Sabtu, 31 Januari 2015

KAKA ROMO TERIMAKASIH, SUDAH SELESAI..

Eulogi untuk Rm. Felix : Pelajaran dari sebuah kematian

Kita akrab dengan kematian. Bahkan adanya manusia adalah ‘ada menuju kematian’. Maka apa yang baru dari kematian?? Apa yang masih dapat dibicarakan tentang kematian?? Bukankah sebagai bentuk penghormatan kepada kebenaran kita diajarkan  untuk diam berhadapan dengan ketidaktahuan. Orang segera sadar tidak bisa bicara tentang kematian. Di hadapan kematian satu-satunya sikap adalah diam! Kita tidak tahu apa-apa tentang kematian. Rasa itulah juga yang hadir ketika pada sore 26 Januari 2015 saya mendapat kabar kematian Romo Felix. Saya tidak kaget. Saya sudah membayangkan kemungkinan terburuk itu ketika mengetahui kondisi kesehatannya dari hari ke hari semakin menurun. Cepat atau lambat kematian itu akan datang. Paradoksnya meskipun tahu bahwa kematian itu pasti datang, tak seorangpun tahu kapan ia tiba.


Felix meninggal di Lewoleba. Di tanah tumpah darahnya. Di antara saudara-saudari dan kerabat. Di antara ribuan kenangan masa kecil. Saya – bersama dua rekan imam romo Manse dan romo Eman – tiba di Bandara Wunopito – Lewoleba ketika jam menunjukkan pukul 08.00 WITA, hari Rabu 28 Januari 2015. Tak menunggu lama kami segera menuju rumah duka, setelah berhenti sebentar di rumah Pak Korpus, abang dari Romo Yustin Talaleng yang  menjemput kami di Bandara. Rumah duka ramai dengan kaum kerabat ketika kami tiba. Suara tangis dan ratapan menyayat. Bahasanya tidak saya kenal. Tapi air mata adalah bahasa universal. Saya tertegun memegang peti jenasah. Sahabat yang 21 tahun lalu memulai peziarahan bersama di Tahun Rohani St. Markus, Simpang Kamboja – Sinaksak, Pematangsiantar kini terbujur kaku. Tanpa sadar air mata mengalir. Felix sudah meninggal. Yang ada dihadapan ini jasadnya. Ia mati muda, 40 tahun 9 bulan 2 hari. Tak ada syarat usia untuk mati. Tak ada kata terlalu muda atau terlalu tua.

Setelah menyalami keluarga, kami kembali ke Pastoran. Jarak pastoran dan rumah tak terlalu jauh. Sesampai di pastoran kami segera berkemas, karena rencananya jenasah akan dibawa ke gereja pukul 10.00. Saya sudah memakai jubah. Rm. Manse dan Rm. Eman juga. Ketika keluar ke ruang tamu pastoran, datanglah dengan tergopoh-gopoh salah seorang keluarga Rm. Felix. “Romo, tampaknya kita tidak bisa misa. Kondisi jenasah tidak memungkinkan. Keadaaannya memburuk, tidak bisa bertahan lebih dari satu jam. Kami sudah putuskan untuk tidak jadi dibawa ke Gereja”. Saya berbicara dengan Rm. Manse dan Rm. Eman, lalu bicara juga dengan Rm. Yermin - pastor paroki – dan Romo Deken Lembata. Keputusannya kami akan ke rumah duka dan melihat apa persis yang terjadi. Sesampai di rumah, jenasah sudah ada di halaman, sudah dikeluarkan dari rumah. Saya menawarkan opsi lain : misa di kuburan. Jenasah tetap dibawa ke pemakaman lalu dimasukan ke makam dan ekaristi dilangsungkan. Keluarga dan umat memberi pertimbangan bahwa mereka tidak siap untuk merayakan misa di makam, karena rencana semula misa requiem akan dilaksanakan di Gereja. Akhirnya dengan berat hati misa requiem dibatalkan. Kami memberangkatkan Romo Felix ke peristirahatan terakhir dengan Ibadat Sabda. Aneka perasaan berkecamuk dalam diri saya. Selama sepuluh tahun sebagai imam Felix telah berkali-kali merayakan misa requiem untuk umat yang meninggal. Dan pada kematiannya sendiri ia ‘tidak mengijinkan’ kami merayakan misa. Setelah Ibadat Sabda – dipimpin Romo Manse dan saya berkotbah – kami mengantarnya ke peristirahatan terakhir.

