Sabtu, 01 Desember 2018
Minggu, 12 Agustus 2018
Catatan Menjelang Pilpres 2019
[2] PLAY MAKER
Ketika Prabowo Subianto – Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra – bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyo di kediaman SBY, harapan bakal lahirnya koalisi dua partai dengan dua purnawirawan di pucuk pimpinan sepertinya bakal berjalan mulus. Keyakinan ini diperkuat dengan pernyataan keduanya pasca pertemuan. Pengurus kedua partai dalam talkshow di televisi juga meyakinkan publik bahwa Demokrat dan Gerindra akan berkoalisi.
Pasca pertemuan keduanya, saya menulis di lini masa saya tentang ‘koalisi calon presiden’. Analogi yang saya pakai adalah sepak bola. SBY dan PS – jika posisinya dianalogikan dengan posisi pesepakbola – adalah “play maker” (pengatur permainan). Posisi ini sangat sentral dalam permainan sepakbola. Biasanya dimainkan oleh “Pemain Nomor 10”. Seorang ‘play maker’ yang baik adalah pemimpin di lapangan. Ia dirigen di lapangan. Cepat lambatnya tempo, dia yang atur. Maka, begitu keduanya – dalam pernyataan pers – sepakat untuk berkoalisi, saya langsung membayangkan bahwa dalam tim ini akan ada ‘double play maker’ : satu kesebelasan dengan dua pengatur permainan. Bermain dengan double play maker pun sebenarnya bukan hal yang aneh. Barcelona – salah satu klub yang mengoleksi banyak gelar juara di kompetisi domestik maupun Internasional – selama hampir satu dekade bermain dengan cara itu. Andreas Iniesta dan Xavi Hernandes adalah dua nama yang mengemuka sebagai ‘duo play maker’. Barcelona bermain apik, memesona dengan tingkat penguasaan bola yang tinggi. Filosofinya : tim yang paling banyak dan dominan dalam penguasaan bola akan memenangi pertandingan. Keduanya bermain apik dengan pembagian tugas yang jelas. Kehilangan salah satu berpengaruh pada kinerja tim secara umum. Contoh lain, Andreas Pirlo (Bintang AC Milan – Juventus dan Tim Nasional Italia). Pirlo memainkan sesuatu yang agak baru : Deep Play Maker. Pengatur permainan dengan posisi bermain yang ‘lebih dalam’. Di lapangan itu berarti sedikit berada di atas garis pertahanan. Jadi ada dua pengatur, satunya bermain lebih ke luar, lapangan tengah di belakang para penyerang. Jadi ada yang mengatur di garis depan, ada yang mengatur di garis belakang.
Rupanya koalisi dua tokoh dan dua apalagi beberapa partai politik tidaklah mudah. Rangkaian pertemuan dan pernyataan pers yang disorot kamera televisi dan ramainya komentar di media sosial ternyata tidak serta merta menunjukkan bahwa fakta lapangannya mulus. Dua ‘jendral’ yang bertemu pada kemudian hari harus menerima julukan, satu ‘jendral kardus’, satu ‘jendral baper’. Saling serang antar kedua kubu ramai di media massa. Akhir kisahnya kita tahu. Saya hanya mau mengulang ‘dua play maker’ dalam satu tim jika tidak ada saling pengertian, kesediaan untuk berbagi peran, tau kapan aktif menyerang dan bertahan, akan kacau. Pengatur permainanan mesti punya kualifikasi memimpin, mampu mengorganisir tim, tidak egois, dan biasanya seorang assistant yang baik.
Ketika Prabowo Subianto – Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra – bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyo di kediaman SBY, harapan bakal lahirnya koalisi dua partai dengan dua purnawirawan di pucuk pimpinan sepertinya bakal berjalan mulus. Keyakinan ini diperkuat dengan pernyataan keduanya pasca pertemuan. Pengurus kedua partai dalam talkshow di televisi juga meyakinkan publik bahwa Demokrat dan Gerindra akan berkoalisi.
Pasca pertemuan keduanya, saya menulis di lini masa saya tentang ‘koalisi calon presiden’. Analogi yang saya pakai adalah sepak bola. SBY dan PS – jika posisinya dianalogikan dengan posisi pesepakbola – adalah “play maker” (pengatur permainan). Posisi ini sangat sentral dalam permainan sepakbola. Biasanya dimainkan oleh “Pemain Nomor 10”. Seorang ‘play maker’ yang baik adalah pemimpin di lapangan. Ia dirigen di lapangan. Cepat lambatnya tempo, dia yang atur. Maka, begitu keduanya – dalam pernyataan pers – sepakat untuk berkoalisi, saya langsung membayangkan bahwa dalam tim ini akan ada ‘double play maker’ : satu kesebelasan dengan dua pengatur permainan. Bermain dengan double play maker pun sebenarnya bukan hal yang aneh. Barcelona – salah satu klub yang mengoleksi banyak gelar juara di kompetisi domestik maupun Internasional – selama hampir satu dekade bermain dengan cara itu. Andreas Iniesta dan Xavi Hernandes adalah dua nama yang mengemuka sebagai ‘duo play maker’. Barcelona bermain apik, memesona dengan tingkat penguasaan bola yang tinggi. Filosofinya : tim yang paling banyak dan dominan dalam penguasaan bola akan memenangi pertandingan. Keduanya bermain apik dengan pembagian tugas yang jelas. Kehilangan salah satu berpengaruh pada kinerja tim secara umum. Contoh lain, Andreas Pirlo (Bintang AC Milan – Juventus dan Tim Nasional Italia). Pirlo memainkan sesuatu yang agak baru : Deep Play Maker. Pengatur permainan dengan posisi bermain yang ‘lebih dalam’. Di lapangan itu berarti sedikit berada di atas garis pertahanan. Jadi ada dua pengatur, satunya bermain lebih ke luar, lapangan tengah di belakang para penyerang. Jadi ada yang mengatur di garis depan, ada yang mengatur di garis belakang.
Rupanya koalisi dua tokoh dan dua apalagi beberapa partai politik tidaklah mudah. Rangkaian pertemuan dan pernyataan pers yang disorot kamera televisi dan ramainya komentar di media sosial ternyata tidak serta merta menunjukkan bahwa fakta lapangannya mulus. Dua ‘jendral’ yang bertemu pada kemudian hari harus menerima julukan, satu ‘jendral kardus’, satu ‘jendral baper’. Saling serang antar kedua kubu ramai di media massa. Akhir kisahnya kita tahu. Saya hanya mau mengulang ‘dua play maker’ dalam satu tim jika tidak ada saling pengertian, kesediaan untuk berbagi peran, tau kapan aktif menyerang dan bertahan, akan kacau. Pengatur permainanan mesti punya kualifikasi memimpin, mampu mengorganisir tim, tidak egois, dan biasanya seorang assistant yang baik.
Catatan Menjelang Pilpres 2019
[1] PLAY MAKER
Upaya SBY membangun koalisi dengan Jokowi menghadapi banyak tantangan dan rintangan. Mungkin seperti lirik lagu ".. ada suatu antara kita yang tak dapat ku mengerti. Di antara hatimu hatiku terbentang dinding yang tinggi, tak satu jua jendela di sana...".Sementara koalisi dengan Prabowo terbuka lebar. "Selebar pintu rumah SBY terbuka untuk Prabowo tadi malam", kata Jansen Sitindaon - salah satu ketua PD.Dengan enam partai sudah berkoalisi mengusung Jokowi, maka baik bahwa empat partai lain juga membentuk koalisi untuk mengusung calon Presiden/Wapres. Kontestasi Pilpres tentu membutuhkantampilnya figur capres/cawapres terbaik.Setelah 10 Agustus publik akan tahu siapa yang akan maju.Jokowi - berbeda dengan pencalonan tahun 2014 - kini lebih mantap. Ia menjadi pusat koalisi. Saya duga Jokowi akan mengumumkan pasangannya di menit menit akhir demi menjaga soliditas koalisi. Ia seperti Ronaldo di tim Portugal. Seluruh skema dan pola permainan tim disusun untuk 'melayani' dia.
SBY - jika memakai bahasa film - adalah seorang AKTOR WATAK. Gerindra - dengan Prabowo sebagai episentrum - selama ini menjadi 'play maker'. Dengan munculnya SBY/PD poros Gerindra - PKS - PAN harus menerima kini ada "double play maker", ibarat tandem Xavi dan Iniesta di Barcelona dan timnas Spanyol dulu. Jika saling melengkapi akan solid, namun kalau berebut peran tentu mengacaukan tim dan akan membuat goyah.
Bangsa ini butuh pemimpin yang hebat. Keputusan ada di tangan rakyat. Berbagai kemungkinan masih akan terjadi. Kontestasi cerdas dan bermutu yang ditunggu.
Upaya SBY membangun koalisi dengan Jokowi menghadapi banyak tantangan dan rintangan. Mungkin seperti lirik lagu ".. ada suatu antara kita yang tak dapat ku mengerti. Di antara hatimu hatiku terbentang dinding yang tinggi, tak satu jua jendela di sana...".Sementara koalisi dengan Prabowo terbuka lebar. "Selebar pintu rumah SBY terbuka untuk Prabowo tadi malam", kata Jansen Sitindaon - salah satu ketua PD.Dengan enam partai sudah berkoalisi mengusung Jokowi, maka baik bahwa empat partai lain juga membentuk koalisi untuk mengusung calon Presiden/Wapres. Kontestasi Pilpres tentu membutuhkantampilnya figur capres/cawapres terbaik.Setelah 10 Agustus publik akan tahu siapa yang akan maju.Jokowi - berbeda dengan pencalonan tahun 2014 - kini lebih mantap. Ia menjadi pusat koalisi. Saya duga Jokowi akan mengumumkan pasangannya di menit menit akhir demi menjaga soliditas koalisi. Ia seperti Ronaldo di tim Portugal. Seluruh skema dan pola permainan tim disusun untuk 'melayani' dia.
SBY - jika memakai bahasa film - adalah seorang AKTOR WATAK. Gerindra - dengan Prabowo sebagai episentrum - selama ini menjadi 'play maker'. Dengan munculnya SBY/PD poros Gerindra - PKS - PAN harus menerima kini ada "double play maker", ibarat tandem Xavi dan Iniesta di Barcelona dan timnas Spanyol dulu. Jika saling melengkapi akan solid, namun kalau berebut peran tentu mengacaukan tim dan akan membuat goyah.
Bangsa ini butuh pemimpin yang hebat. Keputusan ada di tangan rakyat. Berbagai kemungkinan masih akan terjadi. Kontestasi cerdas dan bermutu yang ditunggu.
Rabu, 04 Juli 2018
INGGRIS DAN TUAH GUARDIOLA
#catatansepakbola
Inggris lolos ke per empat final setelah menang adu penalti melawan Kolumbia. Di waktu normal keduanya bermain imbang 1 - 1. Hasil ini tentu menggembirakan mereka. Kolumbia sendiri tidak bermain buruk. Sebaliknya mereka ketat dalam bertahan dan menebar ancaman serius di daerah pertahanan Inggris. Tetapi itulah sepak bola, apalagi ketika laga ditentukan oleh adu penalti. Butuh tiga hal di sana : penendang hebat, kiper handal dan nasib baik! Laga ini tergolong keras. Benturan fisik yang berujung keluarnya kartu kuning kerap terjadi. Falcao, dkk menangis. Kane, dkk tertawa.
