Raisya dan Deti. Dua wanita dengan kisah hidup berbeda, bak
langit dan bumi. Yang pertama bocah lima tahun yang pernah menghiasi media
massa karena jadi korban penculikan pada 15 Agustus 2007 dalam perjalanan
pulang dari TK Islam Al Ikhlas ke rumahnya di Jatiwaringin. Tak urung seantero
negeri ingin tahu nasib gadis cilik ini dari hari ke hari. Presiden SBY memberi
perhatian serius pada kasus penculikan Raisya. Dino Patti Jalal, juru bicara
presiden, menulis kisah di balik berita itu untuk menampilkan sisi humanis
seorang presiden (Harus Bisa: Seni Memimpin à la SBY, R&W, 2008). ”Dino,
saya akan buat statement mengenai Raisya nanti malam, segera atur. Sebelum itu,
hubungkan saya dengan orangtuanya”. Lebih dari itu SBY membuat doorstop statement di Istana Negara
mengenai Raiysa. SBY memohon para penculik segera mengembalikan Raisya ke
pangkuan orangtuanya dalam keadaan selamat. Kapolri juga diinstruksikan supaya
kasus Raisya jadi prioritas: Raisya harus segera kembali ke pangkuan
keluarganya! (hlm. 59-60). Mengharukan. Membanggakan. Seorang kepala negara
memberi perhatian begitu serius pada keluarga Ali Said yang cemas karena putri
semata wayang yang lahir setelah ditunggu lama nasibnya tidak menentu di tangan
penculik. Para pembaca tahu kisah ini berakhir happy ending. Penculik-penculik yang adalah remaja tanggung SMA
membebaskan Raisya. Ayah ibu bersukacita. Pemirsa televisi dan pembaca media
cetak yang rajin mengikuti berita dari hari ke hari lega. Presiden SBY juga
gembira bahkan masih mewanti-wanti agar Raisya dijauhkan dari sirkus media. Privasi si bocah harus dilindungi
katanya.
Deti adalah kisah yang lain. Wanita malang, yang asal usulnya
tak diketahui jelas ini, ditemukan warga dalam keadaan lusuh habis diperkosa
setelah dihipnotis (TVOne, Kabar Malam 26/2/2009, 00.00 WIB). Puskesmas menolaknya.
Polisi di Polsek Pamulang tak menghiraukan laporan warga yang menemukan wanita
yang diduga korban kejahatan dengan kekerasan ini. Ia akhirnya tergolek lemas
di pos keamanan, gardu jaga dengan dinding hanya sebelah. Warga mengumpulkan
dana solidaritas lalu membelikan infus karena keadaannya makin lama makin lemah.
Tak banyak publikasi. Tak ada Presiden yang mengungkapkan turut berduka. Tak
ada perintah untuk Kapolri menjadikannya prioritas penanganan. Tak ada Deti Center yang bergiat aktif
membongkar kasus dan menangkap para pelaku kejahatan. Jangankan Presiden atau
Kapolri, polisi di tingkat Kepolisian Sektor pun tidak peduli pada Deti. Wanita
malang itu tak bertahan lama. Ia mati mengenaskan, dikuburkan dalam sunyi tanpa
kehadiran sanak saudara! Hanya doa warga yang simpati mengiringnya ke alam
baka.
Solidaritas
dan Publikasi Derita
Kisah Raisya dan Deti mempertontonkan secara amat jelas sikap
kita di hadapan para korban. Korban, siapapun, pada galibnya adalah cermin. Di
hadapan korban hanya ada satu kata: berpihak! Keberpihakan pada korban bukan
sekadar ulah kebaikan yang sudah seharusnya dilakukan setiap manusia. Lebih
dari itu keberpihakan mengandung satu perintah, suatu imperativ etis. Leonardo
Boff (Introducing to Thelogy of
Liberation, 1987) mengingatkan bahwa di sepanjang jalan yang disesaki para korban
kita mesti menjadi “the good samaritan”
(orang Samaria yang baik): mendekat, memeriksa, mengangkat si korban dan
mengobati luka-lukanya. Boff, Teolog Pembebasan dari Brasil, jelas
sangat terinspirasi kisah yang terdapat dalam Gospel of Luke (New Jerusalem Bible, Luke 10: 25 – 37).