KUBURKAN SAYA DI PEMAKAMAN UMUM, DI ANTARA UMAT…
Banyak orang menghantar Felix ke peristirahatan yang terakhir. Arakan duka itu berjalan sekitar limaratus meter. Lagu-lagu duka dan lantunan doa terucap sepanjang jalan. Ia dimakamkan di bukit dengan Gunung Ileape menjulang di kejauhan. Mungkin keindahan kampung halaman yang memanggilnya pulang untuk mati di tanah ini. Dari rahim tanah ini ia tumbuh, kepadanyalah pula ia kembali. 
Pulang dari pemakaman kami kembali ke rumah. Lalu sepakat untuk mengadakan misa requiem mala harinya, pukul 19.00. Kami berempat – ditambah romo Ansel – kembali ke Pastoran. Di pastoran ngobrol dengan Rm. Yermin, Pastor Paroki Kristus Raja. Romo Yerminlah yang member Sakramen Pengurapan Orang Sakit kepada Romo Felix sebelum dia meninggal. Dari cerita Romo Yermin kami tahu saat-saat akhir almarhum. Senin menjelang sore Romo Yermin melayankan Perminyakan Suci. Romo Felix mengikuti upacara itu dengan baik. Dialog-dialog dijawab dengan baik. Setelah Romo Yermin menutup upacara dengan berkat, romo Felix mengucapkan terimakasih. “Kaka Romo Terimakasih, Sudah Selesai”, kata-kata itu keluar dari mulut romo Felix. Setelah itu ia meminta mereka – romo Yermin dan salah satu keponakannya – mendoakan satu kali doa Salam Maria. Setelah selesai mendaras Salam Maria, Felix meminta tangannya dikatupkan di dada. Ia meninggal. Ziarah hidupnya berakhir. Sudah Selesai.

Saya pertamakali mengenal Felix di suatu hari di bulan September tahun 1994 di Pastoran St. Yosep, Jalan Bali, Pematangsiantar. Kami, 25 orang, mulai menjalani Tahun Orientasi Rohani sebagai tahap awal pembinaan seorang calon Imam Diosesan. Masa itu indah. Dan sekarang sudah berlalu hampir dua puluh satu tahun. Di Kesebelasan angkatan kami, Felix menmepati posisi pemain bertahan, back. Ia back kiri. Back kanan seingat saya Pandu Haris Pandiangan. Pemain bertahan haruslah seorang petarung. Ia mesti mengamankan wilayah pertahanan dari gempuran serangan lawan. Instruksi bagi seorang back jelas : bola boleh lewat, tapi orangnya jangan. Atau, orang boleh lewat tetapi  bola jangan! Karakter petarung itu ada dalam diri Felix. Karakter yang sedikit banyak juga terbawa dalam hidupnya sehari hari. Ia petarung. Hal mana tidak selalu bisa dipahami oleh semua orang dengan baik. Tak salah kalau sikap seperti ini mendapat cap keras kepala, tak gampang diatur dan lain sebagainya. Ia keras memegang prinsip. Tidak semua selalu setuju dengan prinsipnya. Bahkan dengan sakitnya pun demikian. Ia berjuang melawan sakitnya. Ia bertarung melawan kondisi yang tidak mengenakkan. Pada akhirnya – setelah segala upaya dilalui – ia tunduk. Ia menerima keterbatasan ketika berhadapan dengan kematian. “Sudah Selesai” mengungkapkan pengakuan akan keterbatasan, ketakberdayaan dan ketidakmampuan sekaligus. Dalam ketidakberdayaan, kepasrahan adalah bentuk terbaik penerimaan. Siapa pun kita, kita miskin di hadapan kematian. Konon ketika meninggal, Alexander Agung meminta agar ia tetap membuka telapak tangannya di dalam peti jenasah. Supaya semua orang tahu bahwa Alexander Agung yang menaklukan sebagian besar Eropa pun ketika meninggal tidak membawa apa-apa.

