Kamis, 22 Januari 2015

Kita Yang Cepat Lupa


Raisya dan Deti. Dua wanita dengan kisah hidup berbeda, bak langit dan bumi. Yang pertama bocah lima tahun yang pernah menghiasi media massa karena jadi korban penculikan pada 15 Agustus 2007 dalam perjalanan pulang dari TK Islam Al Ikhlas ke rumahnya di Jatiwaringin. Tak urung seantero negeri ingin tahu nasib gadis cilik ini dari hari ke hari. Presiden SBY memberi perhatian serius pada kasus penculikan Raisya. Dino Patti Jalal, juru bicara presiden, menulis kisah di balik berita itu untuk menampilkan sisi humanis seorang presiden (Harus Bisa: Seni Memimpin à la SBY, R&W, 2008). ”Dino, saya akan buat statement mengenai Raisya nanti malam, segera atur. Sebelum itu, hubungkan saya dengan orangtuanya”. Lebih dari itu SBY membuat doorstop statement di Istana Negara mengenai Raiysa. SBY memohon para penculik segera mengembalikan Raisya ke pangkuan orangtuanya dalam keadaan selamat. Kapolri juga diinstruksikan supaya kasus Raisya jadi prioritas: Raisya harus segera kembali ke pangkuan keluarganya! (hlm. 59-60). Mengharukan. Membanggakan. Seorang kepala negara memberi perhatian begitu serius pada keluarga Ali Said yang cemas karena putri semata wayang yang lahir setelah ditunggu lama nasibnya tidak menentu di tangan penculik. Para pembaca tahu kisah ini berakhir happy ending. Penculik-penculik yang adalah remaja tanggung SMA membebaskan Raisya. Ayah ibu bersukacita. Pemirsa televisi dan pembaca media cetak yang rajin mengikuti berita dari hari ke hari lega. Presiden SBY juga gembira bahkan masih mewanti-wanti agar Raisya dijauhkan dari sirkus  media. Privasi si bocah harus dilindungi katanya.
Deti adalah kisah yang lain. Wanita malang, yang asal usulnya tak diketahui jelas ini, ditemukan warga dalam keadaan lusuh habis diperkosa setelah dihipnotis (TVOne, Kabar Malam 26/2/2009, 00.00 WIB). Puskesmas menolaknya. Polisi di Polsek Pamulang tak menghiraukan laporan warga yang menemukan wanita yang diduga korban kejahatan dengan kekerasan ini. Ia akhirnya tergolek lemas di pos keamanan, gardu jaga dengan dinding hanya sebelah. Warga mengumpulkan dana solidaritas lalu membelikan infus karena keadaannya makin lama makin lemah. Tak banyak publikasi. Tak ada Presiden yang mengungkapkan turut berduka. Tak ada perintah untuk Kapolri menjadikannya prioritas penanganan. Tak ada Deti Center yang bergiat aktif membongkar kasus dan menangkap para pelaku kejahatan. Jangankan Presiden atau Kapolri, polisi di tingkat Kepolisian Sektor pun tidak peduli pada Deti. Wanita malang itu tak bertahan lama. Ia mati mengenaskan, dikuburkan dalam sunyi tanpa kehadiran sanak saudara! Hanya doa warga yang simpati mengiringnya ke alam baka.
Solidaritas dan Publikasi Derita 

Kisah Raisya dan Deti mempertontonkan secara amat jelas sikap kita di hadapan para korban. Korban, siapapun, pada galibnya adalah cermin. Di hadapan korban hanya ada satu kata: berpihak! Keberpihakan pada korban bukan sekadar ulah kebaikan yang sudah seharusnya dilakukan setiap manusia. Lebih dari itu keberpihakan mengandung satu perintah, suatu imperativ etis. Leonardo Boff (Introducing to Thelogy of Liberation, 1987) mengingatkan bahwa di sepanjang jalan yang disesaki para korban kita mesti menjadi “the good samaritan” (orang Samaria yang baik): mendekat, memeriksa, mengangkat si korban dan mengobati luka-lukanya. Boff, Teolog Pembebasan dari Brasil,   jelas sangat terinspirasi kisah yang terdapat dalam Gospel of Luke (New Jerusalem Bible, Luke 10: 25 – 37). Lukas mencatat ada opsi lain yang bisa dipilih: melihat dari jauh dan berjalan terus. Orang Samaria tidak menempuh pilihan lain ini. The Good Samaritan  menentukan pilihan dasar (optio fundamental) yang tepat: berpihak pada korban. Ia tidak berpikir akan publisitas. Dia tidak sedang menjalankan politik citra dengan menumpang derita orang lain. Sikap yang ditunjukkannya adalah empati: kesadaran untuk hadir, merasakan penderitaan, ada bersama dan membela korban. Sikap demikian mengandung resiko minim publisitas. 

