Jumat, 23 Desember 2016

Natal, Kekerasan & Solidaritas

Umat Kristiani merayakan Natal yang setiap tahun jatuh pada 25 Desember. Tahun ini Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) mengeluarkan Pesan Natal bertajuk “Hari Ini Telah Lahir Bagimu Juruselamat, Yaitu Kristus, Tuhan, Di Kota Daud” (Lukas 2:11). Para Pemimpin Gereja Indonesia mengingatkan kembali hakekat Natal sebagai tanda belarasa (solidaritas) Allah kepada manusia. Inkarnasi (=Allah yang menjelma menjadi Manusia) adalah tanda tertinggi dari Cinta Allah kepada manusia. Tanggapan terhadap Cinta Allah ini harus dijawab oleh setiap umat Kristiani dengan ikut terlibat memperjuangkan kebaikan bersama. Para Pemimpin Gereja mengingatkan pencapaian-pencapaian positif pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam upaya menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang merata. Di sisi lain juga diingatkan tantangan-tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa. Antara lain disebutkan ancaman kekerasan bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), korupsi dan pungli yang masih merajalela,  tingginya kemiskinan : 28,01 juta jiwa (BPS per Maret 2016), maraknya peredaran dan pemakaian narkoba (Data BNN tahun 2015, pada periode Juni hingga November 2015 terjadi penambahan sebesar 1,7 juta jiwa, dari semula 4,2 juta menjadi 5,9 juta jiwa). Kualitas demokrasi, yang tampak dalam penyelenggaraan pilkada serentak, yang masih perlu ditingkatkan.

Kekerasan

Di tengah kegembiraan menyambut Natal, kita masih dihantui aneka kisah kekerasan di tingkat  global, regional, nasional maupun lokal. Konflik  Politik di beberapa negara memaksa  ribuan orang harus mengungsi dan mendatangi negara-negara baru terutama di Eropa. Para  pengungsi korban konflik politik dan agama  ini kemudian menjadi masalah baru. Kehadiran mereka menimbulkan gesekan yang dipicu krisis ekonomi entah karena ketersediaan pangan, sandang dan papan yang tak tercukupi maupun lapangan kerja yang minim. Krisis melahirkan kekerasan. Aksi teror di Perancis (22/3/2016) dan terakhir teror di Berlin (19/12/2016) adalah puncak gunung es dari tumpukan problem sosial politik ekonomi global. Kekerasan juga terjadi intra-regional. Konflik politik menahun di Laut China Selatan, konflik di Rohingya - Myanmar, perang antar kartel narkoba di Mexico, dan berbagai konflik dengan rentangan skala variatif di berbagai penjuru masih bisa diperpanjang daftarnya untuk mengingatkan bahwa kekerasan masih menjadi pilihan sekelompok orang daam menyelesaikan persolan.

Di dalam negeri, di antara berbagai pencapaian positif, kita mencatat masih ada banyak persoalan serius. Kompas, Sabtu 17/12/2016 menurunkan laporan statistik kasus korupsi di Indonesia. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa telah menjadi kekerasan yang menghancurkan banyak sendi kehidupan, menyebabkan kemiskinan, kebodohan dan menurunnya indeks mutu manusia. Berdasarkan jumlah penindakan perkara, per 31 Oktober 2016, Kompas mencatat bahwa di tahun 2015 jumlah penyelidikan kasus korupsi berjumlah 87 dan di tanun 2016  berjumlah 81. Penyidikan meningkat menjadi 81 kasus (tahun 2015, 57 kasus). Penuntutan 70 kasus (2015, 62 kasus). Inkracht/berkekuatan hukum tetap 58 kasus (2015, 37 kasus). Ekseskusi 67 kasus (2015, 38 kasus. Berdasarkan pekerjaan/profesi para terpidana korupsi yang ditangani KPK di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung tercatat ; PNS (1.115), Swasta dan lainnya (670), legislatif (480), BUMN/BUMD (149), Kepala Daerah (75) dan lembaga independen (62). Angka-angka ini menunjukkan betapa korupsi di tubuh bangsa ini telah sedemikian massif dan dilakukan oleh berbagai aktor baik penyelenggara pemerintahan (aparatur sipil negara) maupun swasta. Bahkan 30 November 2016 yang lalu seorang perwira tinggi TNI dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena menyelewengkan dana pembelian alutsista sebesar  12 juta dollar Amerika. Jangkauannya juga meliputi daerah sampai ke pusat. KPK sebagai lembaga terdepan pemberantasan korupsi menekankan dua langkah penting yakni, penindakan hukum dan  pencegahan. Dua langkah ini menjadi ‘perang bersama’ kita. Dua Organisasi Massa terbesar Islam di Indonesia,  Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, telah secara konkret melakukan langkah-langkah pencegahan dini. Pengurus Pusat Muhammadiyah merintis “Madrasah anti Korupsi” dan NU membentuk kader anti korupsi dan menggelorakan  jihad melawan korupsi. Gereja Katolik, pasca Sidang Sinodal Para Uskup tanggal 10 November 2016 mengeluarkan Seruan Pastoral : Stop Korupsi (Mirifica.net, 14/11/2016). Seruan mana dalam Pertemuan Nasional X Forum Masyarakat  Katolik Indonesia di Cipanas, 25 – 27 November 2016 dipertegas lagi dengan pesan “Memperkuat Habitus Anti Korupsi Bagi Keberlanjutan Peradaban Bangsa Indonesia’ (Hidup, 11 Desember 2016).

Kekerasan lain yang masih kita hadapi adalah konflik-konflik yang memakai ‘baju’ suku, agama, ras, dan antar-golongan. Sebagai negara kepulauan dengan belasan ribu pulau, ratusan suku dan bahasa, aneka agama dan system kepercayaan, kepelbagaian dan keragaman adalah keniscayaan. Di sisi lain juga menjadi titik rawan konflik. Kemiskinan dan kebodohan yang masih merajalela adalah masalah utama kita. Pada saat yang sama kita tidak bisa menutup diri terhadap arus kuat modernisasis dan globalisasi yang menjadikan kita bagian dari perkampungan besar dunia ini, namun akan melindas bila kita tidak punya kompetensi serta kelenturan untuk bertahan. Mundurnya kita ke isu-isu primordial (SARA) antara lain karena kegamangan  menghadapi tantangan-tantangan baru yang kian berat dan menuntut daya saing. Kemiskinan dan kebodohan adalah ladang subur yang rentan dimanipulasi. Menjadi semakin parah ketika agama yang melulu dilihat sebagai unit sosiologis justru dipakai untuk membangkitkan sentimen-sentimen ini. Konflik yang mulanya adalah pertarungan penguasaan asset ekonomi dan modal menjadi berdarah-darah ketika melibatkan sentimen primordial suku, agama, ras dan golongan sebagai jalan masuk dan pembenaran.

Solidaritas

Tantangan – tantangan kemanusiaan demikian juga menjadi pesan inti Natal. Yesus Kristus – Isa al Masih – lahir di kandang.  Kandang menjadi symbol dan ekspresi paling jernih dari kemiskinan, ketiadaan perlindungan fisik (rumah!) dan minimnya akses pada kebutuhan-kebutuhan dasar. Dalam usia masih bayi Yesus menjadi sasaran kebiadaban Herodes yang membunuh semua anak kecil berusia dua tahun ke bawah karena takut tahtanya direbut “Raja Baru’ yang lahir. Ancaman pembunuhan mana kemudian memaksa keluarga sederhana dari Nazareth ini mengungsi ke Mesir dan baru kembali ke Palestina setelah herodes tidak berkuasa lagi. Menjadi gelandangan dan pengungsi adalah fakta keterasingan, tercabut dari kampong asal dengan semua rasa amannya, tanpa perlindungan dan jaminan masa depan, kehilangan hak-hak politik, serta menjadi nobody Karena kehilangan kewarganegaraan. Situasi yang saat ini juga kita saksikan di wajah saudara-saudari kita yang terpaksa mengungsi, melintasi samudera dan benua karena hidupnya terancam, hak-hak asasinya tidak terjamin. Maka merayakan Natal sejatinya tidak terletak pada kemeriahan atribut-atribut yang terpajang di ruang-ruang berpendingin pusat perbelanjaan mewah, atau riuhnya suasana pesta. Pesan utama Natal adalah solidaritas: belarasa terhadap sesama yang kecil, lemah, miskin dan tertindas. Carilah Yesus di antara wajah pengungsi, anak-anak korban kekerasan, kaum miskin yang digusur, dan jutaan wajah korban karena  kekerasan ideologi dan pemaksaan kehendak sekelompok kecil orang. Karena, kelak ketika selesai peziarahan hidup di dunia ini ujian kelayakan kita hanya ditentukan oleh apakah ketika Aku lapar engkau memberi Aku makan? Apakah ketika Aku haus engkau memberi Aku minum? Apakah ketika Aku seorang asing kamu memberi aku tumpangan? Apakah ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian? Apakah ketika Aku sakit kamu melawat aku? Apakah ketika Aku di dalam penjara kamu melawat Aku? Batu uji kemanusiaan orang beriman bukanlah seberapa banyak ayat suci yang dihafal, namun seberapa dalam dan intensif ia dalam hidupnya melaksanakan kehendak Allah.