Felix tidak membawa apa-apa. Jubah dan kasula yang dia pakai di peti jenasah adalah “jubah pinjaman”.  Romo Yermin berbaik hati mencarikan jubah dan kasula untuk dia. Dengan pakaian pesta pinjaman itu dia menghadap Tuhan.  Kepada Martin – adik laki-lakinya – ia meminta jika meninggal supaya dikuburkan di pemakaman umum, di antara umat. Dan akhirnya di sanalah ia dimakamkan. Tempat seorang imam memang di tengah umat. Sampai mati pun Felix ingin seperti itu.

Felix, mungkin kau tidak butuh lagi ekaristi yang kami rayakan. Selamat merayakan Ekaristi Abadi bersama Yesus yang engkau imani. Bersama para kudus di Surga. Ia mengasihimu dengan Kasih yang Kekal, seperti motto tahbisanmu.

Kutitip Puisi ini untukmu, dari Ibu Bumi yang memanggilmu pulang

Surat dari Ibu
(Asrul Sani)
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau



Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau


Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!


Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"
Selamat jalan kawan, sampai ketemu lagi….

Kamis, 22 Januari 2015

Kita Yang Cepat Lupa


Raisya dan Deti. Dua wanita dengan kisah hidup berbeda, bak langit dan bumi. Yang pertama bocah lima tahun yang pernah menghiasi media massa karena jadi korban penculikan pada 15 Agustus 2007 dalam perjalanan pulang dari TK Islam Al Ikhlas ke rumahnya di Jatiwaringin. Tak urung seantero negeri ingin tahu nasib gadis cilik ini dari hari ke hari. Presiden SBY memberi perhatian serius pada kasus penculikan Raisya. Dino Patti Jalal, juru bicara presiden, menulis kisah di balik berita itu untuk menampilkan sisi humanis seorang presiden (Harus Bisa: Seni Memimpin à la SBY, R&W, 2008). ”Dino, saya akan buat statement mengenai Raisya nanti malam, segera atur. Sebelum itu, hubungkan saya dengan orangtuanya”. Lebih dari itu SBY membuat doorstop statement di Istana Negara mengenai Raiysa. SBY memohon para penculik segera mengembalikan Raisya ke pangkuan orangtuanya dalam keadaan selamat. Kapolri juga diinstruksikan supaya kasus Raisya jadi prioritas: Raisya harus segera kembali ke pangkuan keluarganya! (hlm. 59-60). Mengharukan. Membanggakan. Seorang kepala negara memberi perhatian begitu serius pada keluarga Ali Said yang cemas karena putri semata wayang yang lahir setelah ditunggu lama nasibnya tidak menentu di tangan penculik. Para pembaca tahu kisah ini berakhir happy ending. Penculik-penculik yang adalah remaja tanggung SMA membebaskan Raisya. Ayah ibu bersukacita. Pemirsa televisi dan pembaca media cetak yang rajin mengikuti berita dari hari ke hari lega. Presiden SBY juga gembira bahkan masih mewanti-wanti agar Raisya dijauhkan dari sirkus  media. Privasi si bocah harus dilindungi katanya.
Deti adalah kisah yang lain. Wanita malang, yang asal usulnya tak diketahui jelas ini, ditemukan warga dalam keadaan lusuh habis diperkosa setelah dihipnotis (TVOne, Kabar Malam 26/2/2009, 00.00 WIB). Puskesmas menolaknya. Polisi di Polsek Pamulang tak menghiraukan laporan warga yang menemukan wanita yang diduga korban kejahatan dengan kekerasan ini. Ia akhirnya tergolek lemas di pos keamanan, gardu jaga dengan dinding hanya sebelah. Warga mengumpulkan dana solidaritas lalu membelikan infus karena keadaannya makin lama makin lemah. Tak banyak publikasi. Tak ada Presiden yang mengungkapkan turut berduka. Tak ada perintah untuk Kapolri menjadikannya prioritas penanganan. Tak ada Deti Center yang bergiat aktif membongkar kasus dan menangkap para pelaku kejahatan. Jangankan Presiden atau Kapolri, polisi di tingkat Kepolisian Sektor pun tidak peduli pada Deti. Wanita malang itu tak bertahan lama. Ia mati mengenaskan, dikuburkan dalam sunyi tanpa kehadiran sanak saudara! Hanya doa warga yang simpati mengiringnya ke alam baka.
Solidaritas dan Publikasi Derita 