Lolosnya Inggris sudah diprediksi Alan Shearer -mantan ujung tombak Inggris - yang saat ini jadi kolumnis untuk BBC Sport. 'Perempat final adalah target yang realistis', ujar Shearer. Garry Neville - eks punggawa MU dan bek tim nasional - punya keyakinan yang sama. Saat ini Inggris di rute yang (lebih) mudah. Neville mengacu ke perjalanan Inggris di pagelaran beberapa Piala Dunia sebelumya - beberapa di antaranya ia ikut bermain. Pada 1998 mereka dikandaskan Argentina. 2002 dikalahkan Brazil. 2010 kandas di kaki Jerman. Di 2014 kalah oleh Italia dan Uruguay. Maka inilah saatnya mengulang capaian terbaik Inggris, lolos ke semi final seperti Garry Lineker, dkk di Piala Dunia 1990.
Gareth Southgate. Mulanya dipandang sebelah mata. Rekam jejaknya sebagai pelatih tidak cemerlang. Bahkan tim yang dilatihnya justru pernah demosi. Ia menukangi Inggris yang kali ini 'tanpa bintang'. Satu-satunya bintang di tim ini adalah Harry Kane, komentar Teddy Sheringham, mantan striker Inggris. Tidak ada kiper kokoh seperti Peter Shilton. Tidak ada sosok seperti Tonny Adams atau Rio Ferdinand di jantung pertahanan. Tak ada David Beckham, Frank Lampard atau Steven Gerrard - jendral lapangan tengah. Tidak ada Garry Lineker, Alan Shearer, Michael Owen dan Ronney. Tim ini miskin bintang. Namun berkah lain dari ketiadaan bintang adalah mereka bermain sebagai tim, kolektif. Pemain-pemain muda Inggris tampil bertenaga. Southgate tak segan-segan mengakui ia belajar banyak di Etihad Stadium - markas Mancester City - dari sosok Pep Guardiola. City - juara Liga Inggris 2017/2018 - adalah 'kesebelasan para bangsa'. Para pemainnya berasal dari manca negara. Bek Tengah - Stones - bermain di City. Para pemain Inggris belajar banyak dari klub. Chelsea - di bawah Antonio Conte - meyakinkan pilihan memakai tiga bek tengah adalah pilihan terbaik. Sampai sejauh ini keputusan itu tidak keliru. Akankah tuah Guardiola turun atas tim Inggris kali ini? Hanya Tuhan yang tahu.. Tuah Guardiola setidak-tidaknya sudah terbukti di dua Piala Dunia Terakhir. Di 2010 saat Guardiola melstih Barcelona, Spanyol ke Afrika Selatan membawa sebagian punggawa Barca di tim. Tiki taka ala Barca menular ke timnas, Spanyol jadi juara. Tahun 2014 Guardiola ada di Bayern Munchen. Timnas Jerman ke Brazil membawa sedretan bintang Muenchen. Mereka pulang membawa trophy. Tahun ini Pep ada di City. Mengapa tidak.
Lawan Inggris di per empat final adalah Swedia. Tim negeri Volvo ini adalah pembunuh raksasa. Italia dan Belanda takluk di bawah mereka dan gagal ke Russia. Enampuluh tahun lalu - 1958 - mereka runner up di kandang sendiri. Apakah sejarah akan berulang? Selama bola bundar apa pun mungkin terjadi. Laga keduanya akan menarik karena masing-masing ingin mengukir sejarah.
Inggris lolos ke per empat final setelah menang adu penalti melawan Kolumbia. Di waktu normal keduanya bermain imbang 1 - 1. Hasil ini tentu menggembirakan mereka. Kolumbia sendiri tidak bermain buruk. Sebaliknya mereka ketat dalam bertahan dan menebar ancaman serius di daerah pertahanan Inggris. Tetapi itulah sepak bola, apalagi ketika laga ditentukan oleh adu penalti. Butuh tiga hal di sana : penendang hebat, kiper handal dan nasib baik! Laga ini tergolong keras. Benturan fisik yang berujung keluarnya kartu kuning kerap terjadi. Falcao, dkk menangis. Kane, dkk tertawa.
Lolosnya Inggris sudah diprediksi Alan Shearer -mantan ujung tombak Inggris - yang saat ini jadi kolumnis untuk BBC Sport. 'Perempat final adalah target yang realistis', ujar Shearer. Garry Neville - eks punggawa MU dan bek tim nasional - punya keyakinan yang sama. Saat ini Inggris di rute yang (lebih) mudah. Neville mengacu ke perjalanan Inggris di pagelaran beberapa Piala Dunia sebelumya - beberapa di antaranya ia ikut bermain. Pada 1998 mereka dikandaskan Argentina. 2002 dikalahkan Brazil. 2010 kandas di kaki Jerman. Di 2014 kalah oleh Italia dan Uruguay. Maka inilah saatnya mengulang capaian terbaik Inggris, lolos ke semi final seperti Garry Lineker, dkk di Piala Dunia 1990.
Gareth Southgate. Mulanya dipandang sebelah mata. Rekam jejaknya sebagai pelatih tidak cemerlang. Bahkan tim yang dilatihnya justru pernah demosi. Ia menukangi Inggris yang kali ini 'tanpa bintang'. Satu-satunya bintang di tim ini adalah Harry Kane, komentar Teddy Sheringham, mantan striker Inggris. Tidak ada kiper kokoh seperti Peter Shilton. Tidak ada sosok seperti Tonny Adams atau Rio Ferdinand di jantung pertahanan. Tak ada David Beckham, Frank Lampard atau Steven Gerrard - jendral lapangan tengah. Tidak ada Garry Lineker, Alan Shearer, Michael Owen dan Ronney. Tim ini miskin bintang. Namun berkah lain dari ketiadaan bintang adalah mereka bermain sebagai tim, kolektif. Pemain-pemain muda Inggris tampil bertenaga. Southgate tak segan-segan mengakui ia belajar banyak di Etihad Stadium - markas Mancester City - dari sosok Pep Guardiola. City - juara Liga Inggris 2017/2018 - adalah 'kesebelasan para bangsa'. Para pemainnya berasal dari manca negara. Bek Tengah - Stones - bermain di City. Para pemain Inggris belajar banyak dari klub. Chelsea - di bawah Antonio Conte - meyakinkan pilihan memakai tiga bek tengah adalah pilihan terbaik. Sampai sejauh ini keputusan itu tidak keliru. Akankah tuah Guardiola turun atas tim Inggris kali ini? Hanya Tuhan yang tahu.. Tuah Guardiola setidak-tidaknya sudah terbukti di dua Piala Dunia Terakhir. Di 2010 saat Guardiola melstih Barcelona, Spanyol ke Afrika Selatan membawa sebagian punggawa Barca di tim. Tiki taka ala Barca menular ke timnas, Spanyol jadi juara. Tahun 2014 Guardiola ada di Bayern Munchen. Timnas Jerman ke Brazil membawa sedretan bintang Muenchen. Mereka pulang membawa trophy. Tahun ini Pep ada di City. Mengapa tidak.
Lawan Inggris di per empat final adalah Swedia. Tim negeri Volvo ini adalah pembunuh raksasa. Italia dan Belanda takluk di bawah mereka dan gagal ke Russia. Enampuluh tahun lalu - 1958 - mereka runner up di kandang sendiri. Apakah sejarah akan berulang? Selama bola bundar apa pun mungkin terjadi. Laga keduanya akan menarik karena masing-masing ingin mengukir sejarah.
Jumat, 29 Juni 2018
MESSI
Eva Maria Ibarguren lahir 7 Mei 1919 di Los Toldos, Buenos Aires Argentina. Masa hidupnya pendek. Ia meninggal di usia 33 tahun, 27 Juni 1952. Eva menjalani masa kecil yang muram. Sejak kecil dia hidup dengan ibu dan saudaranya. Di usia remaja Eva muda mencoba keberuntungannya di bidang seni. Kelak di kemudian hari publik mengenalnya sebagai artis.
Tahun 1944 Eva bertemu Juan Peron - politisi muda Argentina yang sedang populer - di acara malam amal untuk korban gempa. Mereka menikah setahun kemudian, 18 Oktober 1945. Ia kemudian lebih dikenal sebagai Eva (Evita) Peron. Tahun 1946 Juan Peron menjadi presiden Argentina. Eva menjadi first lady. Hanya enam tahun Eva mendampingi suaminya sebagai Ibu Negara. Ia meninggal karena kanker 1952. Kehidupan bak telenovela dan popularitas tak lekang oleh waktu. Ia tetap dikenang dan menjadi simbol perjuangan bahkan jauh setelah kematiannya. Publik Argentina menyebutnya "Cinderella Tango".
Pada 12 November 1976 sebuah lagu dirilis untuk mengenang Eva Peron. Lagu yang ditulis Andrew Lloyd Weber dan Tim Rice diberi judul "Don't Cry For Me Argentina". Puluhan tahun sesudahnya Madonna mempopulerkan lagi lagu ini.
Liriknya sbb :
Don’t cry for me
Don’t cry for me
Don’t look at me like that
With that face that lost its meaning
Don’t love me
It’s too late
Don’t anxiously wait for me
Because love is over
Why did you just let me leave?
If I knew I would regret like this
I wouldn’t have wandered in painful heartache
There is no love remaining in me now
I can’t feel anything
Like you, who let me go with a smile
Why did you just let me leave?
If I knew I would regret like this
I wouldn’t have wandered in painful heartache
There is no love remaining in me now
I can’t feel anything
Like you, who let me go with a smile
Lagu ini brkisah tentang Eva yang di penghujung hidupnya yang pendek berjuang melawan kanker yang kemudian merenggut hidupnya.
Leo Messi bukan Eva Peron. Namun di beberapa titik mereka punya kesamaaan. Messi lahir di Rosario, Santa Fe 24 Juni 1987. Ia tumbuh bersama kedua kakak laki-laki Rodrigo dan Matias serta seorang adik perempuan, Maria Sol. Ia anak laki-laki ketiga Jorge Horacio Messi dan Celia Maria. Ayahnya buruh pabrik baja. Sementara ibunya seorang ibu rumah tangga. Karena posturnya yang kecil, Rodrigo - kakaknya- memberinya julukan si kutu.
Pada usia yang masih sangat belia , 5 tahun, Messi sudah akrab dengan si kulit bundar. Messi kecil bermain untuk sebuah klub bola asuhan ayahnya, Grandiola. Tiga tahun bermain dengan skuad Grandiola, Messi memutuskan pindah ke Newell's Old Boys di usianya yang ke-8.
Malang tak dapat ditolak, di usia ke-11 Messi didiagnosa mengalami kekurangan hormon. Keuangan keluarga yang buruk membuat orangtua Messi tidak bisa membayar biaya keperluan terapi hormon sebesar 500 ribu poundsterling setiap bulan. Untuk itu sang ayah mencari klub sepakbola yang dapat membiayai pengobatan putranya. Jorge bertemu Carles Rexach, Direktur klub sepak bola Barcelona (1996). Perjumpaan yang mengubah hidup dan masa depan Leo kecil.
Bermain bola sambil menjalani terapi hormon untuk pertumbuhan membuat Messi akrab dengan rasa sakit. Ia sanggup menahan rasa sakit dan menggantinya dengan aksi gemilang. Ia menjelma menjadi El Messiah, sang penyelamat. Asa tinggi selalu disematkan tiap kali ia tampil, entah di klub maupun di tim nasional.
Seperti tadi malam. Asa Argentina dan jutaan penggemar juga membubung tinggi. Kegagalan eksekusi penalti jadi aib yang sulit diterima. Raut muka kecewa Messi seperti berkata "don't look at me like that"...
"Kami tidak kehilangan harapan meski mendapat hasil seri, kami masih memiliki tekad yang sama. Saya pikir kami pantas mendapat kemenangan. Kami bekerja keras berusaha menemukan celah di pertahanan Islandia, namun kami tak mampu melakukannya", ucapnya lirih.
Jalan masih panjang. Masih ada dua laga di fase grup. Tugas Messi mengubah air mata kecewa menjadi tawa bahagia. "don't cry for me argentina".