Selamat Natal bagi saudara-saudari yang merayakannya.  Gloria in Exelcis Deo et in Terra Pax Hominibus Bonae Voluntatis

Senin, 15 Agustus 2016

17 Agustus & Pluit Amed Juman




17 Agustus datang lagi. Baris-berbaris.Karnaval. Lomba-lomba. Hiburan rakyat. Apel bendera. Selalu begitu setiap tahun, tapi tetap dirayakan. Meriah itu relatif.

Saya hanya ingat satu sosok, Ame Juman. Kecintaannya pada republik ini tidak diragukan. Ia Indonesia sampai ke sumsumnya. NKRI harga mati. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945 (sebelum diamandemen, maupun pasca amandemen). Dia membatalkan semua agenda pribadi tiap kali menjelang ulang tahun kemerdekaan - 17 Agustus. Satu lagi perhelatan besar yang bisa membuat dia membatalkan seluruh rencana yang lain adalah Pekan Suci menjelang Hari Raya Paskah Umat Katolik. Ini karena ada pertandingan sepakbola antar stasi. Ada kemiripan dua perayaan ini. 17 Agustus adalah Hari Proklamasi Kemerdekaan. Moment Pembebasan. Paskah juga adalah Hari Raya Pembebasan. Orang Israel mengenang sebagai saat pembebasan dari perbudakan di Mesir. Mereka merdeka dari perbudakan di bawah pimpinan Musa. Ah ini sudah menyimpang terlalu jauh.

Soal pokoknya itu tadi, Ame Juman memandang istimewa dua hari ini. Dia akan sangat serius memperhatikan anak-anak sekolah yang latihan baris berbaris. Kadang-kadang maksud baiknya mengacaukan. Itu karena dia punya PLUIT sendiri. Pluit ini dibunyikan kapan saja dia mau. Bunyi pluit yang keluar sembarang waktu inilah yang mengacaukan. Anak-anak sering bingung : ada yang tiba-tiba berhenti bergerak, padahal komandan regu belum mengeluarkan perintah berhenti. Itu gara-gara pluit Ame Juman. Atau sebaliknya, sedang istirahat di tempat tiba-tiba segera siap sempurna. lagi-lagi karena bunyi pluit tidak resmi Ame Juman.

Untuk kami di rumah - Ame Juman ini tamu tetap - pluit ini punya arti lain. Kalau sudah mendengar pluit dari radius tertentu itu pertanda Ame Juman sudah dekat. Artinya sudah bisa dibikinkan kopi, tanpa menunggu dia tiba di ruang tamu rumah. Tentang ini ada insiden kecil. Akhir tahun 1990-an Bapa dan mama pindah tugas. Rumah dinas bertetangga dengan Kantor Camat. suatu hari menjelang 17 Agustus, mama saya mendengar bunyi pluit. Ah Ame Juman pasti. Anak yang membantu di rumah disuruh membuat kopi. Kopi sudah siap. dihidangkan di meja. menunggu sekian lama Ame Juman tak muncul. Mama keluar ke halaman. Tidak ada siapa pun. Mama ke kantor Camat dan bertanya pada hansip-hansip yang sedang latihan berbaris, "Nana, cala ita Amed Juman tite?". "Toe manga ta Mama". "Hae bao main laku dengen runing pluit ghia". "Darat Mama, pluit ghami ghitu"*. Pluit Amed Juman makan korban. Tapi 17 Agustus tetap meriah.

Sore tadi aku dengar bunyi pluit. Pluit yag memanggil pulang kenangan. Priiiiit. Merdeka.

*"Nana, apakah kamu melihat Ame Juman?". "Saya tidak melihatnya Mama". "Lho, sejak tadi saya sudah mendengar bunyi pluitnya". "Aduh Mama, itu bunyi pluit kami".

Jumat, 05 Agustus 2016

IDUL FITRI DAN KERAHIMAN ALLAH

(Memaknai Pesan Idul Fitri 1437 Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama)

Oleh RD. Hans K Jeharut
Pastor, Ketua Komisi Kepemudaan Keuskupan Pangkalpinang

Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue) di Vatikan menerbitkan pesan Ramadhan dan Idul Fitri 1437 Hijriah kepada umat Islam di seluruh dunia. Pesan yang dikeluarkan di Vatikan tanggal 10 Juni 2016  ditandatangani Kardinal Jean-Louis Tauran  dan Uskup Miguel รngel Ayuso Guixot, M.C.C.I., masing-masing Presiden dan Sekretaris Dewan diberi judul Christians and Muslims: Beneficieries and Instruments of Divine Mercy (Orang Kristen dan Muslim: Pembawa Sukacita dan Instrumen Kerahiman Ilahi)

Ucapan selamat ini menjadi tradisi Vatikan, yang menegaskan kembali sikap Gereja Katolik terhadap saudara-saudari Muslim seperti terungkap dalam  Nostra Aetate (Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristiani) buah Konsili Vatikan II limapuluh tahun silam. Nostra Aetate secara khusus menyapa kaum muslim : “Gereja [juga] menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan hari pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa.  Memang benar, disepanjang zaman cukup sering timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan. (NA, art. 3)

Ungkapan dan pengakuan yang tulus ini lahir dari kesadaran baru setelah melihat, mengalami dan merefleksikan perjalanan panjang peradaban manusia dengan segala dinamikanya. Perjalanan yang di beberapa titiknya juga menampilkan episode konflik, bahkan perang. Kesadaran yang membuat Gereja Katolik mendefinisikan kembali keberadaannya di antara sesama insan beriman dan merumus ulang cara pandangnya terhadap kaum beriman dari agama lain.

Wajah Belaskasih, Wajah Kerahiman

Pesan Idul Fitri kali ini menjadi semakin istimewa karena Gereja Katolik sedang merayakan Yubileum Luar Biasa Kerahiman Ilahi (Extraordinary Jubilee of Mercy ), yang berlangsung 8 Desember 2015 – 20 November 2016. Yubileum Kerahiman Ilahi ini mengambil tema “Bermurah Hati Seperti Bapa”.  Umat Katolik diundang untuk mengikuti teladan Bapa yang murah hati, yang tidak menghakimi atau menghukum tetapi mengampuni serta memberi kasih dan pengampunan tanpa batas. Undangan untuk berbelaskasih dan memiliki semangat pengampunan ditegaskan kembali dalam pesan Idul Fitri 2016 (1437 H) nomor kedua, “… Sebuah tema yang sangat dekat di hati umat Kristen dan Muslim adalah “Rahmat”. Kita tahu bahwa Orang Kristen dan Islam percaya kepada Allah yang berbelas kasih, yang menunjukkan kasih sayang-Nya kepada semua makhluk ciptaan-Nya, secara khusus kepada manusia. Allah menciptakan kita dengan kasih yang begitu besar. Ia menjaga dan merawat kita dengan penuh belas kasih, menganugerahkan kepada kita rahmat yang dibutuhkan dalam hidup sehari-hari seperti makanan, tempat tinggal dan keamanan. Belas kasih Allah sungguh-sungguh dinyatakan melalui cara tertentu, melalui pengampunan atas segala dosa kita; Ia maha pengampun (Al-Ghรกfir) dan Ia terus bahkan selalu mengampuni (Al-Ghafour)”.

Belaskasih dan pengampunan menjadi tema sentral dan pesan utama. Belaskasih yang jauh dari sekedar rasa iba dan kasihan yang sentimentil. Belaskasih adalah identitas Allah. Allah adalah kasih.  Belaskasih membawa pengampunan. Pengampunan menghasilkan kedamaian. Vatikan mendorong umat Kristiani dan Islam untuk memberi perhatian terhadap mereka yang kondisinya terpuruk dalam konflik dan peperangan, korban perdagangan manusia, kaum miskin, penderita sakit, korban bencana alam serta pengangguran yang diakibatkan oleh ketidakadilan sosial. Inilah wajah kita, wajah dunia dewasa ini. Kita dipanggil untuk menjawab dan mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Persoalan-persoalan yang sedemikian pelik tidak mungkin bisa diatasi hanya dengan kekuatan satu kelompok, betapapun besar dan kuatnya kelompok tersebut. Persoalan-persoalan ini hanya bisa dijawab dengan kerjasama yang tulus dan jujur melampaui sekat-sekat apa pun, termasuk agama. Ketika itu terjadi maka ,” kita memenuhi ajaran penting dalam agama kita masing-masing dan menunjukkan kasih dan kebaikan Tuhan, menjadi saksi akan keyakinan iman kita masing-masing baik terhadap setiap orang maupun komunitas yang dijumpai”, demikian bagian akhir Pesan Idulfitri ini.
Tantangan bagi kaum beragama dewasa ini melampaui tuntutan-tuntutan kesalehan ritual. Karena pada saat yang sama kesalehan ritual dipanggil untuk berhadapan dengan kenyataan sosial yang mempertontonkan secara gamblang penderitaan dalam aneka wajahnya. Tugas kitalah mewujudkan pesan ini dalam kehidupan nyata. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 H. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat kembali ke fitrah, selamat berbagi cinta kasih.
*Dipublikasikan di “Bangka Pos”, Selasa 5 Juli 2016



Pilkada Dan Generasi Pokemon


Oleh Hans K Jeharut
(Komisi Kerawam Kevikepan Bangka Belitung – Keuskupan Pangkalpinang)

“Sekarang ini proses demokrasi kita diwarnai keterlibatan yang sangat besar dan signifikan anak-anak muda yang disebut generasi digital”, demikian ungkap Sebastian Salang – Kordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (FORMAPPI) dalam diskusi terbatas beberapa waktu lalu di Pangkalpinang. Bangkitnya apa yang disebut “Generasi Digital” mengingatkan kita akan fakta bahwa, pertama, teknologi komunikasi digital berperan penting mengubah pola perilaku manusia termasuk pola perilaku berpolitik. Kedua, telah muncul generasi baru yang punya gaya sendiri dalam berpolitik, termasuk cara mereka  mengekspresikan pendapatnya. Ini menjadi ajakan dan peringatan (warning) bagi generasi yang lebih tua bahwa jaman telah bergerak maju dan berubah, karena itu harus mencari dan menemukan formula baru untuk membaca tanda-tanda zaman dan menanggapinya.

Dari sudut pandang politik sebagai upaya-upaya yang dilakukan demi kesejahteraan umum/kebaikan bersama (bonum communae), fenomena generasi digital ini menarik. Jagad Politik Indonesia hampir tiga tahun terakhir memunculkan apa yang dikenal sebagai ‘relawan’ (volunteer) dengan berbagai nama dan bendera. Mereka adalah generasi muda berusia rata-rata awal 20-an tahun sampai 30-an tahun dari beragam profesi dan latarbelakang. Mereka dipersatukan oleh keprihatinan yang sama dan dan dipertemukan di jagad maya. Anak-anak muda ini - yang lahir sekitar paruh kedua tahun delapanpuluhan dan awal sembilanpuluhan - adalah generasi yang berinteraksi satu sama lain lewat jejaring sosial. Mereka mempunyai akun facebook, tergabung di berbagai milis group, rajin cuit di tweeter, punya grup di whatsapp dan sehari-hari berelasi, berkomunikasi dan berinteraksi melalui media jejaring sosial dunia maya tersebut. Salah satu ciri gaya berkomunikasi di jejaring sosial adalah egaliter. Siapa pun yang terdaftar dan masuk di dalamnya mesti menempatkan diri sebagai kawan setara, baik dalam diskusi dengan paham yang sama, maupun ketika berargumentasi mempertahankan paham yang berbeda. Ciri egaliter ini mempersatukan banyak orang, karena tidak ada yang lebih superior dan karenanya mempunyai otoritas penuh untuk memaksakan kehendak dan sebaliknya tidak ada yang perlu merasa anak bawang dan karenanya tidak punya hak untuk mengemukakan pendapat, bahkan untuk mengemukakan bahwa ia berbeda pendapat. Majalah TEMPO (19 – 21 Desember 2014) menobatkan para relawan sebagai “Tokoh Pilihan 2014”. Pilihan yang antara lain didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka -para relawan ini- telah memberi sumbangan yang berarti pada proses demokrasi kita, serentak penghargaan akan kerja cerdas mereka memanfaatkan teknologi dan jejaring social untuk mendorong perubahan politik.

Pelajaran lain yang kita petik dari kemunculan ‘Generasi Digital’ ini adalah kemampuan mereka untuk menerobos mampetnya saluran aspirasi politik lewat saluran-saluran formal, sekaligus mengingatkan kedaulatan yang dipunyai oleh warga negara berhadapan dengan institusi-institusi, termasuk partai politik. Fenomena yang terakhir ini dapat kita lihat pada sekelompok anak muda yang di media dikenal sebagai “Kawan Ahok”. Terlepas dari pro kontra yang ditimbulkan, ‘Kawan Ahok’ menunjukkan kemampuan mereka mengkonsolidasi dukungan melalui jejaring sosial, maupun jejaring relawan yang bekerja dengan basis teknologi yang baik sehingga menggalang satu juta pendukung. Kawan-kawan Ahok ini berhasil menunjukkan ke publik bahwa masyarakat mampu mengkonsolidasikan diri dengan baik dengan bantuan teknologi informasi untuk mendorong sebuah perubahan. Dampak politis dari upaya anak-anak muda ini adalah kesediaan dan kerelaan partai-partai politik untuk mendukung Ahok tanpa syarat dan tanpa mahar. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat punya posisi tawar terhadap partai politik. Dampak lanjutan yang lain adalah semakin murahnya secara finansial  sebuah proses pertarungan politik karena para kandidat tidak (perlu) membayar mahar kepada partai. Mahar politik yang selama ini tak pernah terang-terangan diakui ditengarai menjadi salah satu sebab syaratnya penyelenggaraan kekuasaan dengan proses transaksional.

Jika mau mengambil pelajaran positif dari fenomena sosial munculnya generasi digital dalam proses partisipasi publik maka ini adalah pelajaran penting bagi partai politik dan para calon kepala daerah. Pelajaran pentingnya adalah, pertarungan politik bukan melulu pertarungan partai-partai politik. Jika sebelum ini partai politik mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam penentuan siapa yang diusung dan dicalonkan untuk menjadi kepala daerah, generasi digital ini menunjukkan bahwa mereka juga punya kedaulatan yang bisa membuat partai politik tunduk. Pelajaran lainnya adalah, partai-partai politik mulai saat ini harus melirik dan memperhitungkan dengan serius peran serta dan partisipasi generasi digital ini dalam kerangka membangun opini, menggalang dukungan dan mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan serta pilihan rasional kepada publik/pemilih. Bagi publik, pelajaran yang bisa dipetik adalah sekaranglah saatnya teknologi komunikasi bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mempengaruhi dan mendorong partisipasi politik dan dengan demikian ikut berperan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang baik, berpihak kepada rakyat dan amanah menjalankan kekuasaannya.

Pemilihan Kepala Daerah Gubernur Propinsi Bangka Belitung 2017 telah di depan mata. Sudah banyak kandidat yang mulai memperkenalkan diri ke publik. Para kandidat beserta pendukungnya mesti dengan cermat memperhitungkan efek generasi digital ini bagi popularitas dan elektabilitas mereka. Anak-anak generasi digital ini – ibarat bermain pokemon – punya pokeball yang akan mereka pakai dengan bantuan GPS menangkap pokemon incaran mereka. Mereka independen dan punya kalkulasi politik sendiri yang tak bisa diintervensi dalam menentukan pilihannya, yang pada gilirannya juga memengaruhi orang lain dan publik menjatuhkan pilihannya.

*Dipublikasikan di Harian “Bangka Pos”, Rabu 10 Agustus 2016, hlm 7

Mgr. Hilarius : Sang Gembala Pembangun Jembatan

(mengenang 100 hari Meninggalnya YM Mgr.Hilarius Moa Nurak, SVD)

Kabar duka itu datang dari negeri di seberang laut, Ruang ICU Mount Alvernia Hospital, Singapore. Jumat 29 April 2016, pukul 13.15 WIB (14.15 Waktu Singapore), “Bapa Uskup telah meninggalkan kita”. Pesan itu tiba di tengah suasana yang kalut setelah sebelumnya sudah beredar kabar melalui media sosial bahwa Bapa Uskup Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD sudah meninggal. Berita yang menyebar dengan cepat dan dengan segera pula disebarkan ke berbagai pihak. Padahal ketika itu Bapa Uskup sedang ‘on dying’, sebuah proses melewati titian tipis batas antara kehidupan dan kematian, batas yang seperti titian serambut dibelah tujuh. Mgr. Hilarius meninggal setelah mengalami koma selama kurang lebih sepuluh hari.

Ada banyak hal yang dikenang dari seorang tokoh yang meninggal, apalagi ketika itu adalah tokoh spiritual sekaliber uskup. Namun ketokohan yang disematkan pada beliau dalam banyak hal memunculkan paradoks. Paradoks yang kontradiksinya semakin menguat manakala ditempatkan dalam konteks kekinian berkaitan dengan kepemimpinan dan relasi-relasi yang terjalin di dalamnya. Post factum kita kemudian menemukan butir-butir mutiara yang bisa menjadi pelajaran berharga.

Uskup ‘Sang Gembala’

Umat Katolik menyapa para pemimpin rohani tertahbisnya dengan sebutan ‘pastor’, kata Latin yang berarti gembala. Secara hirarkis seorang uskup adalah Gembala Utama. Gembala - analogi yang diambil dari relasi yang lazim dalam kehidupan budaya petani-peternak - menggambarkan relasi yang khas, pun ketika itu ditempatkan dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaan. Seorang gembala adalah seorang pemimpin. Sebagai pemimpin gembala harus memenuhi beberapa karakter khas yang secara “conditio sine qua non’ wajib ada. 

Pertama, mengenal kawanannya. Pengenalan dalam pengertian biblis alkitabiah tidak hanya berkaitan dengan kemamuan memori untuk mengingat seseorang atau peristiwa dan kemudian merekamnya dalam kesadaran untuk sesewaktu muncul kembali ketika dibutuhkan. Mengenal artinya mengetahui dengan baik seluruh aspek, terikat secara emosional dalam relasi yang akrab dan tahu apa yang dibutuhkan dengan segala cita rasa dari kawanan yang dipimpin. Mengenal adalal kualitas yang wajib dimiliki seorang gembala. Mgr. Hilarius dalam konteks sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik di wilayah keuskupan Pangkalpinang propinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Propinsi Kepulauan Riau) menunjukkan secara sangat baik – par exelence – pengenalan ini. Proses pengenalan yang dimulai secara sangat harafiah dan sederhana : mempelajari peta wilayah Bangka, Belitung dan Kepulauan Riau segera setelah beliau diumumkan secara resmi menjadi Uskup Keuskupan Pangkalpinang pada 2 Mei 1987 oleh Sri Paus Yohanes Paulus II. 2 Mei yang kemudian menjadi sejarah, karena dua puluh Sembilan tahun kemudian, 2 Mei 2016 raga Mgr. Hilarius dimakamkan di tanah Bangka, tempat yang selama hampir dua puluh sembilan tahun dilayaninya. Pengenalan itu secara kualitatif meningkat seiring kedatangannya ke Pangkalpinang dan interaksi intensif dengat umat, masyarakat umum, maupun dengan alam geografis keuskupan Pangkalpinang. Mgr. Hilarius mengenal kawanannya. Beliau menyelami, mendengar, menyerap kisah mereka untuk kemudian bersama-sama mereka merefleksikan dan mencari jawab dalam terang iman berbagai problem kehidupan. Beliau menyebut itu “Gereja Partisipatif”, gereja yang memberi ruang untuk semua anggota kawanannya ambil bagian dalam kehidupan menggereja dan menyumbang hal-hal baik demi mutu hidup bersama baik secara jasmani, maupun mutu hidup rohani. Keberanian untuk melibatkan orang untuk ambil bagian dalam kepemimpinan hanya mungkin jika Sang Pemimpin mengenal orang-orang yang dipimpinnya dan percaya bahwa mereka punya potensi yang bisa disumbangkan untuk kehidupan bersama. Di sini wajah kepemimpinan tidak lagi melulu soal siapa paling tinggi dan berkuasa, tetapi kepemimpinan adalah gerak bersama menuju kesejahteraan dan kebaikan bersama, pro bonum commmunae. 

Kedua, tahu arah yang tepat untuk mengarahkan kawanannya. Kualitas ini menuntut kemampuan direktif seorang pemimpin. Kemampuan direktif yang menuntut seorang tidak saja duduk dibelakang meja direktur dan dari belakang mejanya ia menyampaikan perintah-perintah untuk dilaksanakan, melainkan pemimpin yang terlibat dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan kawanan gembalaannya. Analogi pemazmur tentang seorang gembala yang menuntun kawanan dombanya ke padang rumput yang hijau dan membimbing domba-domba ke sumber air secara sangat indah mendeskripsikan pemimpin umat (gembala) seperti apa yang dibutuhkan. Dalam berbagai kesempatan Mgr. Hilarius mengungkapkan petuah dengan membandingan analogi ini. Sebagai uskup saya harus tahu di mana ada padang rumput hijau yang baik. Saya juga harus tahu di mana ada sumber air yang baik. Hanya dengan demikian saya bisa mengarahkan umat (kawanan) supaya mereka menikmati ‘rumput’ yang baik dan minum dari sumber air yang baik, demikian kata beliau pada satu ketika di hadapan imam-imam Keuskupan Pangkalpinang. Kualitas ini juga secara sangat menonjol kita temukan dalam diri gembala bersahaja ini. Kunjungan-kunjungan kegembalaan beliau sebagai Pemimpin Gereja tidak pernah dihabiskan untuk seremonial basa basi yang kemudian dipublikasikan untuk mendapat puja puji dan pengakuan. Beliau datang menyapa. Mendengar kisah. Berpikir untuk mencari jalan keluar. Kebijakan-kebijakan yang lahir kemudian adalah jawaban setelah refleksi mendalam apa persis yang dialami umat dan tanggapan pastoral seperti apa yang ditawarkan kepada mereka.

Ketiga, mampu menjaga kawanannya. Seorang gembala adalah seorang ‘guardian’. Ia mesti menjaga kawanannya dan memastikan bahwa mereka aman dalam penjagaannya. Kualitas ini bukan saja perlu untuk menciptakan rasa aman, tetapi terutama dibutuhkan untuk memberi jaminan bahwa kawanan yang dipimpinnya terlindung dari serangan-serangan dari luar. Sistem proteksi yang dibangun seorang gembala tentu tidaklah sama dengan prajurit tentara yang menjaga dengan kekuatan senjata. Proteksi utama adalah ‘rasa aman’ : rasa yang membuat orang merasa damai dan tidak takut menghadapi badai kehidupan yang tidak pasti ini. Mgr. Hilarius – yang juga dijuluki Uskup Samudra, Bishop of the Sea – dalam kunjungan-kunjungannya ke umat, apalagi yang tinggal di pulau-pulau di wilayah Laut Cina Selatan yang ganas pernah merasakan hantaman gelombang dahsyat yang membahayakan kapalnya dan hampir merenggut nyawa. Namun beliau selamat. Ia menghadapi badai. Ia menenangkan orang-orang yang ada bersamanya. Ia membawa rasa aman. Dalam situasi kaotik karena badai persoalan yang tiba-tiba muncul, seorang gembala, seorang pemimpin, harus bisa memberi rasa aman. Mgr. Hilarius memiliki kualifikasi itu.

Uskup Pembangun Jembatan

Seorang pemimpin spiritual adalah ‘pembangun jembatan’ (pontifex) : seorang yang mejembatani hidup surga akhirat dan hidup dunia saat ini. Namun pembangun jembatan sejatinya mengingatkan tugas panggilan dan tanggung jawab seorang pemimpin, apalagi pemimpin spiritual, sebagai orang yang mesti bisa menghubungkan bermacam-macam orang apa pun latar belakang suku, bahasa, agama, afiliasi politik, ideologinya. Di tengah semangat jaman yang lebih mudah mendirikan tembok pembatas, orang diundang untuk merobohkannya untuk lalu membangun jembatan penghubung. Adegan – adegan dalam foto yang tersebar di berbagai media cetak maupun online, yang direkam secara pribadi dan dibagi kepada sesama pengguna media soial menunjukkan betapa Mgr. Hilarius adalah seorang “Pembangun Jembatan”. Yang hadir dan menunjukkan duka mendalam bukan hanya umat Katolik. Berbagai kelompok hadir, secara pribdi, sebagai kelompok, atas nama organisasi baik organisasi keagaamaan maupun kemasyarakan, tidak saja menunjukkan betapa luasnya spektrum pergaulan Mgr. Hilarius. Kereta jenasahnya ditarik oleh saudara-saudara bukan Katolik. Peti jenasahnya tidak saja diusung oleh keluarga dan pastor-pastornya, tetapi juga diusung oleh anak-anak muda Banser Nahdatul Ulama dan Gerakan Pemuda Anshor Bangka Belitung. Mgr. Hilarius bersahabat dengan banyak orang. Ia mencintai mereka dengan tulus. Cinta yang tulus adalah bahasa hati. Bahasa yang lahir dari kebeningan budi. Di sini wajah agama – yang direpresentasikan oleh pemimpin-pemimpinnya – menunjukkan wajah yang teduh. Jauh dari kekerasan yang mematikan. Karena yang dibangun bukan tembok pemisah, tapi jembatan penghubung.

Selamat jalan Bapa Uskup. Selamat pulang ke rumah abadimu. Berdoalah untuk kami seperti selalu engkau ingatkan “EGO AUTEM ROGAVI PRO TE” : aku telah berdoa untuk engkau. Berdoalah untuk kami semua. 


Dimuat di Harian Bangka Pos, Rabu, 4 Mei 2016 hlm. 7

Sabtu, 02 Juli 2016

BOLA DAN GENERASI EMAS

To be a footballer means being a privileged interpreter of the feelings and dreams of thousands of people’, Cesar Luiz Menotti 

Selasa, 28 Juni 2016

Kita dan Bola

Spanyol dan Inggris, dua negara dengan liga sepakbola yang disebut terbaik di dunia, harus angkat koper lebih awal dan gagal ke perempat final. Spanyol menyerah 0 - 2 dari Italia. Inggris tunduk 1 - 2 dari negara yang masuk kasta rendah di kancah sepakbola Eropa, Islandia.
Tikitaka Spanyol dengan Iniesta dan David Silva sebagai dirigen dibuat majal oleh pertahanan berlapis Italia di bawah komando Buffon dan trio "BBC" milik Juventus. Kehebatan dan ketenaran La Liga menyisakan ruang menganga : Spanyol tak punya predator di kotak penalti. Striker hebat di la liga bukan punggawa timnas Spanyol. Absennya Diego Costa dan Fernando Torres membuat Morrata kelihatan tak ada apa-apanya berhadapan dengan tembok pertahanan Italia yang dikawal empat rekan setimnya di Juventus. Duapuluh dua tahun tak pernah menang di kompetisi resmi, semalam Italia menuntaskan dendamnya atas Spanyol. Sepakbola pada akhirnya cerita yang menang. Yang indah untuk di kenang. Pemenanglah yang dipuja.
Inggris - dengan pelatih yang mendapat bayaran termahal dan liga yang musim depan menghadirkan hampir semua pelatih hebat dunia seperti Guardiola di Mancester City, Mourinho di MU, Conte di Chelsea, Klopp di Liverpol dan Ranieri yang masih bertahan di Leicester - harus menerima kenyataan sebagai timnas minim prestasi. Permainannya sama sekali tak menghibur. Untunglah kita masih terhibur dengan penampilan cantik nan modis dari para istri dan kekasih (WAGs) para pemainnya. Tak lebih dari itu. Negara yang jadi asal usul sepakbola modern tunduk pada tim nasional negara yang lebih terkenal dengan ski es dan liputan liga domestiknya nyaris tak terdengar serta hanya berpenduduk 330 ribu jiwa. Islandia bahkan baru pertamakali lolos ke putaran final Piala Eropa. Tragis.
Sepakbola punya magis dan misterinya sendiri. Ia menarik karena prediksi bukanlah dogma. Analisis komentator bukan keniscayaan. Sepakbola adalah sepakbola, tempat di mana dominasi modal bisa kalah melawan kolektivitas. Keindahan runtuh melawan kedisiplinan dan konsistensi. Nama besar tak berdaya melawan daya juang.
Sepakbola itu cermin. Miniatur dari kehidupan yang di beberapa titik pencapaiannya memperlihatkan dengan gamblang : tragedi, komedi, kalah, menang, jatuh, bangun, tawa, tangis, senyum, air mata. Itulah bola. Itulah hidup. Setelah sembilan puluh menit atau seratus dua puluh menit atau setelah adu penalti terjadi kita melihat glori dan tragedi tipisnya seperti titian serambut dibelah tujuh. Wajah sedih Ronaldo memeluk Modric yang matanya berkaca-kaca setelah Kroasia kalah oleh gol Qusresma menit 117, tiga menit sebelum pluit panjang, jadi saksi. Setelah usai hidup terus bergulir. Menang kalah itu biasa, besok bola punya cerita lain lagi

Jumat, 08 April 2016

TABGHA : Waktu Cinta Tak Cukup Hanya Kata…

Kisah Kasih di Tanah Suci (2 - 13 Maret 2016)


Tabgha terletak di tepi Danau Galilea. Ditempat ini Yesus melakukan mujizat pergandaan roti. Di sini juga terdapat Gereja St. Peter Primacy (Gereja Primat Petrus), tempat Yesus menampakkan diri ketiga kalinya setelah kebangkitan kepada murid-muridNYa yang sedang menangkap ikan. Tempat ini juga disebut sebagai tempat “Pemulihan Petrus”, Yesus bertanya sampai tiga kali kepada Petrus “Simon anak Yohanes apakah engkau mengasihi Aku?”. Mengingatkan Petrus yang sudah menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok. Di sini Yesus meminta Petrus untuk meneruskan tugas penggembalaan-Nya, “Gembalakanlah Domba-dombaKu”.

Kami tiba di situ waktu hari masih pagi. Matahari belum terlalu terik. Angin danau yang segar menemani perjalanan menuju Gereja. Tahun 1934 dibangun Gereja Primat Petrus di atas Batu Karang raksasa.  Altar batu yang disebut ‘Mensa Christi’ karena diyakini di sinilah Yesus sarapan bersama para murid yang selesai menangkap ikan.



Kisah yang terjadi di tempat ini kitab aca dalam Injil Yohanes 21: 1 – 19 (Bacaan Injil Minggu Paskah III thn C)

Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya di pantai danau Tiberias
21:1 Kemudian Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya di pantai danau Tiberias dan Ia menampakkan diri sebagai berikut. 21:2 Di pantai itu berkumpul Simon Petrus, Tomas yang disebut Didimus, Natanael dari Kana yang di Galilea, anak-anak Zebedeus dan dua orang murid-Nya yang lain. 21:3 Kata Simon Petrus kepada mereka: "Aku pergi menangkap ikan." Kata mereka kepadanya: "Kami pergi juga dengan engkau." Mereka berangkat lalu naik ke perahu, tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-apa. 21:4 Ketika hari mulai siang, Yesus berdiri di pantai; akan tetapi murid-murid itu tidak tahu, bahwa itu adalah Yesus. 21:5 Kata Yesus kepada mereka: "Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk-pauk?" Jawab mereka: "Tidak ada." 21:6 Maka kata Yesus kepada mereka: "Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu, maka akan kamu peroleh." Lalu mereka menebarkannya dan mereka tidak dapat menariknya lagi karena banyaknya ikan. 21:7 Maka murid yang dikasihi Yesus itu berkata kepada Petrus: "Itu Tuhan." Ketika Petrus mendengar, bahwa itu adalah Tuhan, maka ia mengenakan pakaiannya, sebab ia tidak berpakaian, lalu terjun ke dalam danau. 21:8 Murid-murid yang lain datang dengan perahu karena mereka tidak jauh dari darat, hanya kira-kira dua ratus hasta saja dan mereka menghela jala yang penuh ikan itu. 21:9 Ketika mereka tiba di darat, mereka melihat api arang dan di atasnya ikan dan roti. 21:10 Kata Yesus kepada mereka: "Bawalah beberapa ikan, yang baru kamu tangkap itu." 21:11 Simon Petrus naik ke perahu lalu menghela jala itu ke darat, penuh ikan-ikan besar: seratus lima puluh tiga ekor banyaknya, dan sungguhpun sebanyak itu, jala itu tidak koyak. 21:12 Kata Yesus kepada mereka: "Marilah dan sarapanlah." Tidak ada di antara murid-murid itu yang berani bertanya kepada-Nya: "Siapakah Engkau?" Sebab mereka tahu, bahwa Ia adalah Tuhan. 21:13 Yesus maju ke depan, mengambil roti dan memberikannya kepada mereka, demikian juga ikan itu. 21:14 Itulah ketiga kalinya Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya sesudah Ia bangkit dari antara orang mati. 21:15 Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" Jawab Petrus kepada-Nya: "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." 21:16 Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Jawab Petrus kepada-Nya: "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." 21:17 Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: "Apakah engkau mengasihi Aku?" Dan ia berkata kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku. 21:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki." 21:19 Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: "Ikutlah Aku."

Para murid kembali menangkap ikan (21:3) bukan karena mereka sudah melupakan komitmen mereka. Tapi mereka butuh makan dan nafkah untuk keluarga. Life must go on. Mereka bekerja keras walau tak mendapat apa-apa. Hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam hidup kita juga. Bekerja keras tapi tidak mendatangkan hasil. Sia-sia. Situasi seperti ini akan sangat mudah membuat orang putus asa. Ekspresi putus asa bisa muncul sikap acuh tak acuh dan level putus asa yang paling hebat bisa membuat orang bunuh diri. Betapa buruk dan negatifnya efek putus asa.
Dalam kegalauan dan putus asa itulah Tuhan hadir. Kehadiran yang tidak serta merta selalu disadari. Tuhan hadir lewat cara yang sangat biasa, sederhana, lumrah terjadi dalam hidup sehari-hari, ‘meminta lauk pauk’. Murid-murid tidak tahu bahwa itu Yesus (21:4-5). Sama seperti kebanyakan kita yang juga sulit merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Atau tidak menyadari bahwa dalam saat-saat kepedihan hidup melanda Tuhan hadir.