Kisah Raisya dan Deti mempertontonkan secara amat jelas sikap kita di hadapan para korban. Korban, siapapun, pada galibnya adalah cermin. Di hadapan korban hanya ada satu kata: berpihak! Keberpihakan pada korban bukan sekadar ulah kebaikan yang sudah seharusnya dilakukan setiap manusia. Lebih dari itu keberpihakan mengandung satu perintah, suatu imperativ etis. Leonardo Boff (Introducing to Thelogy of Liberation, 1987) mengingatkan bahwa di sepanjang jalan yang disesaki para korban kita mesti menjadi “the good samaritan” (orang Samaria yang baik): mendekat, memeriksa, mengangkat si korban dan mengobati luka-lukanya. Boff, Teolog Pembebasan dari Brasil,   jelas sangat terinspirasi kisah yang terdapat dalam Gospel of Luke (New Jerusalem Bible, Luke 10: 25 – 37). Lukas mencatat ada opsi lain yang bisa dipilih: melihat dari jauh dan berjalan terus. Orang Samaria tidak menempuh pilihan lain ini. The Good Samaritan  menentukan pilihan dasar (optio fundamental) yang tepat: berpihak pada korban. Ia tidak berpikir akan publisitas. Dia tidak sedang menjalankan politik citra dengan menumpang derita orang lain. Sikap yang ditunjukkannya adalah empati: kesadaran untuk hadir, merasakan penderitaan, ada bersama dan membela korban. Sikap demikian mengandung resiko minim publisitas. 

Dalam kisah Raisya ada solidaritas yang tercipta berkat publikasi media dan keterlibatan  figur publik. Televisi dan surat kabar berhasil menjadikan para penculik sebagai public enemies, musuh bersama. Pada ketika yang sama solidaritas warga tercipta. Pembaca surat kabar dan pemirsa televisi dipersatukan dalam ikatan solidaritas yang diciptakan media. Korban dan yang menaruh simpati sama-sama diuntungkan oleh publikasi media. Sementara Deti adalah kisah orang kebanyakan. Deti mewakili litani panjang kisah kekalahan korban: kalah, jadi korban, mati, lalu dilupakan! Publikasi bagi korban seperti ini hanya riuh rendah sesaat untuk tidak lama kemudian kembali senyap. 

Gagap Massal Dan Lupa Bersama

Penderitaan dan publikasi sejatinya dua hal yang paradoksal. Penderitaan adalah situasi negatif, ketiadaan. Sementara publikasi mengandaikan ada sesuatu, news, yang bisa diumumkan ke publik. Paradoksnya: penderitaan  selalu menarik untuk jadi news dan selanjutnya diumumkan ke publik. Efek melankolis yang ditimbulkan mampu menyedot perhatian jutaan orang dan efektif membuat air mata terurai. Simpati mengalir dan kegeraman publik tercipta. Kisah mangkatnya Aziz Angkat, Ketua DPRD Sumatra Utara, pasca demonstrasi rusuh kelompok yang memperjuangkan berdirinya Propinsi Tapanuli terpisah dari Propinsi induk Sumatra Utara pada hari Rabu, 4/2/2009 mewakili keberhasilan media mengundang simpati dan rasa geram publik. Sukardi Rinakit dengan tepat melukiskan kecendrungan ini sebagai sikap mudah kasihan yang jadi salah satu ciri dari sikap dasar mayoritas kita berhadapan  dengan berbagi problem, juga di ranah politis. Hujan air mata dari segala penjuru negeri menjadi pertunjukan di setiap derita. Bangsa ini gemar mengekspos derita dan amat mudah untuk melupakannya lagi. Inilah juga yang sedang kita saksikan hari-hari ini. Media mengaduk emosi pembaca dan pemirsa. Ada bocah Ponari di Jombang yang tiba-tiba kesohor karena punya kemampuan mengobati dengan batu ajaibnya. Kisah keberhasilan Komisaris Polisi Theresia, Kapolsek  yang menyamar dan berhasil membongkar praktek aborsi berkedok tempat praktek dokter. Sisi lain yang (sering) luput dari kisah kisah-kisah seperti ini adalah ribuan korban yang kalut dan bingung, berjejal mencari keselamatan, mencari kesembuhan, mencari jalan keluar. Di bagian yang lain ada kerumunan massa yang terjadi spontan: menonton, marah dan seterusnya lupa!