Tahun 1944 Eva bertemu Juan Peron - politisi muda Argentina yang sedang populer - di acara malam amal untuk korban gempa. Mereka menikah setahun kemudian, 18 Oktober 1945. Ia kemudian lebih dikenal sebagai Eva (Evita) Peron. Tahun 1946 Juan Peron menjadi presiden Argentina. Eva menjadi first lady. Hanya enam tahun Eva mendampingi suaminya sebagai Ibu Negara. Ia meninggal karena kanker 1952. Kehidupan bak telenovela dan popularitas tak lekang oleh waktu. Ia tetap dikenang dan menjadi simbol perjuangan bahkan jauh setelah kematiannya. Publik Argentina menyebutnya "Cinderella Tango".
Pada 12 November 1976 sebuah lagu dirilis untuk mengenang Eva Peron. Lagu yang ditulis Andrew Lloyd Weber dan Tim Rice diberi judul "Don't Cry For Me Argentina". Puluhan tahun sesudahnya Madonna mempopulerkan lagi lagu ini.
Liriknya sbb :
Don’t cry for me
Don’t cry for me
Don’t look at me like that
With that face that lost its meaning
Don’t love me
It’s too late
Don’t anxiously wait for me
Because love is over
Why did you just let me leave?
If I knew I would regret like this
I wouldn’t have wandered in painful heartache
There is no love remaining in me now
I can’t feel anything
Like you, who let me go with a smile
Why did you just let me leave?
If I knew I would regret like this
I wouldn’t have wandered in painful heartache
There is no love remaining in me now
I can’t feel anything
Like you, who let me go with a smile
Lagu ini brkisah tentang Eva yang di penghujung hidupnya yang pendek berjuang melawan kanker yang kemudian merenggut hidupnya.
Leo Messi bukan Eva Peron. Namun di beberapa titik mereka punya kesamaaan. Messi lahir di Rosario, Santa Fe 24 Juni 1987. Ia tumbuh bersama kedua kakak laki-laki Rodrigo dan Matias serta seorang adik perempuan, Maria Sol. Ia anak laki-laki ketiga Jorge Horacio Messi dan Celia Maria. Ayahnya buruh pabrik baja. Sementara ibunya seorang ibu rumah tangga. Karena posturnya yang kecil, Rodrigo - kakaknya- memberinya julukan si kutu.
Pada usia yang masih sangat belia , 5 tahun, Messi sudah akrab dengan si kulit bundar. Messi kecil bermain untuk sebuah klub bola asuhan ayahnya, Grandiola. Tiga tahun bermain dengan skuad Grandiola, Messi memutuskan pindah ke Newell's Old Boys di usianya yang ke-8.
Malang tak dapat ditolak, di usia ke-11 Messi didiagnosa mengalami kekurangan hormon. Keuangan keluarga yang buruk membuat orangtua Messi tidak bisa membayar biaya keperluan terapi hormon sebesar 500 ribu poundsterling setiap bulan. Untuk itu sang ayah mencari klub sepakbola yang dapat membiayai pengobatan putranya. Jorge bertemu Carles Rexach, Direktur klub sepak bola Barcelona (1996). Perjumpaan yang mengubah hidup dan masa depan Leo kecil.
Bermain bola sambil menjalani terapi hormon untuk pertumbuhan membuat Messi akrab dengan rasa sakit. Ia sanggup menahan rasa sakit dan menggantinya dengan aksi gemilang. Ia menjelma menjadi El Messiah, sang penyelamat. Asa tinggi selalu disematkan tiap kali ia tampil, entah di klub maupun di tim nasional.
Seperti tadi malam. Asa Argentina dan jutaan penggemar juga membubung tinggi. Kegagalan eksekusi penalti jadi aib yang sulit diterima. Raut muka kecewa Messi seperti berkata "don't look at me like that"...
"Kami tidak kehilangan harapan meski mendapat hasil seri, kami masih memiliki tekad yang sama. Saya pikir kami pantas mendapat kemenangan. Kami bekerja keras berusaha menemukan celah di pertahanan Islandia, namun kami tak mampu melakukannya", ucapnya lirih.
Jalan masih panjang. Masih ada dua laga di fase grup. Tugas Messi mengubah air mata kecewa menjadi tawa bahagia. "don't cry for me argentina".
MASCHERANO
#catatanbola270618
Akhirnya Messi mencetak gol perdananya di Piala Dunia 2018. Bermain dengan pola 4 - 3 - 3, Messi beroperasi lebih banyak di kanan. Di kiri ada di Maria dan Hiquain di tengah. Formasi menyerang ini efektif, meskipun daya jelajah Messi menjadi tidak optimal. Statistik mencatat wilayah jelajahnya hanya sekitar 8 km selama dua babak permainan. Gol juga tercipta hasil umpan diagonal jarak jauh. Gol ini bagaimanapun menjadi 'surat pemulihan nama baik Messi' pasca kegagalan penalti melawan Islandia. Lalu Marcos Rojo. Dialah "messias" yang membawa Argentina keluar dari kegelapan maut dan lolos ke 16 besar. Kesabaran para pemain Argentina menghadapi pemain-pemain belakang Nigeria yang unggul postur dan bermain disiplin berbuah hasil. Tendangan first time Rojo membuat seluruh stadion bergemuruh. Maradona mengusap matanya yang berkaca-kaca. Zanetti di tribun VIP sumringah. Sampaoli yang kegirangan seperti bocah mendapat hadiah dan tentu jutaan pendukung di seluruh dunia yang berharap Finalis PD 2014 ini lolos dari lubang jarum.
Tetapi bukan Messi, bukan Rojo yang menarik perhatian saya. Pemain yang layak mendapat pujian khusus adalah MASCHERANO. Bermain sebagai poros halang (breaker) - posisi yang sama seperti di klubnya Barcelona - Mascherano bertarung gagah berani di sepertiga wilayah lapangan. Argentina saat ini tidak memiliki bek tangguh seperti Roberto Ayala, Walter Samuel atau Zanetti. Bertolak belakang dengan stok pemain depan berlimpah yang mereka punya. Pemain bernomor punggung 14 ini 'mengisi' ruang kosong itu. Dengan darah yang mengucur bercampur keringat Mascherano bertarung gagah. Pelanggarannya di kotak penalti membuat Nigeria menyamakan kedudukan lewat eksekusi Moses. Tapi hasil akhir kita tahu Argentina menang 2 - 1. Kejutan Nigeria berakhir di sini. Duo 'nabi' : Musa dan Mosses tak bisa menghantar Nigeria ke Tanah Terjanji.
