Sabtu, 31 Januari 2015

KAKA ROMO TERIMAKASIH, SUDAH SELESAI..

Eulogi untuk Rm. Felix : Pelajaran dari sebuah kematian

Kita akrab dengan kematian. Bahkan adanya manusia adalah ‘ada menuju kematian’. Maka apa yang baru dari kematian?? Apa yang masih dapat dibicarakan tentang kematian?? Bukankah sebagai bentuk penghormatan kepada kebenaran kita diajarkan  untuk diam berhadapan dengan ketidaktahuan. Orang segera sadar tidak bisa bicara tentang kematian. Di hadapan kematian satu-satunya sikap adalah diam! Kita tidak tahu apa-apa tentang kematian. Rasa itulah juga yang hadir ketika pada sore 26 Januari 2015 saya mendapat kabar kematian Romo Felix. Saya tidak kaget. Saya sudah membayangkan kemungkinan terburuk itu ketika mengetahui kondisi kesehatannya dari hari ke hari semakin menurun. Cepat atau lambat kematian itu akan datang. Paradoksnya meskipun tahu bahwa kematian itu pasti datang, tak seorangpun tahu kapan ia tiba.


Felix meninggal di Lewoleba. Di tanah tumpah darahnya. Di antara saudara-saudari dan kerabat. Di antara ribuan kenangan masa kecil. Saya – bersama dua rekan imam romo Manse dan romo Eman – tiba di Bandara Wunopito – Lewoleba ketika jam menunjukkan pukul 08.00 WITA, hari Rabu 28 Januari 2015. Tak menunggu lama kami segera menuju rumah duka, setelah berhenti sebentar di rumah Pak Korpus, abang dari Romo Yustin Talaleng yang  menjemput kami di Bandara. Rumah duka ramai dengan kaum kerabat ketika kami tiba. Suara tangis dan ratapan menyayat. Bahasanya tidak saya kenal. Tapi air mata adalah bahasa universal. Saya tertegun memegang peti jenasah. Sahabat yang 21 tahun lalu memulai peziarahan bersama di Tahun Rohani St. Markus, Simpang Kamboja – Sinaksak, Pematangsiantar kini terbujur kaku. Tanpa sadar air mata mengalir. Felix sudah meninggal. Yang ada dihadapan ini jasadnya. Ia mati muda, 40 tahun 9 bulan 2 hari. Tak ada syarat usia untuk mati. Tak ada kata terlalu muda atau terlalu tua.

Setelah menyalami keluarga, kami kembali ke Pastoran. Jarak pastoran dan rumah tak terlalu jauh. Sesampai di pastoran kami segera berkemas, karena rencananya jenasah akan dibawa ke gereja pukul 10.00. Saya sudah memakai jubah. Rm. Manse dan Rm. Eman juga. Ketika keluar ke ruang tamu pastoran, datanglah dengan tergopoh-gopoh salah seorang keluarga Rm. Felix. “Romo, tampaknya kita tidak bisa misa. Kondisi jenasah tidak memungkinkan. Keadaaannya memburuk, tidak bisa bertahan lebih dari satu jam. Kami sudah putuskan untuk tidak jadi dibawa ke Gereja”. Saya berbicara dengan Rm. Manse dan Rm. Eman, lalu bicara juga dengan Rm. Yermin - pastor paroki – dan Romo Deken Lembata. Keputusannya kami akan ke rumah duka dan melihat apa persis yang terjadi. Sesampai di rumah, jenasah sudah ada di halaman, sudah dikeluarkan dari rumah. Saya menawarkan opsi lain : misa di kuburan. Jenasah tetap dibawa ke pemakaman lalu dimasukan ke makam dan ekaristi dilangsungkan. Keluarga dan umat memberi pertimbangan bahwa mereka tidak siap untuk merayakan misa di makam, karena rencana semula misa requiem akan dilaksanakan di Gereja. Akhirnya dengan berat hati misa requiem dibatalkan. Kami memberangkatkan Romo Felix ke peristirahatan terakhir dengan Ibadat Sabda. Aneka perasaan berkecamuk dalam diri saya. Selama sepuluh tahun sebagai imam Felix telah berkali-kali merayakan misa requiem untuk umat yang meninggal. Dan pada kematiannya sendiri ia ‘tidak mengijinkan’ kami merayakan misa. Setelah Ibadat Sabda – dipimpin Romo Manse dan saya berkotbah – kami mengantarnya ke peristirahatan terakhir.

KUBURKAN SAYA DI PEMAKAMAN UMUM, DI ANTARA UMAT…
Banyak orang menghantar Felix ke peristirahatan yang terakhir. Arakan duka itu berjalan sekitar limaratus meter. Lagu-lagu duka dan lantunan doa terucap sepanjang jalan. Ia dimakamkan di bukit dengan Gunung Ileape menjulang di kejauhan. Mungkin keindahan kampung halaman yang memanggilnya pulang untuk mati di tanah ini. Dari rahim tanah ini ia tumbuh, kepadanyalah pula ia kembali. 
Pulang dari pemakaman kami kembali ke rumah. Lalu sepakat untuk mengadakan misa requiem mala harinya, pukul 19.00. Kami berempat – ditambah romo Ansel – kembali ke Pastoran. Di pastoran ngobrol dengan Rm. Yermin, Pastor Paroki Kristus Raja. Romo Yerminlah yang member Sakramen Pengurapan Orang Sakit kepada Romo Felix sebelum dia meninggal. Dari cerita Romo Yermin kami tahu saat-saat akhir almarhum. Senin menjelang sore Romo Yermin melayankan Perminyakan Suci. Romo Felix mengikuti upacara itu dengan baik. Dialog-dialog dijawab dengan baik. Setelah Romo Yermin menutup upacara dengan berkat, romo Felix mengucapkan terimakasih. “Kaka Romo Terimakasih, Sudah Selesai”, kata-kata itu keluar dari mulut romo Felix. Setelah itu ia meminta mereka – romo Yermin dan salah satu keponakannya – mendoakan satu kali doa Salam Maria. Setelah selesai mendaras Salam Maria, Felix meminta tangannya dikatupkan di dada. Ia meninggal. Ziarah hidupnya berakhir. Sudah Selesai.

Saya pertamakali mengenal Felix di suatu hari di bulan September tahun 1994 di Pastoran St. Yosep, Jalan Bali, Pematangsiantar. Kami, 25 orang, mulai menjalani Tahun Orientasi Rohani sebagai tahap awal pembinaan seorang calon Imam Diosesan. Masa itu indah. Dan sekarang sudah berlalu hampir dua puluh satu tahun. Di Kesebelasan angkatan kami, Felix menmepati posisi pemain bertahan, back. Ia back kiri. Back kanan seingat saya Pandu Haris Pandiangan. Pemain bertahan haruslah seorang petarung. Ia mesti mengamankan wilayah pertahanan dari gempuran serangan lawan. Instruksi bagi seorang back jelas : bola boleh lewat, tapi orangnya jangan. Atau, orang boleh lewat tetapi  bola jangan! Karakter petarung itu ada dalam diri Felix. Karakter yang sedikit banyak juga terbawa dalam hidupnya sehari hari. Ia petarung. Hal mana tidak selalu bisa dipahami oleh semua orang dengan baik. Tak salah kalau sikap seperti ini mendapat cap keras kepala, tak gampang diatur dan lain sebagainya. Ia keras memegang prinsip. Tidak semua selalu setuju dengan prinsipnya. Bahkan dengan sakitnya pun demikian. Ia berjuang melawan sakitnya. Ia bertarung melawan kondisi yang tidak mengenakkan. Pada akhirnya – setelah segala upaya dilalui – ia tunduk. Ia menerima keterbatasan ketika berhadapan dengan kematian. “Sudah Selesai” mengungkapkan pengakuan akan keterbatasan, ketakberdayaan dan ketidakmampuan sekaligus. Dalam ketidakberdayaan, kepasrahan adalah bentuk terbaik penerimaan. Siapa pun kita, kita miskin di hadapan kematian. Konon ketika meninggal, Alexander Agung meminta agar ia tetap membuka telapak tangannya di dalam peti jenasah. Supaya semua orang tahu bahwa Alexander Agung yang menaklukan sebagian besar Eropa pun ketika meninggal tidak membawa apa-apa.

Felix tidak membawa apa-apa. Jubah dan kasula yang dia pakai di peti jenasah adalah “jubah pinjaman”.  Romo Yermin berbaik hati mencarikan jubah dan kasula untuk dia. Dengan pakaian pesta pinjaman itu dia menghadap Tuhan.  Kepada Martin – adik laki-lakinya – ia meminta jika meninggal supaya dikuburkan di pemakaman umum, di antara umat. Dan akhirnya di sanalah ia dimakamkan. Tempat seorang imam memang di tengah umat. Sampai mati pun Felix ingin seperti itu.

Felix, mungkin kau tidak butuh lagi ekaristi yang kami rayakan. Selamat merayakan Ekaristi Abadi bersama Yesus yang engkau imani. Bersama para kudus di Surga. Ia mengasihimu dengan Kasih yang Kekal, seperti motto tahbisanmu.

Kutitip Puisi ini untukmu, dari Ibu Bumi yang memanggilmu pulang

Surat dari Ibu
(Asrul Sani)
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau



Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau


Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!


Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"
Selamat jalan kawan, sampai ketemu lagi….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...