Messidependencia – ketergantungan pada Messi -
adalah nama yang diberi para pengamat bola dan pewarta media untuk
mengungkapkan apa yag terjadi di klub sepakbola Barcelona. Barcelona,
setidak-tidaknya dalam kurun waktu lima tahun terakhir, hadir dengan sepakbola
atraktif rancak nan menghibur. Jutaan orang tersihir menyaksikan pesepakbola
tim barcelona memainkan si kulit bundar. Tiki taka, gaya permainan satu dua
sentuhan dengan penguasaan bola tinggi, menjadi tontonan yang sangat menarik.
Begitu banyak lawan yang dibuat tak berdaya menghadapi cara bermain seperti
ini. Saking frustrasi menemukan cara terbaik untuk meredam gaya bermain seperti
ini, beberapa tim menerapkan taktik ‘parkir bus’. Praktek paling baik ‘parkir
bus’ meredam tiki taka terjadi pada Final Champions Cup, ketika Inter Milan
besutan Jose Mourinho berhasil menaklukan Barcelona yang ketika itu ditangani
Pep Guardiola.
Waktu terus bergulir, sepakbola tetap
menawarkan gempita. Ibarat seorang yang sudah mencapai puncak tertinggi,
Barcelona nampaknya tak tahu lagi bagaimana harus mencapai puncak lebih tinggi
lagi karena mereka berada di tempat tertinggi. Pada ketika yang sama tim-tim
lain rajin berinovasi mencoba mencari-cari dan menemukan cara terbaik
menghasilkan tim yang tidak saja bisa meredam kedigdayaan Barca, tapi juga
menghadirkan ‘sesuatu yang lain’, yang bukan barca!! Ironisnya – hampir pada
saat yang sama – Barca berada di ‘titik jenuh’. Mereka seperti sekumpulan
pemain dari planet asing yang tak terjangkau, tapi juga tak tau harus menjadi
seperti apalagi. Tesis bertemu anti-tesis. Walau belum menjadi sintesis baru,
setidak-tidaknya orang tahu Barca bukan tim yang tak dapat dikalahkan.
Tiga – atau empat – pertandingan terakhir di
Liga Champions semakin mengukuhkan hal itu. Berhadapan dengan AC Milan di San
Siro, Barca tumbang 0 – 2!! Meskipun setelah itu mereka mampu membalikan
keadaan di Camp Nou untuk lolos ke Semi Final, orang melihat dan tahu tim ini
sangat bergantung pada satu orang : Messi! Kehadiran Messi selalu bisa menjadi
titik balik. Ibarat mesias ia selalu bisa menciptakan mujizat. Tak heran jika
‘si kutu’ ini dianggap Messiah, dan kepada mesias inilah Barca tergantung. Dua
laga di semi final menunjukkan betapa ketika ‘sang mesias’ tak mampu membuat
mujizat, tim ini majal. Agregat 7 – 0 dari pertandingan tandang dan kandang
bukan saja menjadi bab akhir dari perjalanan Barca di Liga Champions, tapi juga
kenyataan paling menyakitkan untuk sekumpulan pemain sepakbola yang digadang
gadang sebagai yang terbaik di muka bumi. Akankah ini menjadi akhir dari era
sepakbola tiki taka?? Meskipun bukan fans Barcelona, saya berharap tidak. Di
tengah kegalauan politik dan ekonomi, perilaku elit yang semakin memuakkan,
sepak bola indah selalu menjadi oase, penawar dahaga. Namun satu pelajaran penting
kita dapatkan : ketergantungan pada hanya seorang, Messi sekalipun, ternyata tak baik bagi sebuah tim yang
daripadanya dituntut kolektivitas dan kerjasama. Barca berusaha keluar dari
itu. Mereka menemukan satu orang yang diharapkan bisa menyembuhkan tim dari
syndrom ‘messidependencia’. Orang itu adalah Neymar da Silva, anak muda jebolan
tim Santos – Brazil. Pemain termuda yang pernah dinobatkan sebagai pesepakbola
terbaik Brazil.
Lain bola, lain pula dalam hidup beriman. Jika
di bola, setidak-tidaknya yang diperlihatkan Barcelona, ketergantungan pada
Messi (ah) berakibat kehilangan daya atraktif kolektif yang berujung kegagalan
meraih juara, dalam hidup beriman kita justru mesti sangat bergantung pada SANG
MESSIAS!! Seperti kata pemazmur, “lebih baik berlindung pada TUHAN, daripada
percaya kepada manusia” (Mzm 118 :8). Salam bola
Tidak ada komentar:
Posting Komentar