Di wajah Mascherano yang berdarah, kita membenarkan kata-kata ini, "siapa menabur dengan bercucuran air mata, keringat dan darah akan menuai dengan sorak sorai".
Sepakbola masih menyimpan banyak kejutan, drama dan air mata. Namun ia juga menyajikan cerita : hasil tak pernah mengkhianati usaha. Dewi Fortuna?? itu juga, selalu jadi bagian dari kisah.
Akhirnya Messi mencetak gol perdananya di Piala Dunia 2018. Bermain dengan pola 4 - 3 - 3, Messi beroperasi lebih banyak di kanan. Di kiri ada di Maria dan Hiquain di tengah. Formasi menyerang ini efektif, meskipun daya jelajah Messi menjadi tidak optimal. Statistik mencatat wilayah jelajahnya hanya sekitar 8 km selama dua babak permainan. Gol juga tercipta hasil umpan diagonal jarak jauh. Gol ini bagaimanapun menjadi 'surat pemulihan nama baik Messi' pasca kegagalan penalti melawan Islandia. Lalu Marcos Rojo. Dialah "messias" yang membawa Argentina keluar dari kegelapan maut dan lolos ke 16 besar. Kesabaran para pemain Argentina menghadapi pemain-pemain belakang Nigeria yang unggul postur dan bermain disiplin berbuah hasil. Tendangan first time Rojo membuat seluruh stadion bergemuruh. Maradona mengusap matanya yang berkaca-kaca. Zanetti di tribun VIP sumringah. Sampaoli yang kegirangan seperti bocah mendapat hadiah dan tentu jutaan pendukung di seluruh dunia yang berharap Finalis PD 2014 ini lolos dari lubang jarum.
Tetapi bukan Messi, bukan Rojo yang menarik perhatian saya. Pemain yang layak mendapat pujian khusus adalah MASCHERANO. Bermain sebagai poros halang (breaker) - posisi yang sama seperti di klubnya Barcelona - Mascherano bertarung gagah berani di sepertiga wilayah lapangan. Argentina saat ini tidak memiliki bek tangguh seperti Roberto Ayala, Walter Samuel atau Zanetti. Bertolak belakang dengan stok pemain depan berlimpah yang mereka punya. Pemain bernomor punggung 14 ini 'mengisi' ruang kosong itu. Dengan darah yang mengucur bercampur keringat Mascherano bertarung gagah. Pelanggarannya di kotak penalti membuat Nigeria menyamakan kedudukan lewat eksekusi Moses. Tapi hasil akhir kita tahu Argentina menang 2 - 1. Kejutan Nigeria berakhir di sini. Duo 'nabi' : Musa dan Mosses tak bisa menghantar Nigeria ke Tanah Terjanji.
Di wajah Mascherano yang berdarah, kita membenarkan kata-kata ini, "siapa menabur dengan bercucuran air mata, keringat dan darah akan menuai dengan sorak sorai".
Sepakbola masih menyimpan banyak kejutan, drama dan air mata. Namun ia juga menyajikan cerita : hasil tak pernah mengkhianati usaha. Dewi Fortuna?? itu juga, selalu jadi bagian dari kisah.
Kamis, 28 Juni 2018
TITE & HOMO LUDENS
#catatansepakbola
Walau tidak meyakinkan di awal karena kalah 0 - 1 dari Mexico, Jerman oleh banyak pengamat diprediksi akan lolos dari penyisihan grup. Keyakinan itu dipertebal setelah kemenangan dramatis atas 2 - 1 atas Swedia. Julukan sebagai tim Diesel - yang lambat panas - dan tim 'Spesialis Turnamen' semakin terbukti. Mengantongi tiga poin, hasil sekali kalah dan sekali menang, membuat Jerman masih berpeluang lolos asalkan bisa meraih poin penuh di laga terakhir. Langkah itu, lagi-lagi diprediksi, bakal mudah. Sebabnya, lawan terakhir adalah Korea Selatan. Wakil Asia ini sudah pasti tersingkir. Juara Dunia 2014 vs tim Asia yang sudah masuk kotak. Dua kekuatan yang tidak imbang. Jerman selanjutnya akan menghadapi Brazil yang diperkirakan menjuarai grup E. Grup F sendiri - tempat Jerman berada - akan dipimpin Mexico yang sudah memiliki poin enam dan hanya butuh hasil seri. Swedia?? Tak banyak yang mengunggulkan. Namun fakta di lapangan menampilkan lain. Jerman yang biasa tampil dengan spirit luar biasa, determinasi tinggi dan mental kokoh tumbang di kaki Korea Selatan 0 - 2. Nyaris tak ada yang tersisa dari kedigdayaan sebagai Juara Bertahan. Bahkan Neuer sukses memperlihatkan aksi badut terbaik di piala dunia kali ini : naik jauh meninggalkan gawang kosong yang membuat Korsel dengan mudah mencetak gol kedua. Kemalangan yang terasa menyesakkan karena pada saat yang sama Swedia justru mengalahkan Mexico 3 - 0. Seandainya Jerman menang, Mexicolah yang menangis! Tapi 'seandainya' sejatinya tak pernah ada. Seandainya hanya ada dalam kamus imajinatif para pendukung yang tak bisa menerima jagoannya kalah. Der Panzer hancur dilumat Laskar Taeguk. Di layar kaca, kristal air mata wanita pendukung Jerman mengalir dan meluruhkan gambar bendera Jerman di pipinya. Luruh juga asa untuk juara. Jerman menambah deret panjang para mantan juara dunia yang selalu kandas di fase grup justru ketika datang sebagai juara bertahan. Perancis, Italia, Spanyol pernah merasakan kepedihan yang sama.
Dan Brazil?? Ini jagoan saya : dalam suka dan duka. Dalam untung dan malang.
Pupus sudah harapan melihat Brazil vs Jerman di 16 Besar. Jika terjadi ini kesempatan yang baik membalas kekalahan telak di Semifinal PD Brazil 2014. Dinihari tadi dua gol - satu dari sundulan Thiago Silva, satunya sontekan Paulinho - sukses mengirim Serbia pulang kampung. Sosok penting di tim Brazil bukan Neymar. Bukan Gabriel Jesus. Bukan deretan bintangnya yang merumput di klub-klub elit Eropa. Tokoh kunci itu adalah Tite.
Piala Dunia Afrika Selatan 2010. Brazil hancur lebur. Di tangan Dunga - mantan Kapten yang mengangkat trophy di Amerika 1994 - Brazil tampil sebagai tim yang mengutamakan hasil akhir. Dunga membangun timnya dengan pemain-pemain berkarakter keras. Keindahan disingkirkan demi hasil akhir. Semangat yang jauh dari filosofi "jogo bonito" khas Brazil. Gaya ini diolok-olok sebagai "dungaisasi"!. Pulang dari Afrika Brazil memanggil lagi Felipe Scolari, pelatih yang membawa Brazil Juara di Korea dan Jepang 2002. Misi yang diemban Scolari tidak ringan : menjadi juara di negara sendiri 2014. Brazil akan jadi tuan rumah dan ini kesempatan meraih "BINTANG ENAM". Dengan stok pemain hebat berlimpah, bermain di hadapan publik sendiri, ditangani pelatih sukses Brazil mau mencetak sejarah. Apa lacur. Bukan hanya gagal juara. Brazil takluk 1 - 7 melawan Jerman di Semi Final. Kekalahan terbesar Brazil di laga Internasional. Lebih pedih dari kekalahan 0 - 3 dari Perancis di Final 1998. Menyakitkan karena itu terjadi di depan mata pendukungnya, di tengah harapan yang membubung tinggi menjadi juara dunia enam kali. Brazil terpuruk, seterpuruk ekonomi dalam negerinya yang waktu itu sedang dilanda krisis moneter. Musnah sudah harapan. Sirna pula impian. Sempat memberi asa sedikit di Copa Amerika tahun berikutnya, tapi publik bola Brazil sudah telanjur kecewa. Medali Emas Sepakbola di Olimpiade Rio 2016 tak bisa mengobati kekecewaan ini.
Adenor Leonardo Bacchi nama lengkap pelatih yang akrab dipanggil Tite dipanggil CBF - Federasi Sepakbola Brazil - pada satu hari di bulan Juni 2016. Saat itu Brazil sedang di titik nadir : baru sekali menang dari enam laga di kualifikasi Zona Amerika Selatan. Hasil itu membuatnya terpental dari lima besar - kuota Amerika Selatan ke Piala Dunia!. Tite memulai tugasnya bukan dengan evaluasi teknis. Ia berbicara dengan para pemain bintangnya satu persatu. Ia tahu Brazil tidak pernah punya problem teknis. Lawan mereka adalah diri mereka sendiri. Laga pertamanya baru dilakoni tiga bulan kemudian. Sukses. Brazil menang 3 - 0 melawan Ekuador. Mereka menemukan kembali spirit bola Brazil "jogo bonito". Bermain Indah. Iya : bermain! Bukan sekedar bertanding. Memainkan bola dengan indah dan menghibur. Di tangan Tite - sebelum Russia 2018 - catatan Brazil mentereng : memainkan 22 laga, Menang 17 kali, 4 hasil seri dan hanya 1 kali kalah. Memasukan 48 gol, kemasukan hanya 6 gol dengan 16 partai 'clean sheet'. Tite sukses mengantar Brazil sebagai tim pertama di luar tuan rumah yang lolos ke Russia. "Tite Orang Paling Penting di tim Brazil", kata Mario Zagalo pelatih legendaris yang mengantar Brazil jadi Juara Dunia 1970 dan membantu Carlos Parreira ketika Brazil juara di 1995. Brazil kini disebut-sebut memiliki tim terbaik, menyamai Tim Samba 1970 era Pele dkk dan Brazil 1982 Zico 'Pele Putih' dan kawan kawan. Di kaki Neymar, dkk Sepakbola kembali menjadi "PERMAINAN". Hasil akhir penting, tapi keindahan dan proses meraihnya juga jangan diabaikan.
Di babak 16 besar Brazil akan bertemu Mexico. Kita berharap masih bisa menikmati 'permainan' sepakbola yang indah dan menghibur. Di tengah kritik - pujian dan celaan - pertandingan yang semakin bergantung pada kecanggihan teknologi seperti VAR - yang jadi "Maha Penentu' - kita masih berharap menikmati keceriaan bermain, apalagi dari laga kelas dunia seperti 'World Cup'. Sepak Bola mesti bisa menghibur. Salah satunya dengan mengembalikan lagi keceriaan bermain. Brazil sedang menunjukkannya. Sepakbola tidak melulu soal kalah menang. Ia representasi dari salah satu ciri manusia : Homo Ludens, makluk bermain.
Kamis, 11 Januari 2018
NATAL & ABU SIRGA
Bulan Maret 2016 penulis berkesempatan mengunjungi Gereja Abu Sirga di Cairo – Mesir. Gereja Abu Sirga merupakan Gereja Tertua di kota Cairo, yang dibangun sekitar abad ke 4. Gereja ini didedikasikan kepada dua orang martir bernama St. Sergius dan Bacchus. Secara tradisi Gereja ini didirikan di tempat kediaman Keluarga Kudus ( Yusuf, Maria dan bayi Yesus Kristus ) selama mereka mengungsi di Mesir karena dikejar dan akan dibunuh oleh Raja Herodes ( Mat 2 : 13 ). Gereja ini terus dikunjungi oleh para peziarah dan turis dari seluruh dunia mengingat peristiwa pengungsian Yesus, Maria dan Yusuf ke Mesir. Setiap tahunnya pada kalendar Gereja Koptik ( hari ke 24, bulan Bachons ) di gereja ini diadakan misa untuk memperingati peristiwa tersebut. Di bawah gereja terdapat Gua yang secara tradisi dipercaya sebagai tempat tinggal Keluarga Kudus pada saat mereka berada di Mesir. Amir Gabalah Samuel – guide lokal Mesir – menerangkan dengan fasih sejarah tempat yang ramai dikunjungi peziarah manca negara ini.
Penulis mengenang kembali tempat suci ini dalam suasana menyambut Hari Raya Natal – Hari Kelahiran Yesus Kristus. Natal dirayakan sebagai salah satu hari raya besar bagi umat Kristiani. Secara Teologis makna terbesar dari perayaan ini adalah peristiwa inkarnasi (incarne - bahasa Yunani - berarti “menjadi daging’) : Putra Allah Yang Maha Tinggi lahir sebagai manusia, mengambil rupa kedagingan manusia (Injil Yohanes 1:14). Peristiwa itu adalah peristiwa iman terbesar, Allah menunjukkan kecintaan dan keberpihakannya pada manusia. Natal kemudian dirayakan secara meriah karena keyakinan ini. Peradaban manusia berkembang, natal dirayakan dengan berbagai cara dalam aneka tradisi, namun nuansa yang dibawanya tetap sama: sukacita dan damai. “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” adalah kidung pujian natal tertua yang pernah ada.
Natal dan Keluarga
Gereja Abu Sirga mengingatkan kembali satu pesan penting Natal yaitu kehadiran Yesus dalam keluarga. Tak dapat dipungkiri natal perdana terjadi dalam keluarga. Yesus hadir pertama dalam keluarga Yusuf dan Maria. Yusuf dan Maria menjadi ‘wakil’ dari setiap keluarga, bahkan setiap insan, yang menyambut kelahiran Yesus. Teladan utama dari keluarga Nazareth ini adalah ketaatan dan kerendahan hati. Ketaatan secara total ditunjukkan dengan mematuhi perintah Allah. Ketaatan yang diiyakan secara verbal dan ditunjukkan dalam laku tindak. Ketaatan itu bukanlah tanpa resiko. Salah satunya adalah kenyataan harus melahirkan dengan fasilitas yang tidak memadai karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Maria – seperti ribuan ibu lain –menghadapi resiko ini. Fakta ini menunjukkan natal juga adalah peristiwa iman yang menyapa ibu-ibu di berbagai belahan dunia yang sampai saat ini masih cukup banyak harus menempuh resiko kematian karena melahirkan. Survei Indikator Kesehatan Nasional mencatat angka kematian ibu (AKI) saat ini adalah 306 orang per 100 ribu. Sementara itu, Mentri kesehatan – Nila F. Moeloek – menambahkan bahwa dari 5000 kematian pertahun , pada tahun 2016 jumlahnya berkurang menjadi 4.912. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014 – 2019 menargetkan AKI turun menjadi 276 per 100.000 kelahiran. Faktor kesehatan, akses transportasi dan faktor sosial masih memengaruhi tingginya tingkat kematian ibu. (www.mediaindonesia.com, 11 oktober 2017, 08.23 WIB). Resiko ini masih ditambah dengan arogansi kekuasaan Herodes yang mau mengamankan kekuasaan politisnya. Keputusan politik yang memaksa keluarga Yusuf, Maria dan bayi Yesus harus mengungsi ke Mesir. Ancaman pembunuhan yang dihadapi Yesus begitu kasat mata. Yesus korban ketamakan politik yang mau mengamankan kekuasaan dengan segala cara. Sampai saat ini pun ancaman pembunuhan bagi anak-anak masih nyata. Aneka bentuk kekerasan dan ancaman terjadi tiap hari. Sindikat pengedaran narkotika dan obat-obat terlarang masih merajalela dengan modus yang diperbarui setiap kali. Pertarungan politik kekuasaan pun masih terjadi. Politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan cenderung menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan. Natal menyadarkan dan mengingatkan supaya setiap orang menghindari penyalahgunaan kekuasaan karena terlalu banyak yang akan menjadi korban dan tak ternilai harga yang harus dibayar untuk memperbaiki kerusakan baik fisik maupun kerusakan sosialnya.
Keluarga dalam semuanya menjadi salah satu – jika bukan satu-satunya – benteng kokoh menghadapi berbagai bentuk ancaman yang ada. Keluarga tidak saja berkewajiban mencukupi kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan), tetapi juga berperan penting menjadi ‘benteng sosial’ bagi anak-anak. Cinta, kejujuran, ketulusan, solidaritas, belas kasih, menghargai perbedaan, peduli pada pada yang menderita, keberpihakan pada korban adalah nilai-nilai yang sudah seharusnya ditanamkan sejak dari rumah. Rumah menjadi ‘universitas cinta kasih’ : tempat setiap orang saling asih, asah dan asuh. Jika fundasi dalam keluarga ini sudah kokoh, kita akan menyaksikan masyarakat dan ruang sosial kita sebagai tempat perjumpaan yang sehat. Ruang yang tahu menghargai sesama, bisa menerima perbedaan tanpa merasa terancam.
Natal sejati tidak terletak pada kemeriahan ornamen atau mahalnya biaya perayaan, apalagi jika kemeriahan ornamen dan kemegahan perayaan perayaan itu sarat kepentingan yang pada akhirnya justru menindas. Keagungan Natal terdapat di hati setiap orang yang menjadikan dirinya palungan yang pantas bagi Sang Juru Selamat.
Selamat Natal.
Langganan:
Komentar (Atom)
𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀
Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...
-
Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...
-
Pupus sudah harapan para pencinta bola menyaksikan Italia tampil di putaran final Piala Dunia 2018 yang akan digelar di Rusia. Italia menyu...