Lukas mencatat
ada opsi lain yang bisa dipilih: melihat dari jauh dan berjalan terus. Orang Samaria tidak menempuh
pilihan lain ini. The Good Samaritan menentukan
pilihan dasar (optio fundamental)
yang tepat: berpihak pada korban. Ia tidak berpikir akan publisitas. Dia tidak
sedang menjalankan politik citra dengan menumpang derita orang lain. Sikap yang
ditunjukkannya adalah empati: kesadaran untuk hadir, merasakan penderitaan, ada
bersama dan membela korban. Sikap demikian mengandung resiko minim publisitas.
Dalam kisah Raisya ada solidaritas yang tercipta berkat
publikasi media dan keterlibatan figur
publik. Televisi dan surat kabar berhasil menjadikan para penculik sebagai public enemies, musuh bersama. Pada ketika
yang sama solidaritas warga tercipta. Pembaca surat kabar dan pemirsa televisi
dipersatukan dalam ikatan solidaritas yang diciptakan media. Korban dan yang
menaruh simpati sama-sama diuntungkan oleh publikasi media. Sementara Deti
adalah kisah orang kebanyakan. Deti mewakili litani panjang kisah kekalahan
korban: kalah, jadi korban, mati, lalu dilupakan! Publikasi bagi korban seperti
ini hanya riuh rendah sesaat untuk tidak lama kemudian kembali senyap.
Gagap
Massal Dan Lupa Bersama
Penderitaan dan publikasi sejatinya dua hal yang paradoksal.
Penderitaan adalah situasi negatif, ketiadaan. Sementara publikasi mengandaikan
ada sesuatu, news, yang bisa
diumumkan ke publik. Paradoksnya: penderitaan
selalu menarik untuk jadi news
dan selanjutnya diumumkan ke publik. Efek melankolis yang ditimbulkan mampu
menyedot perhatian jutaan orang dan efektif membuat air mata terurai. Simpati
mengalir dan kegeraman publik tercipta. Kisah mangkatnya Aziz Angkat, Ketua
DPRD Sumatra Utara, pasca demonstrasi rusuh kelompok yang memperjuangkan
berdirinya Propinsi Tapanuli terpisah dari Propinsi induk Sumatra Utara pada
hari Rabu, 4/2/2009 mewakili keberhasilan media mengundang simpati dan rasa
geram publik. Sukardi Rinakit dengan tepat melukiskan kecendrungan ini sebagai
sikap mudah kasihan yang jadi salah satu ciri dari sikap dasar mayoritas kita
berhadapan dengan berbagi problem, juga
di ranah politis. Hujan air mata dari segala penjuru negeri menjadi pertunjukan
di setiap derita. Bangsa ini gemar mengekspos derita dan amat mudah untuk
melupakannya lagi. Inilah juga yang sedang kita saksikan hari-hari ini. Media
mengaduk emosi pembaca dan pemirsa. Ada bocah Ponari di Jombang yang tiba-tiba
kesohor karena punya kemampuan mengobati dengan batu ajaibnya. Kisah keberhasilan
Komisaris Polisi Theresia, Kapolsek yang
menyamar dan berhasil membongkar praktek aborsi berkedok tempat praktek dokter.
Sisi lain yang (sering) luput dari kisah kisah-kisah seperti ini adalah ribuan
korban yang kalut dan bingung, berjejal mencari keselamatan, mencari kesembuhan,
mencari jalan keluar. Di bagian yang lain ada kerumunan massa yang terjadi
spontan: menonton, marah dan seterusnya lupa!
Apa yang kita saksikan adalah gagap massal. Masyarakat yang
bingung mengartikulasikan penderitaan yang sedang dialami. Gagap massal
menyebabkan ribuan orang bisa berkerumun
dalam sekejap hanya melalui kabar angin. Luar biasa! Fenomena ini
bertolak belakang dengan tontonan di panggung lain: politik para elit. Di
panggung politik para elit ada mobilisasi dan penggiringan sistematis. Ketika
kawula sedang gagap menyikapi derita, para elit giat mencari dukungan.
Iklan-iklan media selalu memposisikan elit politik sebagai pembela kaum lemah
yang dicitrakan, a la iklan rexona, setia setiap saat berada di pihak korban. Tiba-tiba
aktor-aktor politik yang sebelumnya jauh menjadi begitu dekat, begitu nyata,
begitu peduli dengan penderitaan rakyat. Setelah terpilih orang-orang ini
sering mengalami penurunan daya ingat sangat tajam sehingga lupa pada janji
yang pernah diumbar, lupa pada derita rakyat, bahkan lupa diri. Maka ada
kemiripin laku elit dan kawula dalam hal ini: sama-sama (cepat) lupa!
(Catatan : ini tulisan lama, baru dipublikasikan hehehe)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar