Eulogi
untuk Rm. Felix : Pelajaran dari sebuah kematian
Kita akrab dengan kematian. Bahkan adanya manusia adalah ‘ada menuju kematian’. Maka apa yang baru dari kematian?? Apa yang masih dapat dibicarakan tentang kematian?? Bukankah sebagai bentuk penghormatan kepada kebenaran kita diajarkan untuk diam berhadapan dengan ketidaktahuan. Orang segera sadar tidak bisa bicara tentang kematian. Di hadapan kematian satu-satunya sikap adalah diam! Kita tidak tahu apa-apa tentang kematian. Rasa itulah juga yang hadir ketika pada sore 26 Januari 2015 saya mendapat kabar kematian Romo Felix. Saya tidak kaget. Saya sudah membayangkan kemungkinan terburuk itu ketika mengetahui kondisi kesehatannya dari hari ke hari semakin menurun. Cepat atau lambat kematian itu akan datang. Paradoksnya meskipun tahu bahwa kematian itu pasti datang, tak seorangpun tahu kapan ia tiba.
Felix
meninggal di Lewoleba. Di tanah tumpah darahnya. Di antara saudara-saudari dan
kerabat. Di antara ribuan kenangan masa kecil. Saya – bersama dua rekan imam
romo Manse dan romo Eman – tiba di Bandara Wunopito – Lewoleba ketika jam
menunjukkan pukul 08.00 WITA, hari Rabu 28 Januari 2015. Tak menunggu lama kami
segera menuju rumah duka, setelah berhenti sebentar di rumah Pak Korpus, abang
dari Romo Yustin Talaleng yang menjemput
kami di Bandara. Rumah duka ramai dengan kaum kerabat ketika kami tiba. Suara
tangis dan ratapan menyayat. Bahasanya tidak saya kenal. Tapi air mata adalah
bahasa universal. Saya tertegun memegang peti jenasah. Sahabat yang 21 tahun
lalu memulai peziarahan bersama di Tahun Rohani St. Markus, Simpang Kamboja –
Sinaksak, Pematangsiantar kini terbujur kaku. Tanpa sadar air mata mengalir.
Felix sudah meninggal. Yang ada dihadapan ini jasadnya. Ia mati muda, 40 tahun
9 bulan 2 hari. Tak ada syarat usia untuk mati. Tak ada kata terlalu muda atau
terlalu tua.
Setelah
menyalami keluarga, kami kembali ke Pastoran. Jarak pastoran dan rumah tak
terlalu jauh. Sesampai di pastoran kami segera berkemas, karena rencananya
jenasah akan dibawa ke gereja pukul 10.00. Saya sudah memakai jubah. Rm. Manse
dan Rm. Eman juga. Ketika keluar ke ruang tamu pastoran, datanglah dengan
tergopoh-gopoh salah seorang keluarga Rm. Felix. “Romo, tampaknya kita tidak
bisa misa. Kondisi jenasah tidak memungkinkan. Keadaaannya memburuk, tidak bisa
bertahan lebih dari satu jam. Kami sudah putuskan untuk tidak jadi dibawa ke
Gereja”. Saya berbicara dengan Rm. Manse dan Rm. Eman, lalu bicara juga dengan
Rm. Yermin - pastor paroki – dan Romo Deken Lembata. Keputusannya kami akan ke
rumah duka dan melihat apa persis yang terjadi. Sesampai di rumah, jenasah
sudah ada di halaman, sudah dikeluarkan dari rumah. Saya menawarkan opsi lain :
misa di kuburan. Jenasah tetap dibawa ke pemakaman lalu dimasukan ke makam dan
ekaristi dilangsungkan. Keluarga dan umat memberi pertimbangan bahwa mereka
tidak siap untuk merayakan misa di makam, karena rencana semula misa requiem
akan dilaksanakan di Gereja. Akhirnya dengan berat hati misa requiem
dibatalkan. Kami memberangkatkan Romo Felix ke peristirahatan terakhir dengan
Ibadat Sabda. Aneka perasaan berkecamuk dalam diri saya. Selama sepuluh tahun
sebagai imam Felix telah berkali-kali merayakan misa requiem untuk umat yang
meninggal. Dan pada kematiannya sendiri ia ‘tidak mengijinkan’ kami merayakan
misa. Setelah Ibadat Sabda – dipimpin Romo Manse dan saya berkotbah – kami
mengantarnya ke peristirahatan terakhir.
KUBURKAN
SAYA DI PEMAKAMAN UMUM, DI ANTARA UMAT…
Banyak
orang menghantar Felix ke peristirahatan yang terakhir. Arakan duka itu
berjalan sekitar limaratus meter. Lagu-lagu duka dan lantunan doa terucap
sepanjang jalan. Ia dimakamkan di bukit dengan Gunung Ileape menjulang di
kejauhan. Mungkin keindahan kampung halaman yang memanggilnya pulang untuk mati
di tanah ini. Dari rahim tanah ini ia tumbuh, kepadanyalah pula ia kembali.