Apa yang kita saksikan adalah gagap massal. Masyarakat yang bingung mengartikulasikan penderitaan yang sedang dialami. Gagap massal menyebabkan ribuan orang bisa berkerumun  dalam sekejap hanya melalui kabar angin. Luar biasa! Fenomena ini bertolak belakang dengan tontonan di panggung lain: politik para elit. Di panggung politik para elit ada mobilisasi dan penggiringan sistematis. Ketika kawula sedang gagap menyikapi derita, para elit giat mencari dukungan. Iklan-iklan media selalu memposisikan elit politik sebagai pembela kaum lemah yang dicitrakan, a la iklan rexona, setia setiap saat berada di pihak korban. Tiba-tiba aktor-aktor politik yang sebelumnya jauh menjadi begitu dekat, begitu nyata, begitu peduli dengan penderitaan rakyat. Setelah terpilih orang-orang ini sering mengalami penurunan daya ingat sangat tajam sehingga lupa pada janji yang pernah diumbar, lupa pada derita rakyat, bahkan lupa diri. Maka ada kemiripin laku elit dan kawula dalam hal ini: sama-sama (cepat) lupa!

(Catatan : ini tulisan lama, baru dipublikasikan hehehe)

Selasa, 13 Januari 2015

Pemandian dan Ruang Sosial




Saya – baik ketika masih di Belitung maupun sekarang setelah di Bangka – sering mengadakan perjalanan sore hari. Entah hendak ke stasi atau pulang dari stasi. Satu hal menarik saya amati di perkampungan-perkampungan sepanjang jalan : Pemandian!!
Umumnya tiap kampung punya pemandian, tempat mandi umum. Letaknya agak di luar kampung. Keadaannya bisa sangat biasa, alami : air mengalir yang membentuk kolam, kadang dibuatkan semacam bak tampung lalu air dialirkan melalui pipa, bisa pipa bambu, plastik atau besi. Kadang-kadang sudah dibuat tembok, sehingga tidak kelihatan dari luar. Di sana orang mandi – bahkan kadang-kadang juga kendaraannya – mencuci dan bertemu. Menarik, karena umumnya mereka sudah punya rumah permanen dengan asitektur modern, jadi sangat mungkin sudah dilengkapi sarana kamar mandi dan WC. Mengapa ke pemandian??

Pemandian rupanya tidak melulu tempat orang membersihkan kotoran, daki badan. Pemandian juga adalah ruang sosial: di sana orang berinteraksi, bersosialisasi, bertukar informasi dan berbagi kisah. Isu-isu apa pun bisa dipertukarkan di sana. Dari harga-harga kebutuhan pokok yang semakin mahal. BBM yang langka, sampai isu-isu domestik : si Polan baru punya motor baru. Si Unang menikah lagi dan ini istri yang ketiga dan lain sebagainya. Selain ruang sosial, pemandian juga ampuh sebagai ‘ruang katarsis’: hidup yang semrawut penuh tetek bengek butuh saluran pembuangan. Di sanalah, ketika orang tidak berada dalam sekat-sekat, orang menemukan itu.

Hidup – apalagi ketika semangat individualistis semakin menguat – butuh ruang-ruang sosial semacam itu. Butuh ‘pemandian’ di mana orang tidak saja membersihkan diri secara fisik, tapi secara spiritual juga bisa plong.

Kamis, 08 Januari 2015

BONGKAR TENDA...