Dalam kisah Raisya ada solidaritas yang tercipta berkat publikasi media dan keterlibatan  figur publik. Televisi dan surat kabar berhasil menjadikan para penculik sebagai public enemies, musuh bersama. Pada ketika yang sama solidaritas warga tercipta. Pembaca surat kabar dan pemirsa televisi dipersatukan dalam ikatan solidaritas yang diciptakan media. Korban dan yang menaruh simpati sama-sama diuntungkan oleh publikasi media. Sementara Deti adalah kisah orang kebanyakan. Deti mewakili litani panjang kisah kekalahan korban: kalah, jadi korban, mati, lalu dilupakan! Publikasi bagi korban seperti ini hanya riuh rendah sesaat untuk tidak lama kemudian kembali senyap. 

Gagap Massal Dan Lupa Bersama

Penderitaan dan publikasi sejatinya dua hal yang paradoksal. Penderitaan adalah situasi negatif, ketiadaan. Sementara publikasi mengandaikan ada sesuatu, news, yang bisa diumumkan ke publik. Paradoksnya: penderitaan  selalu menarik untuk jadi news dan selanjutnya diumumkan ke publik. Efek melankolis yang ditimbulkan mampu menyedot perhatian jutaan orang dan efektif membuat air mata terurai. Simpati mengalir dan kegeraman publik tercipta. Kisah mangkatnya Aziz Angkat, Ketua DPRD Sumatra Utara, pasca demonstrasi rusuh kelompok yang memperjuangkan berdirinya Propinsi Tapanuli terpisah dari Propinsi induk Sumatra Utara pada hari Rabu, 4/2/2009 mewakili keberhasilan media mengundang simpati dan rasa geram publik. Sukardi Rinakit dengan tepat melukiskan kecendrungan ini sebagai sikap mudah kasihan yang jadi salah satu ciri dari sikap dasar mayoritas kita berhadapan  dengan berbagi problem, juga di ranah politis. Hujan air mata dari segala penjuru negeri menjadi pertunjukan di setiap derita. Bangsa ini gemar mengekspos derita dan amat mudah untuk melupakannya lagi. Inilah juga yang sedang kita saksikan hari-hari ini. Media mengaduk emosi pembaca dan pemirsa. Ada bocah Ponari di Jombang yang tiba-tiba kesohor karena punya kemampuan mengobati dengan batu ajaibnya. Kisah keberhasilan Komisaris Polisi Theresia, Kapolsek  yang menyamar dan berhasil membongkar praktek aborsi berkedok tempat praktek dokter. Sisi lain yang (sering) luput dari kisah kisah-kisah seperti ini adalah ribuan korban yang kalut dan bingung, berjejal mencari keselamatan, mencari kesembuhan, mencari jalan keluar. Di bagian yang lain ada kerumunan massa yang terjadi spontan: menonton, marah dan seterusnya lupa!

Apa yang kita saksikan adalah gagap massal. Masyarakat yang bingung mengartikulasikan penderitaan yang sedang dialami. Gagap massal menyebabkan ribuan orang bisa berkerumun  dalam sekejap hanya melalui kabar angin. Luar biasa! Fenomena ini bertolak belakang dengan tontonan di panggung lain: politik para elit. Di panggung politik para elit ada mobilisasi dan penggiringan sistematis. Ketika kawula sedang gagap menyikapi derita, para elit giat mencari dukungan. Iklan-iklan media selalu memposisikan elit politik sebagai pembela kaum lemah yang dicitrakan, a la iklan rexona, setia setiap saat berada di pihak korban. Tiba-tiba aktor-aktor politik yang sebelumnya jauh menjadi begitu dekat, begitu nyata, begitu peduli dengan penderitaan rakyat. Setelah terpilih orang-orang ini sering mengalami penurunan daya ingat sangat tajam sehingga lupa pada janji yang pernah diumbar, lupa pada derita rakyat, bahkan lupa diri. Maka ada kemiripin laku elit dan kawula dalam hal ini: sama-sama (cepat) lupa!

(Catatan : ini tulisan lama, baru dipublikasikan hehehe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐆𝐀, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐑𝐔𝐌𝐀𝐇 𝐃𝐔𝐊𝐀

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...