Pulang
dari pemakaman kami kembali ke rumah. Lalu sepakat untuk mengadakan misa
requiem mala harinya, pukul 19.00. Kami berempat – ditambah romo Ansel –
kembali ke Pastoran. Di pastoran ngobrol dengan Rm. Yermin, Pastor Paroki
Kristus Raja. Romo Yerminlah yang member Sakramen Pengurapan Orang Sakit kepada
Romo Felix sebelum dia meninggal. Dari cerita Romo Yermin kami tahu saat-saat
akhir almarhum. Senin menjelang sore Romo Yermin melayankan Perminyakan Suci.
Romo Felix mengikuti upacara itu dengan baik. Dialog-dialog dijawab dengan
baik. Setelah Romo Yermin menutup upacara dengan berkat, romo Felix mengucapkan
terimakasih. “Kaka Romo Terimakasih,
Sudah Selesai”, kata-kata itu keluar dari mulut romo Felix. Setelah itu ia
meminta mereka – romo Yermin dan salah satu keponakannya – mendoakan satu kali
doa Salam Maria. Setelah selesai mendaras Salam Maria, Felix meminta tangannya
dikatupkan di dada. Ia meninggal. Ziarah hidupnya berakhir. Sudah Selesai.
Saya
pertamakali mengenal Felix di suatu hari di bulan September tahun 1994 di
Pastoran St. Yosep, Jalan Bali, Pematangsiantar. Kami, 25 orang, mulai
menjalani Tahun Orientasi Rohani sebagai tahap awal pembinaan seorang calon
Imam Diosesan. Masa itu indah. Dan sekarang sudah berlalu hampir dua puluh satu
tahun. Di Kesebelasan angkatan kami, Felix menmepati posisi pemain bertahan,
back. Ia back kiri. Back kanan seingat saya Pandu Haris Pandiangan. Pemain
bertahan haruslah seorang petarung. Ia mesti mengamankan wilayah pertahanan
dari gempuran serangan lawan. Instruksi bagi seorang back jelas : bola boleh
lewat, tapi orangnya jangan. Atau, orang boleh lewat tetapi bola jangan! Karakter petarung itu ada dalam
diri Felix. Karakter yang sedikit banyak juga terbawa dalam hidupnya sehari
hari. Ia petarung. Hal mana tidak selalu bisa dipahami oleh semua orang dengan
baik. Tak salah kalau sikap seperti ini mendapat cap keras kepala, tak gampang
diatur dan lain sebagainya. Ia keras memegang prinsip. Tidak semua selalu
setuju dengan prinsipnya. Bahkan dengan sakitnya pun demikian. Ia berjuang
melawan sakitnya. Ia bertarung melawan kondisi yang tidak mengenakkan. Pada
akhirnya – setelah segala upaya dilalui – ia tunduk. Ia menerima keterbatasan
ketika berhadapan dengan kematian. “Sudah Selesai” mengungkapkan pengakuan akan
keterbatasan, ketakberdayaan dan ketidakmampuan sekaligus. Dalam
ketidakberdayaan, kepasrahan adalah bentuk terbaik penerimaan. Siapa pun kita,
kita miskin di hadapan kematian. Konon ketika meninggal, Alexander Agung
meminta agar ia tetap membuka telapak tangannya di dalam peti jenasah. Supaya
semua orang tahu bahwa Alexander Agung yang menaklukan sebagian besar Eropa pun
ketika meninggal tidak membawa apa-apa.
Felix
tidak membawa apa-apa. Jubah dan kasula yang dia pakai di peti jenasah adalah
“jubah pinjaman”. Romo Yermin berbaik
hati mencarikan jubah dan kasula untuk dia. Dengan pakaian pesta pinjaman itu
dia menghadap Tuhan. Kepada Martin –
adik laki-lakinya – ia meminta jika meninggal supaya dikuburkan di pemakaman
umum, di antara umat. Dan akhirnya di sanalah ia dimakamkan. Tempat seorang
imam memang di tengah umat. Sampai mati pun Felix ingin seperti itu.
Felix,
mungkin kau tidak butuh lagi ekaristi yang kami rayakan. Selamat merayakan
Ekaristi Abadi bersama Yesus yang engkau imani. Bersama para kudus di Surga. Ia
mengasihimu dengan Kasih yang Kekal, seperti motto tahbisanmu.
Kutitip
Puisi ini untukmu, dari Ibu Bumi yang memanggilmu pulang
Surat dari Ibu
(Asrul
Sani)
Pergi
ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!
Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"
pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!
Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"
Selamat
jalan kawan, sampai ketemu lagi….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar