "selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa" (Kis 2:42), serta memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati (Kis 2: 46), Gereja di tengah Pandemi Covid19 menampilkan wajah khasnya sendiri : bukan lagi berkumpul dari rumah ke rumah secara bergilir, namun berkumpul di rumah masing-masing. Gereja Covid19 adalah gereja di rumah-rumah. Ketika pintu-pintu Katedral dan Gereja-gereja Paroki dan Stasi di tutup, puluhan ribu mungkin jutaan pintu-pintu gereja rumah tangga terbuka. Sebuah 'berkah terselubung' bagi Gereja, di tengah semakin kuatnya keprihatinan akan 'wabah selfisme' - kecendrungan asyik dengan diri sendiri yang mulai hinggap di rumah-rumah. Ketika secara mondial orang terhubung internet dan media sosial jagad maya menjadi ‘tempat pertemuan’ lintas geografis, orang mengeluh bahwa media ini “mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat”, namun di tengah pandemi ini jargon itu bergeser “mendekatkan yang jauh, menambah rapat yang dekat”.



2) Bersekutu Dalam Perjamuan dan Perjamuan Batin


Di tenggah kemajuan teknologi informasi jaringan (internet), keterbatasan perjumpaan fisik bisa dengan mudah diatasi. Gereja-gereja secara cepat merespons larangan dan pembatasan beribadat dengan menayangkan Perayaan Ekaristi "live streaming"! Jika sebelumnya hal ini hanya dilakukan dalam momen istimewa dan terbatas : Paskah dan Natal bersama Paus di Vatican, Upacara Tahbisan Uskup dan upacara-upacara istimewa lainnya, saat ini – di tengah pandemi Covid19 – Perayaan Ekaristi secara live terjadi setiap hari dari berbagai penjuru dunia di mana jaringan internet bisa diakses. Seorang yang tinggal di Jayapura bisa mengikuti misa harian yang dipimpin Uskup Agung Medan dan ditayangkan dari Medan. Saya bisa mengikuti seorang Pastor Paroki di Australia Barat memberkati rumah-rumah umatnya dengan monstrans. Sebagian memang menyadari ‘misa online” bukanlah perayaan yang memberi tempat bagi interaksi dan partisipasi aktif. Para ahli liturgi pasti punya banyak catatan bahkan keberatan terhadap praktek ini. Namun lagi-lagi selalu ada jalan keluar. Bagi umat yang ‘mengikuti’ misa secara online, mereka diminta menyambut “Komuni Batin”. Karena tidak bias secara fisik menyambut tubuh dan darah Kristus, ketika tiba saat menyambut komuni umat bisa hening dan menghayati menyambut komuni secara batin. Bagi saya – sebagai imam – inilah momen intimitas yang melampaui sekat ruang dan waktu. Dalam keheningan mengalami perjumpaan personal sangat sentimental penuh kerinduan dengan Sang Ilahi. Sejenak orang ‘meninggalkan’ semua teori dan spekulasi teologis, bahkan melampaui semua norma hukum atas nama apa pun. Hanya aku – hamba yang hina dan tak berdaya dan Tuhanku Yang Maha Dahsat. Kesadaran akan kehadiran Tuhan menjadi begitu personal, serentak juga ada imajinasi komunal di sana. Aku yang sendiri di rumah, bersekutu secara virtual dengan saudara-saudariku seiman yang juga – sama seperti saya – sedang menghayati lawatan Tuhan. Bahkan ketika Perayaan Ekaristi dirayakan di Gereja dalam himpunan umat yang besar, Komuni tetaplah sebuah “perjumpaan batin paling intim”. Paradoks lain justru ketika social distancing/pysical distancing Keeratan Dan Kedekatan begitu nyata. Adorasi Mondial Paus secara live streaming boleh jadi adalah adorasi terbesar dan terbanyak diikuti dalam 20 abad kekristenan. Ketika kita berada dalam ‘keterbatasn’, yang “Tak Terbatas” hadir. Omnipotens, Omnipresens!!


3) Disinfektan Untuk Gereja

Sejak pemberlakuan “social distancing’ dan belakangan “physical distancing’, perjumpaan menjadi berkurang. Penghentian Ibadah di Gereja membuat Gereja-gereja yang biasanya ramai menjadi sepi. Linimasa penuh dengan berbagai foto dari berbagai penjuru dunia menggambarkan suasana yang lengang. Pusat-pusat keramaian sepi. Tempat-tempat ibadah sunyi.


Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan dalam rangka memutus rantai penyebaran Covid19 adalah penyemprotan disinfektan di berbagai fasilitas publik tak terkecuali Gereja. Gereja disemprot disinfektan! Bagi saya ini ungkapan simbolik. Betapa tak berdayanya Gereja secara fisik. Bangunannya, dinding-dinding temboknya, atap menaranya yang gagah, bangku-bangku yang menyimpan ribuan kisah sepanjang sejarah rentan! Semua bisa menjadi tempat tinggal virus. Dalam kesepian karena ‘ditinggalkan” umat yang tak boleh berkumpul ia menjadi beku dan dingin, bahkan harus disemprot disinfektan. Mungkinkah ini isyarat juga bahwa institusi yang kudus ini memang butuh disinfektan. Perjalanan panjang ribuan tahun, melintasi sejarah yang bermacam-macam menunjukkan juga bahwa di balik kegemilangan ada catatan-catatan kelam skandal. Dalam segala kelemahannya terbukti Gereja tetap bertahan. Badai dan taufan yang datang tak membuat kapal ini karam. Namun ada momentum di mana kita perlu ‘membersihkan diri”. Covid19 membuat kita harus tunduk, menerima dengan patuh gereja fisik kita disemprt disinfektan. Kiranya ini juga memberi isyarat kita siap jika secara institusi kita pun dibersihkan dengan disinfektan. Agar virus-virus yang berbahaya dimatikan dan tidak berkembangbiak.



4) Solidaritas


Pandemi (Yunani, pan : semua, demos : masyarakat) Covid-19 melanda hampir semua negara di dunia. Kompas.com, 19 April 2020, menyebut hanya 15 dari 193 negara anggota PBB yang belum melaporkan kasus infeksi Covid-19. Data itu menunjukan virus ini menyerang begitu banyak orang, melintasi batas benua dan negara. China dan USA yang disebut sebagai dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia megap-megap menghadapinya. Semua energi dikerahkan untuk melawan serangan virus. Dalam situasi ini masing-masing berusaha untuk selamat. Namun menariknya, Ketika masing-masing negara harus mencari upaya untuk melawan penyebaran virus dan menyelamatkan warganya masing-masing, tidak sedikit juga yang pergi melintasi benua dan negaranya untuk membantu negara lain. Sekelompok dokter dan paramedis Cuba terbang ke Roma untuk membantu pemerintah Italia menangani pandemic Covid19. Dokter dan perawat RRC yang negaranya baru saja babak belur dihantam corona terbang ke Eropa membantu saudara-saudaranya di Italia. Di dalam negeri solidaritas itu juga muncul. Ketika rumah sakit-rumah sakit dan klinik melaporkan kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) raamai-ramai muncul inisiatif memproduksi APD dan disumbangkan. Begitu juga gerakan menyalurkan bantuan makanan dan kebutuhan pokok untuk sesama yang membutuhkan. Bencana selalu memunculkan kepedulian. Lagi-lagi paradoks: Ketika orang harus mengerahkan segala daya untuk bisa bertahan dan selamat (menyelamatkan diri), ada sisi lain yang menggerakan untuk menyelamatkan orang lain.


Ketika Gedung-gedung gereja sepi, Gereja-gereja (= umat Allah) turun ke jalan-jalan, masuk ke lorong-lorong menjumpai sesama yang sakit, menderita, cacat, lanjut usia.Tembok keegoisan manusia diruntuhkan karena kesadaran pandemi ini tidak pandang bulu, ia menyerang siapa saja. Namun demikian, selalu ada kelumpok yang lebih rentan dan rawan luka. Prinsip ‘survival of the fitest’ – yang kuatlah yang bertahan – dikalahkan dengan semangat solidaritas. “…dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”(Mat 25 : 40)


Gereja – seperti kata Paus Fransiskus – harus menjadi Rumah Sakit Lapangan yang tanggap dengan cepat apa kebutuhan saat ini-nya orang-orang yang datang tanpa harus melewati birokrasi berbelit



Penutup


Tak ada yang bisa memastikan kapan pandemi ini berakhir. Namun kita semua berharap secepatnya kita bisa mengatasinya. Pasca pandemi ada banyak hal yang mungkin perlu dirumuskan ulang. Triade relasi : manusia dengan Yang Ilahi – manusia dengan sesama manusia – manusia dengan alam semesta menjadi titik simpul. Dengan Yang Ilahi kita sadar, saleh secara ritual ternyata harus diimbangi dengan kesalehan sosial. Ritual-ritual keagamaan yang ketat, oleh virus kecil ini mendadak harus ditata ulang. Relasi antara sesama manusia manusia juga harus diperhatikan serius. Kekuasaan ekonomi politik yang timpang. Keserakahan manusia harus dibayar mahal. Dengan semesta : kita perlu bertobat dan minta maaf kepada alam semesta, lingkungan hidup yang telah dihancurkan dan dirusak karena keserakahan kita. Semesta punya caranya sendiri memulihkan diri. Kita belajar agar di kemudian hari kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.



Semabung, 20 April 2020
#sebulan_sudah_lamanya_waktu

π‘π”πŒπ€π‡ 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, ππ”πŠπ€π π‘π”πŒπ€π‡ πƒπ”πŠπ€

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...