Hari senin pagi saya diminta memberkati kuburan yang baru selesai dibangun. Supaya ibadah bisa lebih nyaman, keluarga menyediakan tenda, disewa dari jasa penyediaan tenda. Ibadah berjalan baik, terik matahari tak terasa karena terlindung Tenda.
Setelah ibadah kami menikmati kue yang disediakan. Sedang asyik menikmati ue datanglah truk si tukang tenda. Salah seorang turun, menemui keluarga yang punya hajatan. Dengan sopan dia bertanya, "APAKAH TENDA SUDAH BOLEH DIBONGKAR?". Ibu - yang makam anaknya baru diberkati - minta ditunda sebentar, karena sedang makan.
Saya menyahut itulah bedanya tukang tenda dan Allah. Tukang Tenda masih mau nego. Allah tidak. Jika waktunya 'tenda hidup ini' dibongkar, tidak dapat ditawar lagi


“karena kami tahu bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di surga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” (2 Kor 5:1)

Ayu Ting Ting & Tiga Majus



(HR Penampakan Tuhan, Mat 2 : 1-12)
Beberapa waktu lalu jagad musik Indonesia dikejutkan dengan penampilan Ayu Ting Ting dengan “Alamat Palsu”-nya. Macam-macam komentar mengiringi kemunculan Ayu Ting Ting. Lagunya pun marak diputar stasiun-stasiun radio. Warung Kopi Bu Win yang sering saya kunjungi tak ketinggalan juga memutar lagu ini. Liriknya sederhana, untuk membantu mengingat kembali saya cantumkan di sini :

Alamat Palsu
by: Ayu Ting Ting 

Kemana kemana kemana ku harus mencari kemana
Kekasih tercinta tak tahu rimbanya
Lama tak datang ke rumah
Dimana dimana dimana tinggalnya sekarang dimana

Ke sana kemari membawa alamat
Namun yang ku temui bukan dirinya
Sayang yang ku terima alamat palsu

Ku tanya sama teman-teman semua
Tetapi mereka bilang tidak tahu
Sayang mungkin diriku tlah tertipu
Membuat aku frustrasi dibuatnya

Dimana dimana dimana tinggalnya sekarang dimana

Ke sana kemari membawa alamat
Namun yang ku temui bukan dirinya
Sayang yang ku terima alamat palsu

Ku tanya sama teman-teman semua
Tetapi mereka bilang tidak tahu
Sayang mungkin diriku tlah tertipu
Membuat aku frustrasi dibuatnya

Kemana kemana kemana ku harus mencari kemana
Kekasih tercinta tak tahu rimbanya
Lama tak datang ke rumah
Dimana dimana dimana tinggalnya sekarang dimana

Singkat dan gamblang : seseorang ke sana ke mari mencari kekasih yang tak tahu rimbanya. Sang kekasih tak juga ditemukan karena alamat yang ada rupanya palsu.
Berbeda dengan Ayu Tingting, Balthazar-Melkhior-Kaspar, Trio Majus hampir tak kesulitan menemukan “Alamat Yesus” meski dengan hanya mengandalkan tuntunan bintang yang mereka lihat di timur. Sama-sama mencari, namun beda nasib! Yang satu alamat palsu, yang lain alamat pasti.
Sahabat,
Pada hakekatnya setiap insan adalah pencari!. ‘Mencari’ menjadi kata kerja yang akrab dengan kita : mencari uang, mencari kerja, mencari jodoh, mencari ketenangan, mencari kesenangan, mencari popularitas, mencari kebahagiaan bahkan mencari Tuhan. Tak semua pencarian berujung ‘happy end’. Tak jarang justru orang malah tersesat, jika bukan tak mendapatkan apa apa.
Kita bisa seperti Ayu Ting Ting dalam kehidupan, jika ke sana ke mari mencari-cari dengan bekal alamat palsu. Tetapi kita juga bisa seperti Trio Majus berjumpa dengan Juru Selamat, berjumpa dengan Keselamatan!. Ketiga Orang Majus ini berjumpa dengan Tuhan karena setia pada tuntunan bintang. Bahkan ketika Herodes ingin mengecoh mereka tidak tertipu. Dari mereka kita belajar untuk di tengah-tengah bermacam-macam tawaran, bermacam-macam cahaya bintang yang menyilaukan, kita bisa melihat mana Bintang Tuhan yang senantiasa menuntun kita ke arah yang benar. Di perjalanan, kita juga akan berjumpa dengan herodes-herodes masa kini yang pandai menipu, pintar merayu dan bisa mengecoh. Namun jika kita setia pada tuntunan ‘bintang’ kita akan sampai ke tujuan dengan selamat.
“Akulah JALAN dan KEBENARAN dan HIDUP” (Yoh 14:6)....

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...