Menarik bahwa mereka patuh ketika Yesus menyuruh untuk menebarkan jala. Sangatlah penting memiliki sikap patuh dan taat terhadap perintah Tuhan (21: 6). Tanpa ketaatan dan kepatuhan banyak hal akan menjadi sia-sia. Sebuah teguran keras jika mengingat betapa sulitnya untuk taat dan patuh. Betapa sering bersikap tidak taat.


Di sini Petrus mendapat pertanyaan terpenting dalam hidupnya, “Apakah engkau mengasihi Aku?”. Ihab – guide lokal kami – menerangkan,  dua kata Yunani dipakai di sini untuk "kasih". Yang pertama, phileo . Philia adalah kasih persahabatan yang sering dipakai untuk menggambarkan kasih antara Kristus dan para murid-Nya Yang kedua,  agapao. Agape adalah kasih menurut pengertian Kristiani, yang mengacu kepada kasih yang rela berkorban.

Yesus bertanya sebanyak tiga kali kepada Rasul Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Pertanyaan Yesus yang pertama dan kedua menggunakan kata agape, Apakah engkau mengasihi (agapo) Aku? Namun Petrus selalu menjawabnya dengan, “….Engkau tahu bahwa aku mengasihi (philieo) Engkau”. Yang ketiga kalinya, Yesus bertanya, “Apakah engkau mangasihi (phileo) Aku?” Dan Petrus menjawab, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi (phileo) Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” (Yoh 21:17).

Ihab – guide lokal kami – menerangkan bahwa ‘Simon’ dalam bahasa Ibrani bermakna ‘batu kecil, kerikil’. Yesus memanggil dengan nama ini, bukan Petrus (Petra = Batu Karang). Kita semua batu-batu kecil yang tidak berarti. Namun cinta Tuhan membuat kita kokoh seperti Batu Karang (=Petrus). Tuhan Yesus memahami bahwa kasih Petrus kepada-Nya tidak akan sama besarnya dengan kasih-Nya (agape) kepada Petrus. Namun demikian, Kristus menerima pernyataan kasih dari Petrus yang sejujurnya ini, dan tetap mempercayakan penggembalaan kawanan domba-Nya kepada Petrus. Penerimaan Kristus akan diri Petrus apa adanya inilah yang justru mengubah Petrus, dan menumbuhkan kasih di dalam hatinya, sehingga kelak di akhir hidupnya, Petrus dapat membuktikan kasih yang besar kepada Kristus dengan kasih yang menyerupai kasih Kristus kepadanya. Rasul Petrus rela menyerahkan dirinya untuk dihukum mati oleh pihak penguasa Roma dengan disalibkan terbalik, demi membela imannya akan Kristus. Sungguh, kesaksian hidup rasul Petrus yang semakin bertumbuh di dalam kasih kepada Tuhan ini, selayaknya menjadi teladan kita. Seperti Petrus, kitapun mungkin jatuh bangun di dalam hidup ini. Namun selayaknya kita mengingat akan kasih Allah yang total tak bersyarat/ agape kepada kita; sehingga hari demi hari kita dibentuk oleh Tuhan untuk menjadi semakin bertumbuh di dalam kasih kepada-Nya, agar semakin menyerupai kasih-Nya yang total kepada kita.

Di tempat ini kita merenungkan cinta Allah. Di dalam Gereja – di sekitar Mensa Christi – kami berdoa agar mampu mencintai Tuhan dan sesama dengan cinta tanpa syarat. Matahari di langit cerah ketika kami meninggalkan tempat ini menuju Gereja Heptageon.

Jumat, 25 Maret 2016

DARI GETSEMANI KE GOLGOTHA : SEKOLAH CINTA KASIH, SEKOLAH PENGAMPUNAN

(Catatan Perjalanan Holyland 2 - 13 Maret 2016)

Getsemani


Gereja "Segala Bangsa", Getsemani

Ziarah tahun ini  istimewa karena bertepatan dengan Tahun Kerahiman Ilahi yang bulla-nya “Missericordiae Vultus” dipromulgasikan Paus Fransiskus tanggal 8 Desember 2015. “BERMURAHHATI SEPERTI BAPA” begitulah tajuk Tahun Kerahiman Ilahi yang menjadi Yubileum Luar Biasa untuk Gereja. Keistimewaan yang lain karena ziarah ini juga dilaksanakan pada Masa Pra-Paskah. Masa Retret Agung bagi segenap umat Kristiani.

Tanggal 7 Maret kami mengunjungi Getsemani/Bukit Zaitun. Getsemani (Yunani: ฮณฮตฮธฯƒฮทฮผฮฑฮฝฮฏ - GETHSรŠMANI, dari kata Aram : "GAT-SYEMEN," 'perasan minyak'), yaitu nama 'taman/ kebun' (Yunani: ฮบแฟ†ฯ€ฮฟฯ‚ - KรŠPOS, Yohanes 18:1), di timur Yerusalem, seberang lembah Kidron dekat Bukit Zaitun (Matius 26:30). Getsemani adalah kebun/ taman dekat Bukit Zaitun (Lukas 22:39; Yohanes 18:1) tempat Yesus ditangkap (Markus 14:32 dst). Di Taman ini sekarang terdapat bangunan Gereja yang disebut “GEREJA SEGALA BANGSA”, karena dalam pembangunannya antara tahun 1919 – 1924 mendapat bantuan dana dari 16 Negara.  Juga diartikan sebagai tempat Yesus mengambil keputusan untuk menyelamatkan semua Bangsa. Gereja ini didirikan di atas puing-puing gereja yang dibangun pada kira-kira tahun 380 M. Getsemani adalah tempat yg disenangi Yesus dan murid-murid-Nya sebagai peristirahatan, dan kemudian menjadi panggung kesengsaraan, pengkhianatan Yudas, dan penangkapan Yesus (Markus 14:32-52).

Uskup Agung Yerusalem menetapkan Gereja ini sebagai salah satu “Pintu Suci” (Porta Sancta). Jadi menjadi tempat ziarah khusus untuk mendapat idulgensi Tahun Kerahiman Ilahi. Memasuki bagian dalam Gereja suasana ‘magis’-nya sangat terasa. Arsitek gereja ini dengan sengaja menempatkan mosaic-mosaik kaca patri di dinding gereja berwarna ungu. Kekelaman, kepedihan dan kesan sengsara merasuk begitu kuat di tempat ini. Di depan altar terdapat batu besar yang mengingatkan orang pada Yesus yang berdoa kepada Bapa-Nya dalam Sakrat Maut. Sikap Kristus di Getsemani (Lukas 22:41) memelopori kebiasaan Kristen untuk berlutut bila berdoa. Di depan altar bersama dengan para peziarah yang lain saya berlutut. Menundukkan kepala. Pasrah. “ Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau berkenan, ambillah cawan ini dari hadapan-Ku; tetapi jangan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi” (Lukas 22:42). Hening. Sunyi.

St. Peter Gallicantu (Gereja Ayam Berkokok)

Tak terlalu jauh dari Getsemani, bus menghatar kami ke Gereja St. Petrus Gallicantu (Gallicantu = ayam berkokok). Tempat ini diyakini sebagai rumah imam besar Kayafas. Di sini Yesus tinggal semalam untuk disiksa sebelum diserahkan ke pengadilan Pilatus.  Di pelataran rumah inilah Petrus menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok (Luk 22: 54 – 62). Injil Markus 15: 1 mencatat ‘pagi-pagi benar imam-imam kepala bersama tua-tua dan ahli-ahli taurat serta para anggota Mahkamah Agama lainnya mengadakan pertemuan”. Sesuai tradisi para hukuman dipenjara dan disiksa sebelum dibawa ke depan pengadilan. Mel Gibson dalam film “The Passion Of The Christ” menampilkan Yesus yang sudah babak belur, berdarah-darah dan tak berdaya ketika dibawa ke hadapan Pilatus (Mrk 15:1) – karena sebelumnya semalam-malaman Dia disiksa di penjara bawah tanah rumah imam besar Kayafas.

Masuk ke lantai bawah Gereja, masih terdapat ruang-ruang tempat penyiksaan. Di ruang yang sempit ini kami berdoa untuk diri kami masing-masing yang kerap terbelenggu dan terpenjara oeh macam-macam alasan dan menyerahkan semuanya pada bilur-bilur luka Yesus. Ihab – local guide – yang pengetahuan Kitab Sucinya sangat mumpuni mempersilahkan saya membaca Mazmur 22 :

Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?

Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.
Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.
 Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel.
Kepada-Mu nenek moyang kami percaya; mereka percaya, dan Engkau meluputkan mereka.
Kepada-Mu mereka berseru-seru, dan mereka terluput; kepada-Mu mereka percaya, dan mereka tidak mendapat malu.
Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dihina oleh orang banyak.
Semua yang melihat aku mengolok-olok aku, mereka mencibirkan bibirnya, menggelengkan kepalanya:
"Ia menyerah kepada TUHAN; biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?"
Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku.
Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku.
Janganlah jauh dari padaku, sebab kesusahan telah dekat, dan tidak ada yang menolong.
Banyak lembu jantan mengerumuni aku; banteng-banteng dari Basan mengepung aku;
mereka mengangakan mulutnya terhadap aku seperti singa yang menerkam dan mengaum.
Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku;
kekuatanku kering seperti beling, lidahku melekat pada langit-langit mulutku; dan dalam debu maut Kauletakkan aku.
Sebab anjing-anjing mengerumuni aku, gerombolan penjahat mengepung aku, mereka menusuk tangan dan kakiku.
Segala tulangku dapat kuhitung; mereka menonton, mereka memandangi aku.
Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku.
Tetapi Engkau, TUHAN, janganlah jauh; ya kekuatanku, segeralah menolong aku!
Lepaskanlah aku dari pedang, dan nyawaku dari cengkeraman anjing.
Selamatkanlah aku dari mulut singa, dan dari tanduk banteng. Engkau telah menjawab aku!
Aku akan memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaah:
kamu yang takut akan TUHAN, pujilah Dia, hai segenap anak cucu Yakub, muliakanlah Dia, dan gentarlah terhadap Dia, hai segenap anak cucu Israel!
Sebab Ia tidak memandang hina ataupun merasa jijik kesengsaraan orang yang tertindas, dan Ia tidak menyembunyikan wajah-Nya kepada orang itu, dan Ia mendengar ketika orang itu berteriak minta tolong kepada-Nya.
Karena Engkau aku memuji-muji dalam jemaah yang besar; nazarku akan kubayar di depan mereka yang takut akan Dia.
Orang yang rendah hati akan makan dan kenyang, orang yang mencari TUHAN akan memuji-muji Dia; biarlah hatimu hidup untuk selamanya!
Segala ujung bumi akan mengingatnya dan berbalik kepada TUHAN; dan segala kaum dari bangsa-bangsa akan sujud menyembah di hadapan-Nya.
Sebab Tuhanlah yang empunya kerajaan, Dialah yang memerintah atas bangsa-bangsa.
Ya, kepada-Nya akan sujud menyembah semua orang sombong di bumi, di hadapan-Nya akan berlutut semua orang yang turun ke dalam debu, dan orang yang tidak dapat menyambung hidup.
Anak-anak cucu akan beribadah kepada-Nya, dan akan menceritakan tentang TUHAN kepada angkatan yang akan datang.
Mereka akan memberitakan keadilan-Nya kepada bangsa yang akan lahir nanti, sebab Ia telah melakukannya.

Mazmur ini, yang paling banyak dikutip dalam PB disebut "mazmur salib" karena begitu rinci melukiskan penderitaan berat Kristus di salib.  Ini adalah seruan penderitaan dan kesedihan dari seorang penderita saleh yang belum dibebaskan dari pencobaan dan penderitaan. Kita semua orang beriman  yang menderita dapat menyatukan dirinya dengan kata-kata dalam doa ini.  Kata-kata dalam mazmur ini mengungkapkan suatu pengalaman yang jauh melebihi pengalaman manusia biasa. Dengan ilham Roh Kudus, pemazmur menubuatkan penderitaan Yesus Kristus ketika disalib dan menunjuk kepada pembenaran diri-Nya tiga hari kemudian.

Yesus mengucapkan seruan, “ALLAHKU, ALLAHKU, MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU?” di salib ketika kehadiran Bapa-Nya yang memelihara dan melindungi ditarik (Yes 53:10-12; 2Kor 5:21; lih. Mat 27:46). Yesus ditinggalkan oleh Allah karena Ia menderita sebagai pengganti orang berdosa, yaitu menjadi kutuk karena kita (Gal 3:13). Dengan mengutip ayat ini, Yesus juga mengacu kepada seluruh mazmur ini sebagai gambaran diri-Nya.
Kami mengakhiri doa dengan bernyanyi Mengampuni, mengasihi lebih sungguh. Yang hadir bersama keluarga masing diminta berdiri dekat dengan anggota keluarganya. Lalu kami saling memberikan salam damai. Rombongan peziarah lain sudah menunggu giliran untuk berdoa juga.

GOLGOTA :  Via Crucis, Via Dolorosa


Kubah Gereja Golgotha

8 Maret 2016. Rencana semula kami akan memulai Jalan Salib pukul 08.00, lalu merayakan ekaristi Pukul 10.00 di Gereja Makam Tuhan. Namun karena kemacetan rencana berubah. Kami merayakan misa sebelum Jalan Salib. Di tempat di mana dua ribuan tahun yang lalu Yesus diadili kami merayakan Ekaristi. Dia yang tak mengenal dosa dihukum seperti orang berdosa.
Via Dolorosa saat ini adalah pasar yang ramai. Jalan yang riuh dengan bermacam-macam manusia, dagangan, suara hiruk pikuk, restoran serta aneka pernak-pernik. Di jalan ini Yesus diludahi, diejek, dicemooh. Di sini juga Dia jatuh, bertemu Maria ibunya. Berjumpa dengan Simon dari Kirene. Menasehati wanita-wanita yang menangis. Sungguh jalan yang seperti kita lalui dalam kehidupan kita. Jalan Salib bukanlah jalan sepi di ruang hampa. Jalan salib adalah jalan kita : hidup dengan segala suka dukanya. Hidup dengan segala riuh rendahnya. Hidup dengan segala kesakitannya. Tawa. Tangis. Canda dan air mata ada di sana.


Memasuki pelataran Golgotha dari kejauhan sudah terlihat kubah Gereja dengan Salib di puncaknya. Masuk ke tempat ini harus melewati pintu yang sangat rendah. Siapa pun harus menunduk, membungkukkan badan supaya bisa masuk. Pintu ini disebut “PINTU KERENDAHAN HATI”. Hanya orang-orang yang rendah hati yang mampu melihat dan mengalami Kemuliaan Salib Kristus. Kami beruntung hanya butuh waktu sekitar satu jam antri dan bisa masuk ke dalam Makam Yesus. Tahun lalu – 2015 – saya dan rombongan tidak bisa masuk karena peziarah yang begitu ramai. Di Makam Yesus aku bersyukur akan Tuhan yang pernah mengalami kegelapan makam namun serentak juga mengalahkannya dan Bangkit dengan Mulia. Semoga segala kegelapan hidup juga dikalahkan, kita bangkit bersama Dia.


Makam Yesus

@25052016 – Jumat Agung

Rabu, 23 Maret 2016

SENAKEL: Pembasuhan Kaki, Ekaristi dan Burung Pelikan

(Catatan Perjalanan Holyland, 2 - 13 Maret 2016)

8 Maret 2016 kami berada di “Ruang Perjamuan Kudus”/Caenaculum/Senakel, Yerusalem. Tempat ini diyakini sebagai tempat Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir bersama para rasul sebelum sengsaraNya. Ketika kami berkunjung tempat ini penuh dengan peziarah. Kelihatan penuh karena ruang yang tidak terlalu besar itu pada saat yang bersamaan menampung tiga kelompok peziarah. Ruang Perjamuan Kudus berada tidak jauh dari “Makam Raja Daud” yang menjadi salah satu tempat suci Agama Yahudi, Judaisme.

Kami mengambil tempat di pojok. Ihab – local guide selama di Israel – menerangkan tempat ini kepada kami. Ruang tempat kami berada menjadi tempat terjadinya beberapa peristiwa yang dicatat dalam Injil. Di sini Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir (Mat 26:26-29) dan Pembasuhan Kaki Para Murid (Yoh 13 : 1-20). Di tempat ini juga Yesus menampakkan diriNya kepada murid-murid dan mempersilahkan Thomas memeriksa lukaNya (Yoh 20: 26-29). Di sini juga Para Murid menerima Pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta – lima puluh hari setelah kebangkitan, sepuluh hari setelah Kenaikan Yesus ke Surga – (Kis 2 : 1 – 11).

PEMBASUHAN KAKI

Dalam tradisi Yahudi, pembasuhan kaki dilakukan oleh seorang budak non-Yahudi (1Sam 25:41) untuk tamu yang berkunjung (Kej 18:4). Jika seorang murid melakukan untuk gurunya (rabi), itu adalah simbol pengurbanan. Namun, tak pernah dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya. Yesus memberikan teladan yang unik dan tak biasa! Bagaikan seorang budak, Yesus mencuci kaki para murid-Nya, tanpa mempedulikan sikap protes Simon Petrus.
Yesus Guru dan Tuhan melakukannya untuk menjadi tanda bahwa Dia akan mati di salib! Dengan kematian-Nya Yesus ingin membarui kurban Paskah Perjanjian Lama, yakni anak domba jantan, tak bercacat, dan berumur satu tahun yang dikurung dan disembelih (bdk. Kel 12:1-8) dengan diri-Nya sendiri sebagai kurban Perjanjian Baru.

Ketika Simon Petrus menolak  dibasuh kakinya, Yesus berkata kepadanya, "Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku" (Yoh 13:8b). Yesus meminta Simon Petrus mengambil bagian dalam kurban Paskah Perjanjian Baru. Memang nantinya dia akan "dikurung" (bdk. Yoh 21:18); dipenjarakan dan dihukum mati (ay. 19) pada sekitar tahun 67 Masehi. Dia mati disalibkan dengan posisi kepala di bawah. Seperti Yesus, dia pun menjadi kurban Paskah bagi Tuhan (bdk. Kel 21:11). Dia mati sebagai martir. Mahkota kemartiran Petrus adalah "bagian" yang dijanjikan Yesus.

Yesus bersabda, "Kamu sudah bersih, hanya tidak semua" (ay. 10). Menurut Penginjil Yohanes, kata-kata Yesus itu berarti, "Tidak semua kamu bersih" (ay. 11), untuk menyindir Yudas Iskariot sebagai murid yang tidak bersih, karena akan menyerahkan Yesus kepada Imam-imam Kepala dan orang-orang Farisi. Dapatkah disimpulkan bahwa pembasuhan kaki tersebut dimaksudkan untuk membersihkan dosa pengkhianatan Yudas Iskariot? Atau, untuk menepis pengaruh Yudas Iskariot dalam diri para murid yang lain? Akhirnya, Yesus berkata dengan tegas, "Kamu pun wajib saling membasuh kakimu" (ay. 14).

Pesan Yesus abadi sepanjang jaman : setiap orang yang menyebut diri murid dan pengikut Kristus wajib berkurban, merendahkan diri dan menjadi pelayan.

EKARISTI

Di tempat ini saya dalam hening di tengah keramaian dan suara pemandu wisata yang menjelaskan kepada para peziarah merenung tentang imamat yang saya terima dan ekaristi yang saya rayakan sebagai imam. Pada Perjamuan Terakhir Yesus menetapkan ekaristi : INILAH TUBUHKU YANG DISERAHKAN BAGIMU…. INILAH DARAHKU YANG DITUMPAHKAN BAGIMU DAN BAGI BANYAK ORANG DEMI PENGAMPUNAN DOSA. Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.

Ekaristi adalah bersedia memecah diri untuk dibagi agar yang lain hidup: MENGAMBIL roti – MEMECAH-MECAHKANNYA – MEMBAGI. Sebagai murid Kristus, hendaknya  kita rela untuk diambil Tuhan menjadi kurban Paskah Perjanjian Baru. Rela dipecah-pecah dan dibagikan. Bagaikan anggur Perjanjian Baru yang dimeteraikan oleh darah Kristus (1Kor 11:23-26). Murid Kristus yang sejati adalah  "Manusia Ekaristis" : orang-orang yang rela berbagi untuk hidup bagi orang lain.

BURUNG PELIKAN

Di bagian atas tiang dalam ruang Perjamuan Kudus terdapat pahatan Burung Pelikan. Burung yang menjadi “Simbol Ekaristi” : induk yang rela mengorbankan diri agar anak-anaknya hidup.
Tentang “Burung Pelikan”, Fr. William Saunders menulis sebagai berikut :

Simbol ibu pelikan sedang memberi makan anak-anaknya berasal dari suatu legenda kuno sebelum masa Kristiani. Alkisah, pada masa kelaparan, ibu pelikan melukai dirinya sendiri, merobek dadanya dengan paruhnya untuk memberi makan anak-anaknya dengan darahnya agar mereka tidak mati kelaparan. Versi lain dari legenda tersebut mengisahkan ibu pelikan memberi makan anak-anaknya yang mati kelaparan dengan darahnya agar mereka pulih dan hidup kembali, sementara ia sendiri kehilangan nyawanya. 

Dari kisah ini, kita dapat dengan mudah memahami mengapa Gereja Perdana mengambilnya sebagai lambang Tuhan kita, Yesus Kristus. Pelikan melambangkan Yesus, Penebus kita, yang menyerahkan nyawa-Nya sendiri sebagai silih dan tebusan atas dosa-dosa kita melalui Sengsara dan Wafat-Nya. Kita mati terhadap dosa dan memperoleh hidup baru melalui Darah Kristus. Lagipula, Yesus terus-menerus memberi kita makan dengan Tubuh dan Darah-Nya dalam Ekaristi Kudus.

Tradisi di atas dan juga beberapa lainnya, dapat ditemukan dalam Physiologus (= Legenda Binatang), suatu karya sastra Gereja Perdana yang muncul pada abad kedua di Alexandria, Mesir. Physiologus, yang ditulis oleh seorang pengarang anonim, menceritakan legenda-legenda binatang dengan memberikan tafsiran alegoris (= kiasan) bagi setiap legenda. Sebagai contoh, burung phoenix (= burung hong) yang membakar dirinya hingga mati dan bangkit dari abu pada hari ketiga, melambangkan Kristus yang wafat bagi dosa-dosa kita dan bangkit pada hari ketiga dengan mengaruniakan janji akan kehidupan kekal bagi kita. Unicorn yang hanya mengijinkan dirinya ditangkap dalam pelukan seorang gadis yang suci murni, melambangkan peristiwa inkarnasi.

Dalam Physiologus, legenda pelikan memberi makan anak-anaknya digambarkan sebagai berikut: “Anak-anak pelikan menyerang orangtuanya, dan orangtuanya menyerang balik, lalu membunuh mereka. Tetapi, pada hari ketiga ibu pelikan merobek lambungnya dan mencurahkan darahnya atas anak-anaknya yang telah mati. Dengan demikian, anak-anaknya itu dipulihkan serta dihidupkan kembali. Demikian jugalah Tuhan kita Yesus Kristus bersabda melalui nabi Yesaya: “Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku.” (Yesaya 1:2). Kita memberontak melawan Tuhan dengan menyembah allah-allah lain selain dari Sang Pencipta. Sebab itu Ia rela merendahkan diri dengan wafat di atas kayu salib, dan ketika lambung-Nya ditikam, mengalirlah darah dan air bagi keselamatan dan kehidupan kekal bagi kita.” Karya sastra tersebut dikenal oleh St. Epifanius, St. Basilus and St. Petrus dari Alexandria, serta populer pada abad pertengahan dan dipakai sebagai sumber acuan simbol-simbol yang dipakai dalam berbagai karya pahat batu dan karya seni lainnya pada masa itu.

Pelikan telah menjadi bagian dari tradisi liturgi kita. Gambar pelikan sedang memberi makan anak-anaknya merupakan karya seni yang populer pada bagian depan altar. Pada masa-masa awal, ketika tabernakel kadang-kadang ditempatkan tergantung di atas altar, tabernakel dibentuk menyerupai seekor burung pelikan.

Yesus Sendiri menampakkan diri kepada St. Gertrude Agung (1256 - 1301) sebagai pelikan berdarah. Ketika St. Gertrude bertanya kepada-Nya, “Tuhanku, apa yang ingin Engkau ajarkan padaku melalui penampakan ini?”, maka Kristus menjawab, “Aku ingin kamu memperhatikan kasih-Ku yang meluap hingga mendorong Diri-Ku memberikan kamu kurnia ini; karena setelah Aku memberikan Diri-Ku sendiri, seakan-akan Aku lebih suka tetap mati di makam, daripada mencabut buah kemurahan-Ku dari jiwa yang mengasihi Aku. Pikirkan pula seperti halnya darah yang keluar dari jantung burung pelikan memberikan kehidupan kepada anak-anaknya, begitu pula jiwa, yang Aku beri makan dengan Santapan sorgawi, memperoleh kehidupan yang tidak akan berakhir.”

Demikianlah, lambang pelikan menjadi tanda pengingat akan Tuhan kita, yang menderita sengsara dan wafat demi memberikan kehidupan kekal bagi kita, dan yang memelihara kita dalam perjalanan ziarah kita dengan Ekaristi Kudus. Semoga lambang tersebut juga menggerakkan kita untuk menunjukkan belas kasihan dan cinta yang rela berkurban kepada semua orang, seperti yang diteladankan-Nya.

TIDAK ADA KASIH YANG PALING AGUNG DARI KASIH SEORANG YANG MENYERAHKAN NYAWA BAGI ORANG YANG DIKASIHINYA.

Selamat merayakan Kamis Putih. Selamat merayakan Perjamuan Tuhan.

@24032016

๐‘๐”๐Œ๐€๐‡ ๐“๐€๐๐†๐†๐€, ๐๐”๐Š๐€๐ ๐‘๐”๐Œ๐€๐‡ ๐ƒ๐”๐Š๐€

Bulan Oktober istimewa bagi saya. Papa dan Mama menikah di 21 Oktober, 49 tahun lalu. Dua adik perempuan saya lahir di Oktober. Keduanya jug...